Oleh : Muhammad Ariel Fahmi
Hujan yang sejam lalu menerpa perempatan itu telah reda, meninggalkan permukaan jalan yang terbuat dari susun batu persegi menjadi lebih gelap daripada biasanya. Air hujan yang tertahan, tertampung membentuk genangan-genangan kecil, memantulkan cahaya-cahaya hiruk pikuk lalu lintas kota sore itu. Di tengah perempatan jalan, Tugu Pal Putih berdiri tegak dengan goresan warna emas yang menghiasinya.
Tugu Pal putih biasa disebut Tugu Yogya tidak pernah sepi dari kesibukan aktifitas manusia yang mengagumi simbol kota ‘pelajar’ ini: berfoto, jalan-jalan, atau hanya sekadar menikmati secangkir kopi joss di angkringan di sekitarnya. Namun hari ini sedikit berbeda, perhatian para penikmat dan pelintas jalanan sekitar tugu teralihkan oleh sekumpulan orang di tengah perempatan. Mereka mengambil posisi membelakangi dan memagari tugu di atas trotoar, sembari membentangkan spanduk bertuliskan “Aksi Diam Kamisan”, dengan potret wajah terpampang para pegiat demokrasi yang tewas dan hilang: wartawan Udin, Munir, dan banyak lainnya.
Gerakan ini dikenal dengan sebutan Aksi Kamisan. Berbeda dengan aksi kebanyakan, Aksi Kamisan dilakukan dengan cara diam mematung sembari membawa atribut khas, yaitu kaus dan payung hitam. Bukan tanpa alasan warna hitam menjadi warna dominan. Menurut Maria Katarina Sumarsih—Ibu dari Irawan yang tewas pada Tragedi Semanggi I—dalam Media Parahyangan, warna hitam bukanlah melambangkan dukacita, melainkan simbol keteguhan, dan payung hitam merupakan lambang perlindungan.
Selaku koordinator aksi, Ahmad Rifai mengatakan kegiatan ini pertama kali diinisisasi oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, saat itu berlokasi di titik nol kilometer sekitar tahun 2014. Seterusnya ditindak lanjuti oleh Social Movement Institute (SMI). Pada setiap hari Kamis sore, pukul 16.00 sampai dengan pukul 17.00, SMI selaku pelaksana sering menjadikan tugu sebagai lokasi dari aksi pengingat tersebut. “Resmi sih otomatis kita (SMI) paling utama di tugu terus,” ujar Rifai.
Diadakan pertama kali di Jakarta, pada tanggal 18 Januari 2007. Awalnya aksi ini dilakukan oleh para korban, maupun keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu yang terjadi di Indonesia. Mereka adalah korban ’65, korban Tragedi Trisakti dan Semanggi ’98, korban tragedi Rumpin, serta korban pelanggaran HAM lainnya.
Aksi Diam Kamisan menjadi representasi dari kegelisahan, tuntutan dan pertanyaan-pertanyaan atas keseriusan Pemerintah Indonesia dalam penyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Rifai menambahkan, Aksi Kamisan di Yogyakarta merupakan upaya untuk terus melakukan refleksi atas pelanggaran HAM masa lalu kepada masyarakat umum. “Kalau sekarang kan mungkin litigasi agak macet segala macem, karena persoalan politis, nah kita (masa aksi) buat ngerebut non litigasinya”, ujarnya. Tidak hanya itu, menurutnya aksi ini diharapkan dapat menjadi bentuk tekanan publik terhadap pemerintah, untuk benar-benar serius menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada.