Konflik Agraria: Perjuangan Warga Wadas Mempertahankan Lingkungan Hidup dari Penambangan

Konflik agraria memang banyak terjadi di Indonesia, di Desa Wadas salah satunya. Negara dengan gencar mengeluarkan maklumat gawat darurat COVID-19 dan segala protokol kesehatannya, namun negara lupa dalam menjaga dan melestarikan lingkungan demi keberlangsungan hidup rakyatnya.

Problematika yang terjadi di desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah sejak beberapa tahun silam masih belum menemukan titik terang. Permasalahan bermula saat ditemukannya batuan andesit (quarry) yang berada di pegunungan Wadas, yang mana batuan andesit tersebut diperuntukkan sebagai material pembangunan Bendungan Bener. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41 tahun 2018, Desa Wadas di Kecamatan Bener adalah lokasi yang akan dibebaskan lahannya dan dijadikan lokasi pengambilan bahan material berupa batuan andesit untuk tujuan pembangunan Bendungan Bener.

Proyek Bendungan Bener merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Hal ini berdampak negatif terhadap lingkungan karena dapat menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Proyek bendungan yang akan dilakukan oleh PT Pembangunan Perumahan Persero Tbk ini digadang-gadang menjadi proyek pembangunan bendungan tertinggi di Indonesia. Bendungan tersebut rencananya dibangun dengan ketinggian sekitar 159 meter, panjang timbunan 543 meter, dan lebar bawah sekitar 290 meter.

Namun tidak mudah bagi pemerintah untuk dapat melaksanakan proyek pembangunan tersebut, lantaran rencana penambangan menuai banyak penolakan dari berbagai pihak. Dalam perjalanannya, warga desa Wadas melalui paguyuban Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) menolak adanya pertambangan batuan andesit dan pembangunan Bendungan Bener. Penolakan yang dilakukan oleh warga bukan tanpa alasan, karena Desa Wadas merupakan wilayah lingkungan hidup dan bukan wilayah pertambangan. Hal ini juga dipertegas di Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo No. 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purworejo Tahun 2011-2031 yang mana dalam beberapa pasal menyebutkan bahwa wilayah desa Wadas yang terletak di Kecamatan Bener merupakan kawasan rawan bencana tanah longsor dan kekeringan. Sehingga tidak seharusnya dibangun pertambangan batuan andesit di desa tersebut.

Ketergantungan masyarakat terhadap bumi Wadas juga menjadi jawaban dari adanya penolakan pertambangan tersebut. Hal ini pun berpengaruh terhadap perekonomian warga jika proyek penambangan tetap dilakukan, karena sebagian besar masyarakat dari sepanjang jalan dusun kaliancar hingga randuparang bertahan hidup melalui hasil alam yang melimpah, mulai dari kayu, bambu, madu, olahan nira, kopi, dan hasil pertanian atau perkebunan lainnya. Potensi adanya berbagai macam krisis akibat penambangan andesit yang akan menggusur ruang hidup, membuat Gempa Dewa yakin untuk melakukan berbagai bentuk perjuangan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Hal-hal di atas seharusnya bisa menjadi pertimbangan pemerintah dalam merumuskan dan mengeluarkan suatu kebijakan, kebijakan pemerintah seharusnya diarahkan pada upaya pemenuhan kebutuhan rakyat sehingga tercipta kesejahteraan. Warga Wadas yang dibantu oleh LBH Yogyakarta dan berbagai organisasi gerakan diseluruh Indonesia masih terus berjuang memperjuangkan tanah rakyat tersebut. Berkali-kali warga Wadas melakukan aksi serta audiensi dengan penuh semangat perjuangan dalam menjaga ruang hidup dan lingkungannya.

Gempa Dewa di dalamnya juga terdapat Perkumpulan Perempuan Desa Wadas yang disebut Wadon Wadas, yang mana mereka hadir dari keresahan yang sama dan kesadaran atas dampak buruk yang akan terjadi akibat rencana pertambangan tersebut. Wadon Wadas juga sangat berperan dalam setiap perjuangan seperti dalam beberapa kesempatan Wadon Wadas mewakili audiensi di Kapolres Purworejo pada tanggal 4 Maret 2021 dan juga pada tanggal 8 April 2021 di Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO). Pada kesempatan sebelumnya warga Wadas sebenarnya sudah menyampaikan penolakan sejak tahap perencanaan dan sebelum terbitnya Izin Penetapan Lokasi (IPL) Nomor 590/41 tahun 2018, namun aspirasi tersebut tidak diindahkan oleh BBWS SO dan justru memperpanjang IPL dengan surat nomor 539/29 tahun 2020. Oleh karena itu Wadon Wadas dengan audiensi ini mendesak BBWSSO untuk tidak menjadikan desa Wadas sebagai lokasi pertambangan.

Untuk Memperkuat Perlawanan Wadon Wadas, Gempa Dewa pun memberikan surat keberatan dan penolakan yang berisi pernyataan sikap warga Wadas kepada Kantor Pertanahan Negara (BPN) pada tanggal 20 April 2021. Alih-alih mengabulkan permintaan warga justru pada tanggal 23 April 2021 direncanakan pengukuran dan pematokan lahan untuk penambangan tersebut. Warga yang sudah mengetahui rencana tersebut pun menghadang dengan cara merobohkan beberapa pohon. Terlihat di akun Instagram Gempa Dewa, puluhan polisi dan tentara mengawal dan menjaga kegiatan pemasangan patok lokasi penambangan batu. Dalam kejadian ini terjadi bentrok antara aparat dan warga serta beberapa mahasiswa yang bersolidaritas. Aparat juga memukul warga termasuk ibu-ibu yang sedang bersholawat di barisan paling depan hingga banyak terjadi korban luka-luka dan beberapa orang ditangkap. Dengan adanya kejadian tersebut banyak dukukan dari berbagai pihak untuk warga Wadas dalam melakukan perlawanan.

Konflik agraria memang banyak terjadi di Indonesia, di Desa Wadas salah satunya. Negara dengan gencar mengeluarkan maklumat gawat darurat COVID-19 dan segala protokol kesehatannya, namun negara lupa dalam menjaga dan melestarikan lingkungan demi keberlangsungan hidup rakyatnya. Alih-alih menjaga alam dan melestarikannya, justru dengan mudah mengizinkan penambangan dan perusakan lingkungan yang mana sudah jelas tertera bahwa pegunungan Wadas merupakan wilayah yang rawan bencana. Lantas, apabila penambangan tetap dilakukan maka sama hal nya dengan membiarkan kekayaan alam dan ekosistem beragam yang ada musnah dengan seketika. Lantas, apabila penambangan tetap dilakukan maka sama hal nya dengan membiarkan kekayaan alam dan ekosistem beragam yang ada musnah dengan seketika.

Imroah Qurottul Aini

Penulis merupakan ffats Bidang Penelitian dan Pengembangan LPM Keadilan Periode 2020-2021. Sebelumnya penulis juga pernah menjadi staff bidang penelitian dan pengembangan periode 2019/2020.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *