Acap kali kita dengar gemboran optimistik bahwa pada tahun 2020-2030 Indonesia memasuki bonus demografis, dimana angka natalitas (kelahiran) dan populasi usia produktif berada dalam puncak mayoritas populasi penduduk Indonesia. Bonus demografis ini oleh banyak pakar dianggap sebagai suatu ‘peluang pendobrak’ kebuntuan produktivitas di Indonesia. Besarnya usia produktif dianggap sebagai peluang futuristik bagi ketahanan ekonomi Indonesia.
Besarnya usia produktif diharapkan mampu mendongkrak angka tenaga kerja (labor). Idealitas sederhananya, semakin banyak tenaga kerja semakin besar pekerjaan yang bisa dilakukan. Atau sederhananya lagi, semakin besar jumlah tenaga kerja, singkat pula waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.
Selayaknya suatu teorema ilmiah, optimistik bonus demografis dihadapkan dengan dua perspektif realita, yakni das sollen (apa yang seharusnya) dan das sein (realitas sebenarnya). Seharusnya, pandangan optimistik ini membawa Indonesia dalam perkembangan ekonomi yang masif, mendorong produksi dalam negeri, dan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, senyatanya sungguh jauh dari apa yang diharapkan.
Jangankan mendorong pertumbuhan ekonomi, wujud nyata dari bonus demografis diiringi was-was dan harap-harap cemas. Hal ini tidak lepas dari realita generasi muda yang menjadi pionir utama bonus demografis sendiri.
Menurut data laporan PBB, dibandingkan dengan negara Asia lainnya, angka ketergantungan penduduk Indonesia akan terus turun sampai tahun 2020. Pada tahun tersebut, diperkirakan angka usia produktif lebih besar 70 persen dibanding usia tidak produktif. Tentunya menjadi hal yang menjanjikan dan tak heran bonus demografis begitu disambut suka cita dan optimis.
Generasi muda yang akan menjadi pionir utama bonus demografis akan menentukan masa depan bangsa mereka sendiri. Namun, sangat disayangkan, mereka sendiri tidak sadar dan tak mau tahu nasib mereka.
Bonus demografis ini dapat menjadi awal bencana jika tidak dipersiapkan dengan baik. Kendatipun Indonesia akan dipenuhi labor (tenaga kerja), namun bukan sembarang tenaga kerja yang dibutuhkan. Diperlukan bukan sekedar labor dalam menyongsong bonus demografis 2020, namun suatu kekuatan penuh skilled labor.
Perbedaan antara labor dan skilled labor terdapat pada kompetensi dia bekerja. Analogi kasarnya, ketika membangun rumah ada dua tenaga kerja yang dipekerjakan, yakni tukang bangunan dan kuli. Perbedaan keduanya, jika tukang bangunan adalah orang yang mendesain dan menggarap bentuk fisik rumah, kuli adalah pihak yang membantu tukang membawakan batu batu, mengaduk semen, mengangkat pasir, dan pekerjaan kasar lainnya. Seorang tukang adalah skilled labor sedangkan kuli adalah labor.
Berangkat dari kemungkinan inilah, ada baiknya kita melihat realita pionir bonus demografis kita. Para generasi kita yang akan menentukan masa depan mereka sendiri.
Generasi Kekinian
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah menggeser nilai-nilai sosial dan pola sosial dengan begitu dahsyatnya. Anak-anak generasi muda, yang masih duduk dibangku sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP), begitu akrab dengan teknologi komunikasi. Teknologi kounikasi telah menjadi bagian dari keseharian dalam interaksi mereka.
Ramai kita saksikan di media sosial, tentang foto-foto unggahan anak-anak usia SD dengan muatan yang belum seharusnya mereka lakukan. Foto-foto anak SD yang berpacaran, bermain mesra-mesraan dengan lawan jenis, dengan perasaan bangga dan mengatakan hal itu “kekinian”.
Bahkan, saya jumpai secara langsung beberapa saat yang lalu, ketika libur Iedul Adha, di daerah Ponorogo, Jawa Timur. Sebuah bioskop diserbu rombongan anak-anak SMP yang ingin melihat film remake Warkop DKI. Dari obrolan mereka saya dengar, film ini ramai dibicarakan di media sosial. Padahal, labeling sensor mengklasifikasikan film ini sebagai film 17 tahun keatas.
Belum selesai sekedar disana, ketika saya duduk menunggu giliran masuk studio, serombongan siswi SMP datang dengan suara gaduhnya. Tentunya hal ini membuat banyak pengujung lain tak nyaman. Hal yang mengejutkan adalah ketika mereka berebut tempat duduk dan ketika salah satu dari mereka tidak kebagian tempat duduk di ruang tunggu, mereka saling dorong ke arah saya yang memang duduk disebuah sofa panjang yang kosong sembari berteriak-teriak. Di tengah teriakan mereka, tertangkap ungkapan “kesempatan tuh”, “duduk sebelah cowok”, “ciye”, yang tentu saja membuat saya tidak nyaman.
Mirisnya, yang bicara seperti itu adalah anak-anak usia sekitar 13 tahun, usia yang begitu belia. Bahkan ketika film diputar, kembali rombongan ini menghebohkan studio dengan bersorak ketika adegan panas yang menjadi ciri khas film Warkop diputar.
Generasi-generasi inilah, yang tidak bisa dipungkiri, adalah generasi bonus demografi yang disambut dengan suka ria. Generasi yang digadang-gadang sebagai generasi yang akan menunjang kemajuan bangsa kita, justru sedang glamor menyebut diri generasi kekinian. Mereka yang bangga dengan perilaku konsumtif, dan mirisnya, sedang menggandrungi tekologi informasi telepon pintar dengan alasan mode dan tren. Mengedepankan gaya hidup yang glamor disajikan di media sosial.
Apabila anda mengkaji topografi dan latar belakang masyarakat Ponorogo, tempat saya menyaksikan peristiwa yang mengiris hati saya tadi, anda akan paham. Ponorogo adalah suatu wilayah pemerintahan kabupaten dengan luas 1.371 km2. Dengan mayoritas penduduk berprofesi sebagai petani.
Bom Waktu
Bonus demografis yang diperkirakan terjadi tahun 2020-2030 adalah sebuah bom waktu. Waktu yang telah diatur memberi bangsa Indonesia sekitar empat tahun lagi untuk berbenah diri, menyiapkan generasi mudanya.
Kembali mengkaji tentang skilled labor, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menyongsong bonus demografi adalah tenaga kerja ahli yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Karena, apabila tidak, yang akan diperoleh Indonesia adalah 70 persen penduduk pengangguran.
Menurut teorema klasik Adam Smith, lapangan kerja adalah faktor utama dalam berbenahnya suatu negara dalam menyelesaikan masalah perekonomian nasionalnya. Lapangan kerja akan memberikan sumber pencaharian. Lapangan kerja diciptakan oleh investor modal dan innovator. Seorang inovator adalah orang yang berpendidikan dan bermental kuat.
Maka, problema utama bangsa Indonesia adalah ketika harus menciptakan generasi muda yang berpendidikan guna menyediakan skilled labor. Bukan sekedar tenaga kerja kasar. Target utama yang harus dicapai bangsa Indonesia sebelum deadline sumbu bom waktu dalam empat tahun terjadi adalah memastikan generasi kekinian yang sedang berpuas dengan budaya konsumtif dan kemerosotan moral berbalik menjadi investor dan inovator yang berpendidikan. Sehingga, generasi cendekia-lah yang sedang dinanti-nanti oleh bangsa kita, jika ingin mencapai cita-cita optimistik yang selama ini didengung-dengungkan.
*Merupakan kader periode 2015-2016