Pekerja Perempuan Indonesia Dalam Pusaran Rezim Patriarki

Angka-angka ketidakadilan gender di lingkup pekerjaan yang semakin naik ternyata tidak juga membuat pemangku kebijakan sadar bahwa mayoritas lingkungan pekerjaan tidak ramah terhadap buruh perempuan.

Tanggal lima bulan Oktober tahun ini mungkin lekat di memori semua orang, tekhusus buruh. Hari ini, lahirlah sebuah Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang dinilai cacat prosedur sebab disahkan secara diam-diam oleh para dewan yang mulia di Senayan. Berbagai polemik sudah menemani perjalanan Rancangan Undang-Undang tersebut, dari yang sifatnya akademis hingga aksi massa turun ke jalan seperti Gejayan Memanggil demi batalnya pengesahan. Namun seperti biasa, perwakilan rakyat kita seakan tutup telinga dan mata dengan penolakan besar-besaran yang terjadi. Kepentingan golongan mereka menjadi prioritas utama Rancangan Undang-Undang tersebut naik ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas), hingga pandemi seakan tidak menghalangi jalannya pembahasan.

Pro kontra turut menyertai perjalanan disahkannya Omnibus Law. Substansi dari Undang-Undang ini jelas merugikan para pekerja, khususnya buruh perempuan. Peraturan baru yang kental dengan iklim pelicinan jalan masuk bagi investor ini tidak berpihak terhadap perempuan dan berbau patriarki. Buruh perempuan seakan hanya dianggap alat produksi tanpa fungsi biologis sama sekali. Dalam Omnibus Law, buruh perempuan tetap dapat mengambil jatah cuti haid atau hamil dan melahirkan namun haknya berupa pembayaran upah secara penuh tidak lagi menjadi kewajiban perusahaan. Padahal dalam Pasal 81 dan 82 jo. Pasal 84 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatakan bahwa setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat selama pra dan pasca melahirkan dan keguguran berhak mendapat upah penuh. Pekerja/buruh yang mengambil istirahat dalam masa haid maka pelaksanaan ketentuannya diatur dalam peraturan perusahaan. Walaupun dalam realitanya, tanpa Omnibus Law, kekerasan berbasis gender dalam lingkup pekerjaan kerap terjadi salah satunya dalam bentuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ketika mengajukan cuti hamil.

Hal ini jelas mendiskreditkan pengalaman biologis buruh perempuan dan hak anak dalam pemberian ASI eksklusif oleh ibu untuk mendukung tumbuh kembangnya. Padahal seharusnya negara menjamin hak istirahat yang cukup disertai upah penuh buruh perempuan pra dan pasca melahirkan, mengingat bahwa melanjutkan keturunan merupakan hak asasi yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 28B ayat (2). Negara juga sudah seharusnya bisa mendorong perusahaan dalam pengadaan ruang laktasi demi melindungi anak sebagai generasi bangsa selanjutnya dari ancaman gizi buruk.

Jika ditarik lebih jauh, peraturan yang usianya belum ada sebulan ini akan melahirkan kekerasan gender yang baru berupa perkawinan anak. Anak perempuan akan kembali mengalami kemunduran sebab dianggap tidak seproduktif anak laki-laki untuk dijadikan sumber daya manusia bagi korporasi. Pengalaman biologis perempuan berupa kehamilan atau haid akan dianggap sebagai penghambat produktifitas.

Absennya Perlindungan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja

Sayangnya, penderitaan perempuan di Indonesia hari ini belum saja berhenti disitu. Rezim seakan memperjelas sifat patriarkinya dengan menolak pengesahan Undang-Undang yang memuat terkait perlindungan perempuan dari kekerasan seksual. Bagaimana tidak, pemerintah saat ini seakan tutup mata dan telinga terkait perlindungan perempuan dari kekerasan gender. Salah satu contoh nyata adalah dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Prolegnas prioritas tahun 2020.

RUU PKS dikeluarkan dari daftar Prolegnas Prioritas karena dianggap sulit dan alot dalam sidang pembahasan. Padahal, bentuk normatif dari perlindungan kekerasan seksual ini urgent dibutuhkan oleh rakyat dan di dalamnya termasuk buruh perempuan.  Pada catatan tahunan paling baru milik Komisi Nasional Anti Kekerasan (KOMNAS) Perempuan, terdapat fakta bahwa kekerasan berbasis gender pada perempuan meningkat enam persen dari tahun sebelumnya, termasuk kekerasan seksual dalam ranah komunitas yang termasuk pula lingkungan pekerjaan. Dalam data tersebut, pelaku yang memiliki relasi pekerjaan seperti atasan/bawahan menempati peringkat lima tertinggi yaitu 55 kasus.

Padahal jika RUU PKS segera disahkan, negara akan menyelamatkan ratusan bahkan ribuan buruh perempuan dari ancaman kekerasan seksual di lingkup pekerjaan yang masih didominasi dengan pola pikir patriarki. Salah satu contoh nyata adalah kasus pelecehan seksual terhadap pekerja perempuan di kawasan pabrik Cakung, Jakarta Timur yang kemudian didokumentasi menjadi sebuah film berjudul Angka Jadi Suara buatan Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP). Namun, minimnya bentuk-bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam hukum positif di Indonesia menyebabkan sulit untuk membawa kasus ini ke meja hijau. Bayangkan jika RUU PKS disahkan sesegera mungkin, buruh perempuan yang rentan oleh pelecehan seksual berulang akibat relasi kerja yang mengharuskan adanya pertemuan setiap hari dengan pelaku akan lebih terjamin perlindungan harkat dan martabatnya. Sebab dalam RUU PKS, diatur secara detail mengenai definisi kekerasan seksual berupa pelecehan, yaitu  bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.

RUU PKS juga menjadi harapan di kalangan aktivis buruh karena bukan hanya menawarkan penjatuhan pidana bagi pelaku sebagai solusi represif, namun juga diatur terkait langkah preventif. Pada Pasal 9 disebutkan bahwa salah satu bentuk pencegahan kekerasan seksual adalah dengan menetapkan kebijakan anti kekeras seksual di korporasi, serikat pekerja, asosiasi penyalur tenaga kerja dan/atau pihak lain. Hal ini bisa dikatakan sebagai titik terang dari kelamnya budaya patriarki yang kental di lingkungan pekerjaan khususnya dalam bidang yang dianggap maskulin oleh masyarakat.

Kasus dan Penyintas Hanya Dianggap Angka

Angka-angka ketidakadilan gender di lingkup pekerjaan yang semakin naik ternyata tidak juga membuat pemangku kebijakan sadar bahwa mayoritas lingkungan pekerjaan tidak ramah terhadap buruh perempuan. Presiden beserta jajarannya seakan tutup mata dan memandang penyintas serta buruh perempuan yang direpresi oleh korporasi sebab dianggap menurunkan angka produktivitas hanyalah jejeran kasus yang menjadi angka-angka dalam data penelitian. Fokus pemerintah kini hanyalah kepada pemajuan ekonomi secara pesat tanpa melihat kesejahteraan rakyat sebagai sumber daya manusia penunjang kemajuan yang dicita-citakan tersebut. Buruh perempuan yang juga manusia dengan fungsi reproduksi kini hanya dapat gigit jari melihat nasibnya yang semakin tidak menentu karena lahirnya Undang-Undang Omnibus Law. Mereka juga tetap harus menerima kenyataan ketika nantinya akan menjadi korban kekerasan seksual dilingkup kerja secara berulang karena belum adanya jaminan yang masif dari negara untuk mendorong korporasi dalam penyusunan kebijakan anti kekerasan seksual.

Kirana Nandika Ramaniya

Penulis merupakan Pimpinan Redaksi LPM Keadilan Periode 2019-2020. Sebelumnya penulis juga pernah menjadi Staf Bidang Redaksi LPM Keadilan, tepatnya sebagai Redaktur Online Periode 2018-2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *