Categories Berita

Gelar Orasi & Pernyataan Sikap, UII Soroti Matinya Demokrasi di Indonesia

Dalam momen yang penuh simbolis, sivitas akademika UII berdiri di sekitar replika keranda bertuliskan “Demokrasi”. Mereka menaburkan bunga-bunga ke replika keranda itu. Aksi tersebut sebagai penutup “Orasi & Pembacaan Pernyataan Sikap UII: Selamatkan Demokrasi Indonesia”.

Yogyakarta-Keadilan. Setelah Universitas Islam Indonesia (UII) melakukan aksi Pernyataan Sikap “Indonesia Darurat kenegarawanan” pada 1 Februari 2024 lalu, UII kembali menggelar aksi lanjutan. Aksi yang dilangsungkan di depan Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir itu bertajuk “Orasi & Pembacaan Pernyataan Sikap UII: Selamatkan Demokrasi Indonesia”. Acara tersebut diadakan pada  Kamis (14/03/2024).

Aksi orasi dan pernyataan sikap menampilkan replika keranda yang bertuliskan “Demokrasi”. Replika keranda tersebut menjadi simbol sikap, yaitu matinya demokrasi di Indonesia. 

Aksi ini dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Hymne UII. Dilanjutkan sesi orasi yang dilakukan oleh beberapa sivitas akademika UII, seperti Dr. Abdul Jamil, Prof. Ridwan Khairandy, Prof. Masduki, Karina Utama Dewi, perwakilan alumni Pito Agustin hingga Wakil Dekan Fakultas Hukum UII Prof. Sri Hastuti.  

Dalam orasinya, Abdul Jamil mengungkapkan bahwa presiden masih jauh dari perwujudan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan. “Kita adalah rakyat yang pernah memberikan mandat kepada DPR kepada presiden, untuk itu kita mendukung presiden dalam rangka kebenaran, keadilan, kesejahteraan. Tetapi hari ini kita masih melihat bahwa presiden kita jauh dari itu.” ujar Jamil.

Poin Pernyataan Sikap UII 

Aksi kemudian dilanjutkan dengan pembacaan pernyataan sikap UII yang dibacakan oleh Rektor UII, Prof. Fathul Wahid. Adapun 7 (tujuh) poin utama pernyataan sikap itu adalah sebagai berikut:

  1. Menuntut seluruh penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi etika berbangsa dan bernegara, menghormati hak dan kebebasan warga negara, dan mengembalikan prinsip independensi peradilan. 
  2. Mengingatkan pejabat negara bahwa mereka memiliki tugas konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa demi tercapainya masyarakat yang sejahtera, beradab, adil, dan makmur.
  3. Mendorong partai politik untuk menjaga independensinya sehingga berdaya dalam menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan mampu menjalankan perannya untuk membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  4. Mendesak partai politik yang kalah dalam Pemilihan Presiden 2024 ini untuk menjadi oposisi penyeimbang yang berpegang teguh pada etika berbangsa dan bernegara, serta menjunjung tinggi Konstitusi dan hak-hak asasi manusia dengan menggunakan hak angket dan mencari langkah politik dan hukum lainnya sebagai penghukuman terhadap Presiden Jokowi yang terbukti mengkhianati Reformasi 1998 dan telah melakukan praktik korupsi kekuasaan secara terbuka. 
  5. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk kembali sadar dengan memboikot partai politik yang menjelma menjadi penghambat kekuasaan dan uang serta terang-terangan mengkhianati tugas utamanya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. 
  6. Meminta lembaga-lembaga negara sesuai tugasnya seperti Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, Dewan Kehormatan Penyelenggara, dan Ombudsman Republik Indonesia untuk mengusut semua kecurangan pemilu, termasuk yang dilakukan Presiden Jokowi, pada masa sebelum, ketika, dan sesudah pemungutan suara. Pemilu harus menjadi sarana menghasilkan pemerintahan yang absah (legitimate).
  7. Menyerukan kepada aktivis masyarakat sipil untuk melakukan pembangkangan sipil dan menolak menjadi bagian dari kekuasaan yang direbut dengan berbagai muslihat tuna etika. Secara khusus, kami menyeru para tokoh kritis nasional untuk bersatu dan membuat oposisi permanen melawan rezim politik dinasti yang menjadi predator pemangsa dan pembunuh demokrasi di Indonesia.

Setelah pembacaan pernyataan sikap, aksi ditutup dengan menaburkan bunga ke replika keranda dan  membawanya ke makam UII. 

Fathul Wahid menyampaikan bahwa aksi ini diharapkan dapat menjadi pemicu untuk mengubah kebijakan kembali ke arah etika, kembali kepada konstitusi, dan menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat tertinggi.

“Banyak program yang katakanlah kita tidak masuk akal, tidak pro kepada kesejahteraan dan pro kepada oligarki. Kita bisa kritisi, kita bisa beri peringatan, supaya kembali bahwa rakyat harus dimuliakan, suara rakyat terdengarkan dan jangan sampai rakyat dimanipulasi” tambah Fathul.

Liputan bersama: Khatibul Azizy Alfairuz, Anggita Rachmi Saraswati, dan Fira Septianingrum.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *