Kritik Tajam Pakar Hukum Terhadap Klaim Hak Berkampanye dan Memihak Presiden Jokowi

“Presiden itu bersumpah bahwa dia akan memenuhi kewajibannya sebagai presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, ada kata-kata adil itu dalam sumpah jabatan. Jadi kalau dia memihak artinya adil atau tidak? Ya mestinya tidak adil” ujar Moh. Hasyim.

Yogyakarta-Keadilan. Kontroversi seputar pernyataan Presiden Jokowi tentang keberpihakan dan kampanye sedang menjadi sorotan publik. Jokowi mengklaim bahwa presiden berhak untuk berpihak dan berkampanye asal tidak menggunakan fasilitas negara. Hal tersebut mengacu pada Pasal 299 Ayat (1) Undang-Undang Pemilihan Umum yang memberi hak kepada Presiden dan Wakil Presiden untuk melakukan kampanye. Pernyataan tersebut dikeluarkan Jokowi pada Rabu 24 Januari 2024 di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur saat  menghadiri acara serah terima alutsista bersama menteri pertahanan Prabowo Subianto yang sekarang sedang mencalonkan diri sebagai presiden.

Legalitas Hak Berpihak dan Berkampanye Presiden

Menurut Anang Zubaidy, S.H., M.H., ahli hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII), pernyataan tersebut mengundang kontroversi karena yang mengucapkan pernyataan tersebut itu adalah institusi presiden “Kenapa itu menimbulkan kontroversi, karena menurut saya ada beberapa hal yang menjadi penyebab. Satu, kontroversi itu muncul karena yang menyatakan adalah institusi presiden”. Ia juga menambahkan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, Jokowi mempunyai tanggung jawab memegang teguh undang-undang dasar dan berlaku adil untuk semua, juga memastikan pelayanan publik yang adil dan profesional. 

Anang menambahkan bahwa sebagai kepala negara, presiden mempunyai tanggung jawab untuk memimpin bagi seluruh anak bangsa dan dalam kontestasi pemilu tidak ada yang ditinggalkan. Pernyataan Jokowi tersebut juga menjadi kontroversi karena anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sedang mengikuti kontestasi pemilu “Ketika yang berbicara itu semisal Presiden Jokowi kemudian yang kontestasi itu tidak ada hubungan kekeluargaan dengan Jokowi atau presiden bisa jadi kontroversinya tidak semelekat ini” ujar Anang. Kendati demikian, menurutnya pernyataan tersebut tetap bermasalah karena institusi kepresidenan seharusnya dipegang oleh orang yang memang betul-betul menjadi bapak bagi semua orang.

Moh. Hasyim, S.H., M.Hum., ahli hukum administrasi negara UII, juga turut menanggapi pernyataan Jokowi soal hak keberpihakan presiden. Menurutnya, pernyataan presiden boleh memihak tidak sesuai dengan prinsip netralitas yang ada dalam undang-undang. Ia menyoroti asas netralitas dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terutama Pasal 10 Ayat 1 Huruf C yang menekankan ketidakberpihakan “Baik kepada aparatur pemerintahan secara umum entah itu presiden, entah siapa siapapun juga, ada di Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan di Pasal 10 Ayat 1 Huruf C, ada kata-kata ketidakberpihakan”. Selanjutnya, ia menambahkan seharusnya asas ketidakberpihakan harus digunakan sebagai landasan bertindak bagi seluruh aparatur pemerintahan, termasuk presiden “Itu salah satu asas pemerintahan yang baik yang mestinya digunakan sebagai landasan untuk melakukan tindakan ataupun keputusan oleh seluruh aparatur pemerintahan, termasuk presiden”.

Hasyim juga membahas sumpah presiden pada Pasal 9 Undang-Undang Dasar 1945. Sumpah tersebut berbunyi “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa”. Mengenai sumpah itu Hasyim menilai bahwa presiden berkomitmen untuk memenuhi kewajibannya sebagai presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Ia menambahkan bahwa jika presiden memihak, hal itu seharusnya dianggap tidak adil “Presiden itu bersumpah bahwa dia akan memenuhi kewajibannya sebagai presiden itu dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Ada kata-kata adil itu dalam sumpah jabatan. Jadi kalau dia memihak artinya adil atau tidak? Ya mestinya tidak adil”.

Etika dan Pengawasan

Persoalan tentang larangan presiden tidak boleh menggunakan fasilitas negara dalam berkampanye juga menjadi sorotan. Menurut Anang Zubaidy, tidak ada yang dapat menjamin presiden tidak menggunakan fasilitas negara “Kemana-mana dia tetap ada pengamanan. Pengamanan itu kan fasilitas negara, pakai uang rakyat kan begitu. Kendaraan, oke kalau kendaraan pakai kendaraan pribadi apa enggak kecampur uang negara, jadi kalau dia bilang sepanjang tidak menggunakan fasilitas negara presiden boleh berkampanye itu menurut saya tidak tepat”.

Selain aturan penggunaan fasilitas negara, presiden yang berkampanye juga diwajibkan untuk mengambil cuti. Anang menyampaikan bahwa izin cuti presiden tidak langsung kepada siapa pun, melainkan ke presiden sendiri. Dia mengungkapkan bahwa proses izin cuti melibatkan permohonan izin kepada presiden sehingga dianggap aneh oleh nalar publik ketika presiden berkampanye “Izin cutinya ke presiden, jadi Jokowi izin cuti ke Presiden Jokowi kira-kira begitu, makanya aneh kan, dari situ saja nalar publik sudah bisa membaca ini presiden kalau kampanye aneh”.

Dalam pengawasan, menurutnya terdapat tiga cara, yaitu melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan masyarakat. Pertama, melalui Bawaslu yang mengawasi agar presiden tidak berkampanye karena bagian dari penyelenggara negara. Kedua, DPR memiliki fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, dan bisa memanggil presiden untuk menjelaskan terkait dugaan pelanggaran. Ketiga, masyarakat dapat ikut mengawasi, baik dengan seruan moral maupun jalur hukum. Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)  jika ada dugaan pelanggaran asas keadilan, profesionalitas, dan proporsionalitas, seperti yang terjadi dalam pembagian bantuan sosial oleh presiden.

“Saat dia (Jokowi) membagikan bansos di belakangnya ada spanduk Prabowo Gibran itu juga pelanggaran terhadap asas proporsionalitas, asas profesionalitas, jadi banyak pelanggaran yang dilanggar oleh presiden dan masyarakat bisa melakukan jalur hukum, kalau mau teman-teman bisa gugat” ujar Anang.

Baik dari segi hukum maupun etika, menurut Anang Presiden Jokowi sudah melanggar rambu-rambu yang ditetapkan “Presiden Jokowi sudah melanggar rambu-rambu yang sudah ditetapkan baik itu rambu-rambu hukum, maupun rambu-rambu etika sehingga patut dipertanyakan, komitmen Presiden Jokowi dalam bernegara. Seorang Presiden itu seorang negarawan, ketika sudah di pertanyakan komitmen kenegarawanannya, menurut saya sebenarnya sudah tidak pantas jadi Presiden”. Kendati demikian, dia menambahkan bahwa persoalan pantas atau tidak harus ditempuh melalui mekanisme konstitusional. Pengawasan oleh DPR, termasuk hak angket dan pertanyaan, serta peringatan masyarakat melalui seruan moral dan jalur hukum, dianggap penting ujarnya. 

Liputan bersama: Salma Shafa Hesuanda, Anggita Rachmi, Titis Bekti Purwita, dan Fira Septianingrum.

Khatibul Alfairuz

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *