“Kini batas jurnalisme tumpang tindih dengan propaganda, hiburan, iklan dan seni. Bias para wartawan, entah dengan negara, kebangsaan, agama maupun etnik, jadi biasa.” –Andreas Harsono, A9ama Saya Adalah Jurnalisme.
Oleh: Chandra Izmi*
Panggung aksi Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) pada hari Jumat (27/01/2017) terkait pernyataan pengunduran diri Harsoyo selaku Rektor UII. Hal ini berdasarkan insiden pendidikan dasar (Diksar) mahasiswa pecinta alam (Mapala) Unisi—UII—menjadi sorotan banyak pihak. Pada aksi yang melibatkan seluruh elemen mahasiswa ini mengusung tema save rektor untuk mendukung Harsoyo tetap menjabat sebagai rektor. Namun yang menjadi daya tarik pada aksi tersebut adalah pernyataan dari salah satu orator bahwa dia mengajak seluruh mahasiswa untuk tidak terprovokasi dan jangan mau untuk diwawancarai oleh media manapun.
Selain itu terdapat pernyataan dari salah satu anggota tim investigasi yang turut hadir dalam aksi tersebut, mengatakan bahwa media-media terlalu memojokkan dengan memberitakan bahwa pihak kampus lamban menangangi kasus tersebut. Padahal menurut dia, pihaknya terus bekerja untuk mengusut dan menuntaskan sehingga dapat menemukan pelaku dari penganiayaan Diksar Mapala Unisi. Hal itu didasari oleh banyaknya pemberitaan yang beredar melalui online oleh media-media mainstream. Berita-berita itu terkesan memojokkan, hingga pernyataan dalam aksi tersebut untuk tidak menerima wawancara adalah sebagai wujud ketidakpercayaan pada media. Selain itu terdapat kesimpangsiuran pemberitaan yang diusung oleh media mainstream tersebut.
Sebagai contoh, laman Berita360.com pada tanggal 25 Januari 2017 memuat berita dengan judul “Mengupas Dugaan Pembunuhan Brutal dan Penyiksaan Massal Great Camping Mapala UII”. Di dalamnya tertulis, “Dugaan pembunuhan brutal dan penyiksaan massal saat kegiatan Great Camping Mapala Unisi Universitas Islam Indonesia (UII) menimbulkan kegeraman dan kemarahan publik. Bagaimana mungkin kaum intelektual bisa berlaku kejam hingga membuat tiga mahasiswa tewas, 10 mahasiswa dirawat intensif dan sisanya masih menjalani pemeriksaan ulang terkait luka-lukanya. Oleh sebab itu polisi terus mencari para pelaku yang diduga membunuh dan menyiksa para peserta camping tersebut …”
Sebuah awalan berita dengan judul ‘menggairahkan’ para pembaca untuk memiliki sudut pandang bahwa kegiatan Diksar tersebut dilakukan untuk membunuh para pesertanya secara brutal. Meskipun pada judul tersebut diberikan kata ‘dugaan’ untuk menunjukkan bahwa kasus tersebut masih dalam tahap investigasi. Namun, melihat isi dari berita tersebut memanglah tidak salah jika media menuliskan bahwa publik geram atas penganiayaan yang terjadi pada Diksar Mapala Unisi.
Sebagian besar media hanya memuat keterangan dari sudut pandang keluarga korban. Alangkah baiknya jika wartawan mencari narasumber selain ibu korban misalnya, aliansi mahasiswa, organisasi, maupun lembaga-lembaga lain yang turut melakukan aksi mengecam kejadian diksar tersebut. Hal itu adalah bukti nyata dari kegeraman publik yang sebaiknya masyarakat atau pembaca tahu. Padahal pada dasarnya setiap jurnalis itu harus memiliki prinsip sembilan elemen jurnalisme yang dirumuskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Salah satunya adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kedua hal tersebut adalah kunci dari keakuratan berita yang disampaikan kepada masyarakat.
Berita dari media lain yang dapat dijadikan contoh yaitu duta.co, berjudul “Tiga Yunior Tewas Diplonco, Mapala UII Dibubarkan” dengan isi berita menuliskan, “Kematian tiga anggota Mapala akibat diplonco di Gunung Lawu membuat Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta mengambil keputusan ekstrem, yakni membubarkan unit kegiatan Mapala. Salah satu unit kegiatan favorit di UII itu dibubarkan sampai jangka waktu yang belum ditentukan. ‘Jadi lembaganya yang dibekukan. Kalau kemarin masih sebatas pembekuan segala aktivitas dan kegiatan, saat ini lembaganya,’ tegas Muzayin Nazaruddin, anggota Tim Investigasi Internal UII.”
Dapat dilihat bahwa judul dengan isi berita tersebut tidak relevan karena data yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber berbeda. Bagaimana tidak, judul berita menyatakan bahwa Mapala Unisi dibubarkan, namun pada keterangan narasumber mengatakan bahwa lembaganya yang dibekukan. Perlu diketahui pembaca bahwa pembubaran dengan pembekuan adalah suatu hal yang sangat berbeda. Pembekuan yang dimaksud menurut SK Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UII nomor 13/KPTS/DPM UII/2017 adalah Lembaga Khusus Mapala Unisi tidak boleh melakukan kegiatan apapun terkecuali melakukan rapat pengurus dan musyawarah anggota untuk melakukan evaluasi serta merumuskan kembali arah gerak organisasinya yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip kemanusiaan serta berwawasan lingkungan.
Media sebagai ajang persaingan komoditas memang lebih tampak pada sumber-sumber berita mainstream. Berita-berita mereka cenderung dianggap sebagai hasil produksi yang layak untuk bersaing dengan media lainnya. Lalu yang mereka butuhkan adalah masyarakat sebagai pembaca. Semakin banyak masyarakat yang membaca dan tertarik dengan ‘hasil produksi’ mereka, maka semakin banyaklah jumlah profit yang mereka dapatkan. Seperti halnya yang dilakukan oleh media online mainstream, kebanyakan mereka mengusung Jurnalisme Umpan Klik. Menyadur dari website Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Jurnalisme Umpan Klik adalah bentuk terendah jurnalisme media sosial dan penuh judul sensasional.
Wartawan media online mainstream mayoritas tidak lagi menulis untuk pembaca tetapi demi traffic, pengunjung, dan viewers. Mereka hanya membuat jurnalisme murahan, menulis berita berjudul gaya iklan, penuh sensasi, dan berlebihan. Hal pertama yang dilihat khalayak ketika akan membaca media online tentu judulnya. Karena sejatinya media online tidak dapat bertahan jika tidak mendapatkan iklan untuk menggaji para pekerjanya.
Bisa dibilang pemberitaan-pemberitaan semacam itu tidak dilengkapi dengan analisis lebih dalam dan hanya akan menggiring pikiran pembaca untuk menyalahkan pihak tertentu yang belum jelas akan posisi dan perannya, seperti rektor dan wakil rektor selaku pemimpin universitas atau lembaga struktural kemahasiswaan dalam kasus Mapala Unisi. Keresahan pun terjadi sebagai akibat dari kengawuran dalam penulisan ataupun isi berita.
Pada dasarnya media atau pers memiliki esensi yaitu, membentuk opini publik atau masyarakat. Namun, bukan berarti dalam dunia jurnalistik tidak memiliki standar kelayakan sendiri dalam sebuah tulisan untuk dapat lahir sebagai berita. Disadur dari buku A9ama Saya Adalah Jurnalisme karya Andreas Harsono, “Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Imparsialitas bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas.” Dalam buku tersebut juga dijelaskan bahwa wartawan yang beropini harus menjaga akurasi data-datanya dan tetap melakukan verifikasi. Hal ini karena mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.
Sejatinya, apapun tujuan yang ingin dicapai suatu perusahaan media, segala lapisan awak jurnalistik seharusnya dibekali dengan pengetahuan terkait hal tersebut. Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam karya mereka Elemen-Elemen Jurnalisme, menyatakan bahwa loyalitas pertama ada pada warga. Komitmen kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga ini adalah makna dari independensi jurnalistik. Independensi adalah kebebasan dari semua kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik.
Jurnalis tidak sama dengan karyawan perusahaan, yang harus mendahulukan kepentingan majikannya. Jurnalis memiliki kewajiban sosial, yang dapat mengalahkan kepentingan langsung majikannya pada waktu-waktu tertentu, dan kewajiban ini adalah sumber keberhasilan finansial majikan mereka.
*Merupakan Staf Pengkaderan periode 2017-2018