Oleh: Aha Azadi Albab*
Om, om
Om bhur bhuwah swah,
tat sawitur warenyam,
bhargo dewasya dhimahi,
dhiyo yo nah prachodayat,
Om narayanad ewedam sarwam,
yad bhutam yasca bhawyam,
niskalo nirlano nirwikalpo,
nlraksatah suddho dewo eko,
narayana nadwityo asti kascit.
Selesai sembahyang, kutengok deburan ombak yang sudah kukenal sejak lama tetap bergulung-gulung cantik. Memantulkan sinar-sinar mentari seakan matahari dan embun saling berkomunikasi, bersaut-sautan mengucapkan syukur sebab diizinkan melanjutkan hidup. Oh Ya Hyang Widhi yang menguasai ketiga dunia ini,Yang Maha Suci dan sumber segala kehidupan, sumber segala cahaya, semoga limpahkan pada budi nurani umatMu penerangan sinar cahayaMu. DariMu lah segala yang sudah ada dan yang akan ada di alam ini berasal, dan kembali nantinya. Engkau adalah gaib, tiada berwujud, di atas segala kebingungan, tak termusnahkan. Engkau adalah Maha Cemerlang, Maha Suci, Maha Esa dan tiada duanya. Engkau disebut Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, dan Wisnu, serta Rudra. Engkau adalah asal mula dari segala yang ada. Ampuni hamba dari segala karma agar dapat selalu menikmati alam kekuasaanMu ini. Tiada henti-hentinya Aku masih dibuat terpesona oleh alamku ini.
“Tidak melaut, Gus?” Tanya tetanggaku membuyarkan lamunan.
“Iya, habis ini mbok!” Jawabku.
Hari ini Aku bergegas segera ke laut menjalani rutinitas. Ya, Aku adalah nelayan, pemuda bujang yang mencari penghasilan dengan harus mengasingkan diri dari duniaku. Sebenarnya teman-teman mengajakku untuk melamar kerja di hotel-hotel sekitar kampung, juga merantau ke Jawa, tapi Aku tidak tertarik. Aku sudah teramat sangat mencintai kampungku. Aku berpapasan dengan beberapa nelayan, Mereka mengeluh oleh hasil tangkapan yang sedang menurun. Saat ini laut sedang memasuki musim purnama, artinya laut sedang pasang-pasangnya dan ikan susah sekali ditangkap. Ditambah lagi akibat pendangkalan laut proyek reklamasi Serang, air semakin keruh. Bahkan oknum TNI ikut campur tangan dalam mengamankan proyek ini. Tidak jarang dari kami dilarang untuk mencari ikan karena alasan mendekati area reklamasi. Tapi tetap saja, aku tidak mungkin menyerah dan mengeluh, karena melaut satu-satunya sumber penghasilanku. Kehidupanku sedang berat-beratnya. Ibuku baru saja meninggal terkena serangan jantung, setelah mengetahui Bapakku mempunyai banyak hutang untuk judi yang menjadi hobinya, dan melarikan diri dari tanggung jawabnya. Sekarang entah di mana lelaki tua itu berada. Beruntung aku masih mempunyai tabungan untuk mengaben Ibuku dan tidak perlu menunggu lama untuk hari baiknya. Kini hutang-hutang bapakku dilimpahkan kepadaku, laki-laki itu tiada pantas baginya kusebut Bapak.
Jaring kuangkat dengan tidak semangat, namun aku sangat terkejut, dari beberapa ikan yang kutangkap ada 4 ekor hiu berukuran sedang tersangkut di jaringku, “Haha, terimakasih Tuhan beruntung sekali nok aku hari ini!” Kali ini Aku sedikit mujur, 50 ekor ikan masih berhasil kutangkap, ditambah beberapa hiu tadi yang bisa menambah nilai jual karena siripnya. Dengan semangat kuarahkan kapalku menuju darat.
“Om Swastiastu Pak Budi!” Sapaku pada pengadah ikan di pasar kampungku.
Dia monoleh “ye Wayan, kengkenkabare, Yan?” Lalu Dia mengintip ikan-ikanku dan sedikit terkejut melihat sirip mahal. “Woh bejo sekali nok ke ini! Purnama-purnama gini dapet Hiu”.
“100 saja ya,” tawarnya.
“hmm bliiii, jangan na`e gitu, lagi gak ada uang tiang niki,” geramku.
“kekekekekeh… Bercanda, sana ambil uangnya ke gek Kadek,” sambil meneriakkan nominal ke orang yang Dia maksud.
Aku berjalan dengan semangat sambil bersiul. Setelah ini bisa makan agak enak nih di warung, pikirku. “Buag!” Tiba-tiba dari arah belakang ada yang menendangku dengan sangat keras. Membuatku terlempar dan menabrak meja tumpukkan ikan yang kini sudah berceceran. Penglihatanku masih agak berkunang, namun aku masih sadar, cukup sadar malahan. Seseorang berbadan kekar dan memiliki tato api dilengan kirinya mendekatiku. Dia menarik kaosku yang membuatku terangkat. Lalu baru kulihat ada Pak Kepala Desa yang sekaligus menjadi juragan di kecamatan ini. Dia memiliki andil dalam perizinan reklamasi serang, dan lebih buruknya lagi Bapakku berurusan dengan orang ini.
“Heh bangsat! Kapan Kau akan membayar hutang Bapakmu hah?” Baru memulai bicara dia sudah mengumpatiku.
“Ampun juragan. Saya masih mengumpulkan uangnya dan masih mencari keberadaan Ayah saya,” Jawabku lemah.
“Tiang seng peduli, pokoknya besok hutangmu harus sudah terbayar minimal 50 persen,” jawabnya ketus.
“Ampun juragan. Masih terlalu berat buat Saya”.
“Aah Saya gak peduli! Awas saja kalau kamu berani macam-macam, ayo Bonjel kita pergi!”
Bonjel melepas kerahku dan Aku terjatuh, seraya pergi menginggalkanku menuruti majikannya. Pak Budi mendekat dan memapahku ke tempat duduk. Sembari menanyakan keadaanku, dia memberiku segelas air. Setelah meyakinkan pada Pak Budi kalau Aku baik-baik saja dan mengambil bayarannya tadi, Aku undur diri pulang. Sudah tidak tahan, karena ada punggung yang butuh di rebahkan.
&&&
“Pyarrrr!!” Suara pecahan kaca membangunkanku. Tak terasa Aku telah tertidur cukup lama. Kutengok jam menunjukkan pukul 04.00 WITA. Aku bergegas ke depan rumah, asal suara pecahan kaca tadi. Sesuai dengan dugaanku, kaca depan rumahku telah pecah dan kutemukan bongkahan batu karang sebesar kepalan orang dewasa. Tanpa bertanyapun harusnya kau sudah tau ini ulah siapa. Dengan gontai kusapu serpihan-serpihan pecahan kaca tadi dan kubuang.
Aku kembali masuk ke dalam kamarku. Duduk lendet ke dinding kamar sembari kulihat foto. Kupandangi mata almarhum Ibuku dalam. Diriku yang sudah sebatang kara ini sebenarnya sudah cukup lelah dengan semua ini. Bahkan Bapakku satu-satunya keluarga yang aku punya malah pergi meninggalkan penderitaan yang teramat sangat.
“Bu, kenapa Wayan harus mengalami semua ini,” lirihku.
Tok tok tok…
Tok tok tok….
“Yaan Wayaaan!”
Aku tersentak kaget, lalu beranjak ke depan dengan perasaan was-was, takut suruhan pak kepala desa yang datang untuk menagih hutang dan berbuat macam-macam. Setelah dekat dengan pintu aku baru dapat mendengar dengan baik kalau itu bukanlah sosok yang pantas kutakutkan. Iyaa, bli Gusti tetangga sebelah. Lalu kubukakan pintu
“Ada apa bli?” tanyaku.
“Yee seharusnya Saya yang tanya gitu. Saya tadi denger ada kaca pecah ternyata jendelamu nih, siapa yang mecahin?” Kelakar gusti.
“Iya tadi ada yang iseng nglempar nih kaca”.
“Yee ngapain pagi-pagi buta gini iseng, aneh-aneh aja nok, tapi bli gak kenapa-kenapa kan?”
“Ya mana tiang paham bli, paling anak-anak mabuk aja, iya saya gak kenapa-kenapa kok, bli Gusti tenang saja, Saya juga ini lagi siap-siap mau melaut,”
“Ngapain pagi-pagi gini melaut, ikan masih pada bobok, hehehe, ya sudah kalau ada apa-apa bilang ke saya saja, kalau gitu tiang balik dulu ke rumah nih,”
“iya makasih banyak bli Gusti”.
Aku kembali masuk ke rumah untuk bersiap-siap. Aku sengaja melaut lebih awal, selain karena waktu yang tepat untuk melaut juga untuk menghindari Pak Kepala Desa. Meskipun tubuhku belum fit betul untuk melaut. Tak lupa juga beberapa sesajen kubawa demi meraih rahmat lebih dari Tuhan.
&&&
Sepertinya kali ini Aku kurang mujur. Hari sudah sangat cerah tapi tangkapanku tidak bertambah banyak. Sudah kucoba di beberapa spot favoritku untuk menangkap ikan, tapi yang terjaring hanyalah ikan-ikan teri dan tongkol saja. Itupun berat dan ukurannya sangat kecil.
“Priiiitttt!!!!!!”
Aku terkejut karena ada yang meniup peluit, dan ternyata yang meniup seorang oknum TNI. Bersama temannya sambil menaiki boat mendekati perahuku. Lalu dengan sigap mereka loncat ke perahuku.
“Selamat pagi pak, maaf Anda sudah memasuki area reklamasi dan di sini dilarang dimasuki oleh masyarakat umum untuk kepentingan pembangunan,” ucap salah satu dari oknum TNI tersebut.
“Loh bukannya ini sudah jadi hak masyarakat ya untuk mencari ikan di laut,” jawabku tidak peduli.
“Tapi Bapak berada di area milik PT. Axren, dan Bapak telah melanggar hukum negara!”
“Melanggar bagaimana? Saya tidak mencuri kok, dan Saya nggak merasa menganggu pembangunan”.
Tiba-tiba seperti kilat bogem oknum TNI itu mengahantamku. Aku tersungkur dan menyadari gigiku copot satu.
“Anda jangan berani macam-macam dengan aparat negara ya, sudah patuh saja atau saya bakar perahu Anda”.
“Saya hanya memenuhi kebutuhan hidup, justru kalian oknum TNI yang seharusnya melindungi kepentingan penduduk kenapa malah berlaku seperti ini?”
Buagh! Perutku ditendang dengan sangat keras sampai-sampai aku muntah darah
Tiba-tiba ada suara dari walkytalky salah satu milik oknum TNI tersebut
“Sudah Kalian tidak perlu banyak basa basi langsung habisi saja dia Btzzzz!”
Aku tidak asing dengan suara dari walkytalky TNI itu. Sepertinya itu suara kepala desa. Sambil terkekeh salah satu TNI mendekatiku dan berbisik
“Heh amis!! Kau berurusan dengan orang yang salah!” Lalu Dia mengeluarkan pistolnya dan menarik pelatuknya.
DORR!!!
Perutku terasa panas, kulihat darah tidak berhenti keluar, lalu seketika kedua oknum TNI itu mengangkatku dan melempar ke laut.
Aku sudah tidak bisa bergerak.
Tubuhku terlalu lemas untuk berenang.
Lambat laun diriku tertarik ke dalam.
Sambil melihat kilauan darah terkena sinar.
Oh Tuhan apakah engkau begitu jatuh cinta kepadaku yang begitu nista.
Persoalan duniaku bahkan kau lepaskan. Aku ikhlas
Seraya dadaku terpukul deburan air mendorong udara memenuhinya.
Sedikit terbatuk. Aku melayang.
*Kader LPM Keadilan 2015-2016