“UUD 1945 memiliki aturan main perubahannya, banyak yang tidak menyadari jika konstitusi pada dasarnya selalu memiliki daya tahan atau kemampuan untuk bertahan lama.“
- Oleh Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M
Gagasan perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) selalu menjadi isu yang kerap bergulir di setiap rezim pemerintahan. Faktanya, cukup sulit untuk memilah mana yang menjadi isu yang lahir karena kebutuhan dan mana isu yang lahir akibat dorongan kekuatan politik. Kepentingan yang dilahirkan pun beragam. Ada yang sekedar ingin memancing di ‘air keruh’, ada juga yang memang muncul sebagai upaya evaluasi atas hasil perubahan sebelumnya. UUD 1945 memiliki aturan main perubahannya, banyak yang tidak menyadari jika konstitusi pada dasarnya selalu memiliki daya tahan atau kemampuan untuk bertahan lama.
Daya Tahan
Berbicara tentang daya tahan, sebenarnya tak ada satupun batas atau ukuran waktu yang definitif yang mengharuskan sebuah konstitusi itu harus berubah. Studi Elkins, Ginsburg, dan Melton (2009) menjadi salah satu objek riset paling menarik dalam menguraikan daya tahan konstitusi. Mereka melakukan studi komparatif di beberapa negara atas durabilitas sebuah konstitusi. Tiga begawan ilmuwan hukum dan politik ini mencoba meneliti kembali perdebatan lawas antara Jefferson dan Madison soal ketahanan sebuah konstitusi. Jefferson punya pandangan yang sedikit lebih impresif dibanding Madison. Bagi Jefferson, ia meyakini bahwa sebuah konstitusi hanya bisa bertahan maksimal selama sembilan belas tahun. Oleh karenanya, baginya perubahan konstitusi selayaknya dilakukan rata-rata setiap dua puluh tahun sekali. Berbeda dengan pandangan Madison. Baginya durabilitas itu menjadi sangat penting bagi konstitusi. Semakin tua umurnya, maka semakin baik. Singkatnya konstitusi didesain untuk adaptif atas perkembangan sosial di masyarakat. Sekalipun ia memiliki aturan perubahan yang rigid, konstitusi merupakan sekumpulan norma yang hidup dan tumbuh dan berkembang dalam realitas sosial.
Menariknya, studi Elkins, Ginsburg, dan Melton menilai klaim dari Jefferson dan Madison cenderung spekulatif. Studinya memperlihatkan kebenaran ilmiah dari pandangan Jefferson dan Madison sangat relatif. Bagi mereka, terdapat beragam faktor yang menjadi variabel penentu durabilitas konstitusi. Ada yang bisa bertahan kurang dari 19 tahun, bahkan ada juga yang bisa bertahan lebih dari 19 tahun. Sekurang-kurangnya ada dua faktor utama yang menopang daya tahan sebuah konstitusi. Pertama, dipengaruhi oleh faktor internal yang meliputi kualitas dari konstitusi itu sendiri, baik itu dari aspek penyusunannya, materi muatan dan aturan perubahannya. Kedua, dipengaruhi oleh faktor eksternal yang meliputi faktor sosial, politik dan ekonomi yang dapat memicu perang, revolusi, ataupun krisis.
Krisis Politik
Seorang profesor dari Kanada yang bernama Richard Albert (2019), pernah menyatakan bahwa salah satu pendorong utama perubahan konstitusi justru disebabkan akibat gejolak politik atau revolusi politik. Tak heran jika hasil studinya menunjukkan negara-negara yang mengamandemen konstitusinya rata-rata terjadi di masa transisi politik. Tanpa adanya gejala demikian, hampir mustahil negara melakukan perubahan terhadap konstitusinya. Hampir dipastikan konstitusi akan memiliki daya tahan dan umur yang relatif panjang. Pembenaran ini pun juga diaminkan oleh Michael Coper (2015) yang dalam studinya melakukan penelitian terhadap riwayat perubahan konstitusi. Ia menguraikan bahwa perubahan konstitusi kerap memiliki sifat yang rigid bahkan sulit untuk dicapai. Pengalaman di Australia misalnya, Coper menguraikan bahwa tingkat keberhasilan amandemen konstitusi hanya memiliki persentase di bawah 20%. Konstitusi Australia membatasi prosedurnya dengan syarat yang ketat. Untuk itu ada kalanya dibutuhkan kondisi luar biasa agar perubahan konstitusi dapat dilakukan.
Anasir di atas setidaknya telah memberikan garis penebalan, UUD 1945 kita juga sebenarnya memiliki daya tahan dan relatif akan digunakan dalam jangka waktu yang panjang. Konsep Albert dan Coper sebenarnya mengkonfirmasi gejala yang terjadi di Indonesia. Hampir semua peristiwa perubahan UUD terjadi karena akibat gejolak politik yang luar biasa. Sebut saja pemberlakuan kembali UUD 1945 pasca Dekrit 5 Juli 1959. Kemudian diikuti dengan perubahan UUD di masa transisi politik tahun 1999 sampai 2002. Gejala-gejala di atas sebenarnya telah memperkuat bahwa perubahan konstitusi itu selalu diawali oleh krisis politik terlebih dahulu.
Rigid
Artinya, isu perubahan UUD yang digulirkan jelas harus dibaca dalam lanskap yang lebih luas. Bahwa perubahan UUD jelas tak akan mudah terjadi. Dalam tahapan prosedur perubahannya pun demikian. Dalam Pasal 37 UUD 1945, perubahan harus dilakukan melalui beberapa prosedur yang tidak mudah di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Usulan perubahan harus diajukan oleh sekurang-kurangnya satu per tiga dari anggota MPR, dan perubahannya baru dapat dilakukan jika disetujui oleh sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu dari sekurang-kurangnya dua per tiga anggota MPR yang hadir dalam Sidang MPR. Syarat perubahannya dibuat sangat rigid untuk memastikan bahwa usulan perubahan konstitusi berdasarkan pertimbangan yang memadai. Oleh karenanya, isu perubahan UUD harus tetap direspons dengan kepala dingin. Tak perlu kita terlalu larut dengan isu yang digulirkan, apalagi sampai mempersoalkan isi substansi yang akan dijadikan materi perubahan UUD. Jauh “panggang dari api”.
*Penulis merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia