“Yang jadi permasalahan, dia itu menggunakan wewenangnya (wakil ketua DPM), dia udah nyita KTP, mukulin lagi,” ucap seorang saksi terhadap dugaan penganiayaan.
Kaliurang-Keadilan. Terjadi pemukulan pada dini hari Rabu, akhir Agustus lalu (31/8) yang diduga ikut dilakukan oleh AF, yang mana merupakan pejabat Wakil Ketua II Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (DPM UII). Selain AF, para pelaku lain juga diduga berasal dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII. Jumlah korban diperkirakan selusin mahasiswa baru yang mayoritasnya terdaftar di Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) UII.
Satrio Ardhi selaku perangkap jabatan Komisi I dan II DPM FPSB mengklaim bahwa ia hadir di tempat kejadian saat terjadinya peristiwa pemukulan, “Kondisinya malam, gelap, di tengah hutan. Waktu itu aku walaupun ada di situ ngga bisa mengenali satu sama lain,” ujarnya menerangkan situasi tempat. Ia juga membenarkan kalau DPM dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) turut hadir pada kejadian itu.
Akar kejadian bermula karena perkelahian antar mahasiswa baru dari FPSB dan FMIPA, sebagaimana dijelaskan oleh Satrio, “Yang (awalnya) dipukul itu anak FMIPA, jadi akhirnya kating-kating FMIPA ikut dateng. Nah, chaos-nya di situ,” ujarnya mengucapkan pemicu konflik hingga akibat terjadinya pemukulan terhadap mahasiswa baru FBSB di dini hari.
Saat diwawancarai, Satrio Ardhi tidak dapat mengkonfirmasi siapa saja pelaku pemukulan, karena kondisi tempat dilakukannya pemukulan gelap. “Aku tidak bisa memastikan mereka siapa-siapa aja. Tapi aku yakin itu, dari kating-kating FMIPA,” ucapnya. Satrio juga membeberkan rangkaian kejadian pemukulan, memberitahukan bahwa kedatangannya di tempat kejadian bersifat kelembagaan, “Sebagai lembaga dari FPSB aku menengahi mereka dan melerai mereka dulu, membariskan mereka, lalu mulailah chaos terjadi di situ.” Satrio menjelaskan lebih lanjut bahwa akan kekacauan yang dimaksud pada kutipan merupakan saat di mana kakak tingkat dari FMIPA mulai melakukan pemukulan terhadap pada korban.
Ahmad Haikal yang merupakan Ketua Umum DPM UII membenarkan bahwasannya salah satu dari terduga pelaku pemukulan merupakan wakil ketua dari formatur DPM-nya. Namun ia menyangkal apabila hal ini merupakan bentuk dari penyalahgunaan wewenang, “Bukan abuse of power bahwa ia (merupakan) Wakil Ketua DPM, tidak. Karena dia lagi nongkrong dan dibilang bahwa kawan dari anak-anak FMIPA itu ada yang dikeroyok,” ujar Ahmad yang tidak menganggap kejadian ini sebagai penyalahgunaan wewenang. “Dia tidak membawa nama sebagai penyandang DPM U, atau wakil ketua saya. Karena itu memang hati nurani dari ibaratnya kating,” ujar Ahmad yang mendalilkan bahwa kejadian ini merupakan bentuk solidaritas antar kakak tingkat dan adik tingkat pada fakultas yang sama.
Satrio pula ikut membenarkan pernyataan dari Ahmad, yang menganggap bahwa peristiwa ini merupakan bentuk pembelaan antara kakak tingkat terhadap adik tingkatnya, “Orang itu kan memang datang dalam info membela adik tingkatnya,” ucap Satrio. Ia lalu mengutarakan rasa enggan untuk melerai pemukulan yang dialami oleh adik tingkatnya, “Mas lerai ya pasti (juga) kena pukul.” Hingga saat ini, salah satu dari terduga pelaku yang menempati posisi di lembaga legislatif tidak membalas ajakan Keadilan untuk dimintai keterangan.
Sebelum terjadi pemukulan di tengah malam itu, terdapat pula dugaan bahwasannya terduga pelaku yang menempati jabatan struktural sebagai DPM memanfaatkan posisinya di lembaga, dan menggunakan nama jabatannya sebagai dalih untuk mengintimidasi korban-korban. Terhadap dugaan ini, mahasiswa dengan inisial R selaku saksi angkat bicara, “Yang jadi permasalahan, dia itu menggunakan wewenangnya (wakil ketua DPM), dia udah menyita KTP, mukulin lagi.”
Mengikuti dugaan terkait penyalahgunaan wewenang itu, terdapat pula dugaan lain yang mengklaim bahwa korban diinstruksikan oleh para pelaku untuk membuka pakaiannya, “Mereka di sana disuruh telanjang jongkok,” kembali ucap R. Di luar kejadian ini, Haikal mengklaim bahwa kasus tersebut telah diselesaikan secara kekeluargaan, dengan DPM memposisikan dirinya sebagai mediator, “Di situ saya dan sekjen maupun wakil ketua itu juga menengahi dan membereskan masalah ini secara kelembagaan,” ucapnya.
“Ketika forum itu dibuat, dipertemukan, akhirnya bertemulah di forum tersebut dari masing-masing yang ikut (saat) terjadi pemukulan. Yang ngerasa dipukuli juga mengikuti forum tersebut,” ucap Satrio. Upaya perdamaian yang terjalin antar pihak menghasilkan permintaan maaf, tertuju untuk para korban, “waktu clear-clear-an itu yang menuntut permintaan maaf itu sekitar anak 11, atau 12,” lanjutnya.
Satrio menganggap penyelesaian secara lembaga merupakan hal terbaik bagi semua pihak terkait, “Kita selesaikan secara lembaga aja biar ini sah dan clear, begitu. Kan juga artinya mereka menandatangani di atas materai (dan) saling sepakat untuk saling memaafkan. Jadi ya udah, case closed.”
Liputan bersama: Fikri Rosyad, Khatibul Aziziy Alfairuz, Fadhilah Hanif Chesantia, Shafira Aretha Inafitri, Eka Detik Nurwagita, Afrizal Muhamad Fauzy dan Sekar Arifia Prastiwi