Warisan UII yang Ditinggalkan Mahasiswanya

“Mahasiswa UII lebih memilih membangun kelas sosial baru, ketimbang menghidupkan ingatan dan semangat perjuangan”

Mengupas sejarah perjuangan mahasiswa UII (Universitas Islam Indonesia) dari masa ke masa, dibarengi dengan semangat menggebu-gebu membuat kampus UII bisa terdengar. Melalui perlawanan heroik kepada Orba (Orde Baru) yang bertindak sewenang-wenang dan represif, demonstrasi serta kritik yang disampaikan melalui media pers UII telah menjadi medium perlawanan. Meski pemerintah Orba menggempur dengan membredel media pers UII, hal ini tidak menjadi hambatan untuk takut terhadap penguasa.

Benih-benih perjuangan terus ditanamkan, melahirkan salah satu sosok penting, yaitu Slamet Saroyo. Keberaniannya mengungkap kasus korupsi di kampus yang dikenal sebagai kampus ekonomi di Condongcatur, merupakan cerminan nilai-nilai perlawanan yang ditanamkan. Meskipun upaya yang dibangun Slamet Saroyo membuat dirinya mati karena kampusnya sendiri, warisan perlawanan tetap bersemayam dan diteruskan oleh mahasiswa UII setelahnya.

UII memiliki sejarah panjang yang lahir dari rahim para pejuang seperti Mohammad Hatta, Abdoel Kahar Muzakir, Abdul Wahid Hasyim, dan lainnya. Mereka mewariskan semboyan “kampus perjuangan’’ yang kini ditanggalkan dengan sikap mahasiswanya yang lebih senang menonton ketimpangan.

Hilangnya Perjuangan Mahasiswa UII

Gap ini mulai timbul sejak mahasiswa generasi COVID-19 yang terisolasi oleh larangan berkumpul di masa pandemi. Meskipun ada aktivitas politik, nihil pembahasan yang berfokus pada masyarakat, sebaliknya mereka sibuk dengan perebutan kursi kekuasaan. Ironisnya pertarungan organ-organ kampus hanya melempar sentimen belaka. Hal ini diperburuk dengan pikiran pragmatis di sebagian kalangan mahasiswa. Alih-alih merespon isu-isu sosial, mereka lebih fokus pada persaingan kekuasaan. 

Hal tersebut ditandai dengan berbagai proyek strategis nasional yang melakukan pendekatan represif kepada masyarakat, namun tidak dihiraukan oleh sebagian besar mahasiswa. Banyak masyarakat kehilangan tanahnya serta ekosistem yang rusak akibat proyek nasional, seperti di Wadas, Rempang, Pakel, Sagea, Obi, dan lainnya. Pandangan apatis mahasiswa ini membawa kita pada pertanyaan: apakah esensi menjadi mahasiswa hanya sebatas meraih gelar dan posisi, tanpa memberikan kontribusi signifikan pada perbaikan sosial? Seakan-akan, semangat perjuangan dan idealisme telah tenggelam dalam arus pragmatisme dan hasrat kekuasaan.

Mahasiswa yang sejatinya menjadi instrumen perlawanan dengan keyakinannya kini terlihat kehilangan semangat. Kata “lawan” yang seharusnya keluar dari mulut mahasiswa UII, kini seperti lenyap. Turun ke jalan tidak lagi terasa menarik di benak Mahasiswa UII. Kritik terhadap kebijakan penguasa yang dulu menjadi nyaring dan berani, kini terasa redup. Isu-isu sosial yang seharusnya menjadi sorotan utama mahasiswa, seperti ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan hak asasi manusia terabaikan. Mahasiswa UII yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengamati dan menanggapi permasalahan sosial, terlihat semakin terperangkap dalam jaringan ambisi politik internal kampus. Pergeseran fokus ini menciptakan distorsi nilai-nilai perjuangan yang selama ini diwariskan, memicu pertanyaan fundamental mengenai esensi keberadaan mahasiswa sebagai agen perubahan.

Jika Slamet Saroyo bangkit dari kuburnya, ia pasti menangis melihat fenomena pahit perjuangan yang dulu berkobar di hati mahasiswa UII kini telah pudar. Masihkah mahasiswa UII merasakan getaran semboyan kampus perjuangan? Apakah perjuangan Slamet Saroyo merupakan korban kejamnya perubahan zaman sampai-sampai semangatnya tidak diikuti lagi?

Mengembalikan Marwah perjuangan 

Hari ini, demokrasi terjerumus, ketimpangan merajalela, eksploitasi, dan penggusuran merusak kehidupan. Semua itu akibat oligarki yang semakin lepas kendali. Sebagai mahasiswa UII, semboyan kampus perjuangan bukan sekadar sejarah, tetapi panggilan tindakan. Mahasiswa UII sejatinya lahir dari rahim para pencetus maka sudah seharusnya mereka menghidupkan semboyan itu. Tidak hanya dengan kata-kata, tapi juga dalam bentuk perlawanan. 

Perlawanan adalah bentuk cara menjaga keseimbangan antara penguasa dan masyarakat. Maka dari itu, diperlukan terobosan untuk membawa perubahan Indonesia menuju lebih baik. Sebagai agen perubahan, mahasiswa lah yang semestinya melakukan hal tersebut. Melihat, mendengar, berbicara, dan melakukan merupakan empat pilar prinsip yang harus ditanamkan secara mendalam dalam diri setiap mahasiswa untuk menyikapi permasalahan sosial. 

Pertama-tama, kemampuan melihat bukan sekadar observasi fisik, melainkan pandangan yang tajam untuk merasakan dan memahami esensi masalah. Ini berarti memahami akar penyebab, serta meresapi dampaknya pada individu dan masyarakat. Mendengar bukan hanya secara harfiah, tetapi mendengar dengan hati memberikan perhatian pada suara-suara yang terpinggirkan. Hal Ini melibatkan empati dan kepekaan terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Berbicara tak hanya merapal kata-kata, melainkan menjadi suara yang mampu menyuarakan kebenaran dan keadilan. Mahasiswa UII harus mampu menjadi agen perubahan dengan memberikan solusi yang konstruktif. Terakhir, melakukan bukan sekedar retorika, melainkan upaya nyata. Mahasiswa UII diharapkan menjadi motor penggerak dalam menjembatani divisi antara pemerintah dan masyarakat.   

Mahasiswa UII, marilah kita mengukir kembali sejarah yang tak terlupakan! Ambil sikap dengan kembali turun ke masyarakat. Mahasiswa UII bukan kanan, bukan pula kiri, mereka adalah bayang-bayang yang membuat semua itu berdimensi. Mereka adalah katalisator yang dimiliki alam semesta, kita adalah gempa yang menandakan penguasa tidak bisa mengendalikan gravitasi.

Sabri Khatami Can

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *