Buntut Pengesahan Undang-Undang Kesehatan, Terkesan Diburu Waktu

Buntut Pengesahan Undang-Undang Kesehatan, Terkesan Diburu Waktu

Lewat beberapa kontroversi, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan resmi terbaharui. Efektifkah pembaharuan tersebut?

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rapat Paripurna yang ke-29 masa persidangan V tahun sidang 2022-2023 bersama ketujuh fraksinya telah resmi mengesahkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Akan tetapi, muncul asumsi yang mengatakan bahwasanya UU Kesehatan disahkan terlalu tergesa-gesa, mengingat draf RUU ini baru dibahas di DPR tahun lalu.

Buntut pengesahan UU Kesehatan mengundang sejumlah polemik. Hal ini dapat dirasakan karena pemerintah sebagai pemangku kebijakan tertinggi mengeluarkan gelagat menutup diri dari pelibatan pihak yang terdampak khusus dari pengesahan regulasi ini, utamanya tenaga kesehatan. Meskipun pemerintah dilansir terlebih dahulu dari laman Tempo.co mengungkap pembelaannya bahwa skema penyusunan dan pembahasan terkait regulasi telah menggunakan metode omnibus, sehingga pemerintah menghimbau bahwa memang tidak semua aspirasi dapat termuat dalam UU Kesehatan yang disahkan.

Kejadian ini menjadi menarik lantaran poin UU Kesehatan yang disahkan justru terlihat tidak memihak tenaga profesi yang bergerak di bidang layanan kesehatan. Bahkan sempat terlihat melalui kanal media bahwasanya tenaga kesehatan sampai menggelar unjuk rasa di Gedung DPR demi menyoal pengesahan UU Kesehatan. Dari sini mungkin muncul pertanyaan, benarkah metode omnibus sebagaimana yang dikatakan pemerintah dapat membenahi sistem layanan kesehatan?

Metode omnibus memang menunjukkan gelagat menutup diri, padahal persoalan regulasi seharusnya tidak tumpul ke bawah. Kabar ajaibnya, UU Kesehatan mempermudah jangkauan untuk berkiprah dalam bidang profesi dokter. Di mana dokter tidak memerlukan kembali surat rekomendasi profesi dari syarat pembuatan Surat Izin Praktik (SIP). Ajaibnya lagi, terkait hal tersebut Kemenkes bahkan memberikan wacananya agar Indonesia mulai menjalankan program collegium based bagi lulusan dokter yang ingin menekuni pendidikan spesialis diberikan pilihan untuk praktik langsung di rumah sakit dan dibayar.

Pengesahan UU Kesehatan pada kenyataannya memang seperti diburu waktu. Dalam narasinya mungkin collegium based terkesan menjanjikan, bahkan dapat memberi harapan bagi masyarakat luas terhadap kualitas dokter spesialis di Indonesia. Akan tetapi, perlu diingat bahwa rumah sakit pada dasarnya adalah instansi penyelenggara layanan kesehatan perorangan yang harus berjalan secara paripurna. Menjadikan rumah sakit sebagai tempat praktik dokter spesialis justru meningkatkan risiko ketidakpercayaan masyarakat terhadap rumah sakit. Pun, masyarakat akan merasa tenaga kesehatan sedang bermain api dengan nyawa seseorang.

Sebelum disahkan, Indonesia baru menerapkan program university based atau pendidikan spesialis yang berbasis universitas di bawah naungan kementerian pendidikan tinggi Indonesia. Seharusnya apabila pemerintah merasa adanya kekurangan dalam regulasi ini belum dapat memenuhi kebutuhan di bidang layanan kesehatan, maka perlu adanya tinjauan lebih lanjut dengan membenahi permasalahan yang ada, bukan menerbitkan regulasi baru yang bahkan pembahasannya baru berjalan satu tahun.

DPR telah mengakui bahwa memang pengesahan UU Kesehatan menuai banyak pro dan kontra. Bahkan Kementerian Kesehatan merasa tidak semua aspirasi dapat termuat dalam UU Kesehatan. Ketua DPR, Puan Maharani, turut menyampaikan pendapat bahwa pembahasan RUU Kesehatan telah memenuhi unsur keterbukaan sekaligus menitikberatkan pada tindakan preventif, atau pencegahan.

Pembelaan pemerintah terhadap pengesahan UU Kesehatan memang tidak dapat disalahkan lantaran secara teknis Negara Indonesia mengusung konsep demokrasi. Di mana dalam ruang lingkup demokrasi perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah. Akan tetapi, titik beratnya adalah UU Kesehatan sebenarnya disahkan untuk siapa?

Puan Maharani ketua DPR RI sekali lagi mengklaim bahwa pembahasan RUU Kesehatan sudah mengikutsertakan partisipasi masyarakat, termasuk kalangan medis dan profesi kesehatan. Hal ini untuk memastikan bahwa undang-undang itu komprehensif.

DPR bahkan menciptakan citra bahwa UU Kesehatan memiliki rancangan yang cukup komprehensif dan inovatif sebagai dasar penyelenggaraan layanan kesehatan Indonesia dari atas ke bawah dengan mengutamakan penguatan sistem kesehatan nasional. UU Kesehatan juga disebut mampu memberikan solusi atas berbagai permasalahan di bidang layanan kesehatan. Di mana RUU menitik beratkan pada pelayanan kesehatan yang terus didominasi oleh pendekatan terapeutik, ketersediaan dan pemerataan sumber daya (SDM), kesiapan menghadapi krisis kesehatan, aspek kemandirian obat dan alat kesehatan, dan lain sebagainya.

Kabar baiknya, Pasal 327 ayat (1) dengan bunyi: “Pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan harus mengutamakan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam negeri dengan tetap memperhatikan mutu, kualitas, keamanan, dan kemanfaatan.” Keberadaan pasal ini setidaknya telah memberikan sedikit titik terang sekaligus keyakinan bahwa benar RUU Kesehatan dirancang dengan memperhatikan pendekatan terapeutik, atau berorientasi pada kebutuhan masyarakat sebagai pasien, pemerataan sumber daya manusia, sekaligus menginisiasi adanya kemandirian obat dan alat kesehatan.

Pengaturan yang mempertimbangkan pendekatan terapeutik tersebut dirasa mampu memberikan perasaan sedikit lega bagi masyarakat luas lantaran seperti sinyal bahwa obat-obatan akan lebih murah pasca disahkannya UU Kesehatan. Sebelumnya memang tidak dapat dipungkiri bahwa sektor farmasi dan alat kesehatan di Indonesia masih bergantung pada produk impor. Bahkan menurut data yang dibeberkan Kemenkes pada CNN Indonesia, 90 persen bahan baku obat produksi farmasi lokal masih diimpor. Sedangkan menurut katalog elektronik Kemenkes untuk alat kesehatan telah terjadi sekitar 80 persen transaksi impor selang kurun waktu 2019-2020.

Apabila ditinjau lebih lanjut memang terdapat banyak sejumlah pasal cukup kontroversial, utamanya bagi tenaga di bidang layanan kesehatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah layanan kesehatan di Indonesia termasuk dalam sektor krusial, sehingga diperlukan tinjauan lebih mendalam berdasarkan realita situasi di lapangan guna menemukan program yang tepat. Bukan mengherankan apabila pengesahan UU Kesehatan terkesan diburu waktu lantaran pembahasannya yang baru terjadi tahun lalu. Akan tetapi, perlu diapresiasi usaha pemerintah untuk memberikan pemerataan layanan kesehatan yang layak bagi masyarakat pasca pengesahan RUU Kesehatan.

Fira Septianingrum

Penulis merupakan Pemagang di LPM Keadilan Periode 2022-2023.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *