Rindu

Covid-19 yang sudah berlangsung sejak November tahun 2019 membawa kisah berbeda antara aku dan adikku. Namaku Rashid dan adik kecilku yang baru berusia enam tahun bernama Zara. Kami tinggal dirumah berdua saja semenjak pandemi ini memaksa ibu untuk bertugas di garda depan sebagai tenaga medis. Ayah yang sudah lama meninggal membuat ibu terpaksa bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

Sudah sejak bulan Januari ibu tidak pulang. Kami hanya bertukar kabar melalui ponsel, itupun tidak setiap saat. Namun sesekali ibu menyempatkan waktunya untuk video call bersama Zara agar dapat menghiburnya.

Bulan Ramadan sudah didepan mata, tetapi ibu masih belum bisa pulang. Ramadan kali ini benar-benar terasa berbeda, bahkan bisa dikatakan sepi tanpa adanya sosok seorang ibu yang biasanya memasak makanan sahur dan buka. Tidak hanya karena itu, Ramadan ini juga terasa sepi akibat tidak adanya agenda-agenda sunah yang biasa dijalankan oleh umat muslim. Tarawih berjamaah, tadarus di masjid, bahkan buka puasa bersama hanya bagaikan wacana lawas. Keadaan ini yang kemudian memaksaku belajar memasak dan menyiapkan segala hal untuk adikku yang usianya masih terpaut kecil dan belum mengetahui banyak hal.

Terkadang, aku juga menelepon ibu tanpa sepengetahuan Zara. Sekedar bercerita mengenai beratnya hari-hari yang kulewati untuk menghadapi semua ini. Tapi ibu tak pernah menyerah untuk menyemangatiku. Ibu selalu berkata bahwa kesulitan yang kuhadapi saat ini kelak bisa menjadi bekal saat dewasa nanti. Ibu juga bilang bahwa rasa sabar yang sudah ditanamkan sejak dini, bisa membuatku menjadi orang yang tegar dikemudian hari. Bahkan tanpa kusadari, ibu dapat berkata seperti itu karena tugasnya sendiri sebagai petugas medis. Profesi yang menuntut ibu untuk tidak mengeluh, menyerah, dan putus asa. Aku sangat bersyukur punya ibu sehebat beliau.

Hari-hari pun berlalu, aku merasa sudah terbiasa mengurus adik tanpa adanya bantuan dari orang lain. Sebab adanya  physical distancing yang ditetapkan oleh pemerintah, menjadikan nenek dan kakek tidak dapat menggantikan ibu untuk mengurus kami. Hari itu semuanya baik-baik saja hingga kemudian ponselku berdering dan ternyata telepon dari ibu. Saat kuangkat, suara beliau terdengar berat dan sulit untuk berkata. Aku mencoba bertanya secara perlahan,

“ada apa bu? apa ibu baik-baik saja?”

Beliau kemudian menjawab bahwa aku harus kuat dan tegar dalam mengahadapi hari-hari setelah ini dan berpesan agar aku tetap merawat Zara. Aku yang terkejut mendengar jawaban ibu, kemudian bertanya, “kenapa ibu berkata seperti itu? apa yang terjadi?”. Namun ibu langsung menutup panggilan tanpa menjawab pertanyaanku.

Rasa penasaran terus menusuk pikiranku, sedangkan yang dapat aku lakukan hanya berdoa dan berpikir positif agar beliau senantiasa baik-baik saja. Satu minggu setelahnya, ponselku tidak pernah lagi berdering menerima telepon dari ibu. Namun meski begitu, aku selalu mengirim pesan padanya, walau tanpa balasan.

“Selamat pagi bu, pagi ini ibu sudah sarapan? aku ingin sekali bertemu dan melepaskan rasa rinduku, bu. Aku ingin ibu cepat pulang, rindu aroma masakanmu. Semoga ibu baik-baik disana ya, aku dan Zara selalu menunggu dirumah.”

Tibalah hari terakhir umat muslim menjalankan ibadah puasa dan sholat tarawih  di bulan Ramadan, sedangkan ibu belum juga menghubungiku dan Zara. Semua masjid memutar alunan suara takbir, tetapi malam ini terasa berbeda dari tahun sebelumnya. Tidak terdengar suara anak-anak yang berkeliling sambil membawa obor dan beduk, pun petasan yang biasa dimainkan oleh mereka. Aku dan Zara hanya dapat memandang melalui jendela rumah dan membayangkan betapa serunya apabila semua itu benar-benar terjadi.

Tiba-tiba ponselku berdering, ada panggilan dari pihak rumah sakit tempat ibu bekerja. Mereka memberi kabar bahwa ibu positif Covid-19 sejak dua minggu yang lalu. Tepat dimana ibu terakhir menghubungiku. Mendengar kabar itu, rasanya aku lemas bukan kepalang.

Belum sempat aku menjawab, pihak rumah sakit menambahkan bahwa sekarang ibu telah direnggut oleh virus yang menyerangnya. Aku sangat terkejut dan tidak ingin percaya, akan tetapi itulah kenyataannya. Sekujur tubuhku kaku, dan pikiranku kalut. Ingin sekali aku bertemu dengan ibu untuk yang terakhir kali, namun keadaannya tidak memungkinkan itu terjadi. Sekuat mungkin aku harus menahan perasaan ini. Aku tidak boleh menangis didepan Zara.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung meninggalkan Zara dan bergegas pergi kekamar lalu mengunci pintu untuk menyembunyikan air mata. Sekuat tenaga berusaha menenangkan pikiran yang tidak karuan dan hati berat menerima kabar bahwa ibu sudah tiada. Sedih yang kurasakan dalam dan menyesakkan. Nafas terasa sangat berat, ingin sekali aku berteriak. Namun yang dapat aku lakukan hanyalah menangis dalam doaku agar ibu diterima di sisi-Nya

“kenapa semua ini terjadi? kenapa semuanya terjadi di bulan suci ini? ya Allah, sungguh aku tidak kuat, bolehkah aku menangis kali ini? Ibu, kuingin kau ada disini untuk sebentar saja, aku ingin mengingat semuanya walau hanya sekejap, di pagi hari kau membangunkanku dengan senyuman, pelukan hangat yang selalu menyelimutiku dikala aku bersedih, kecupanmu yang selalu menemaniku sebelum terlelap dimalam hari. Malam ini aku merasa sedih bu, aku butuh pelukanmu, aku ingin sekali walau aku tau bahwa itu tak mungkin terjadi karena kau sudah bahagia disana. Allah sangat menyayangimu bu, untuk itu Ia menjemputmu, kini kau tidak perlu lagi berjuang demi menghidupiku dan Zara. Ibu, terimakasih untuk semua perjuanganmu, aku akan selalu mendoakanmu disini, aku sangat menyayangimu.”

Setelah pikiran dan hatiku mulai sedikit tenang, aku membuka pintu kamar berniat untuk menemui Zara yang sudah menunggu dengan wajah khawatir.

“Kak?,” tanyanya polos.

Aku langsung memeluk tubuh kecilnya sambil berkata, “Aku juga rindu ibu.”

Geary Abimanyu Setiadji Putra

Penulis merupakan Staf Bidang Redaksi LPM Keadilan tepatnya sebagai Staf Desain dan Foto Periode 2019-2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *