Categories Opini

Gagapnya Pelaksanaan Kuliah Daring di UII

“Study without desire spoils the memory, and it retains nothing that it takes in.”― Leonardo da Vinci

Universitas Islam Indonesia (UII) mengumumkan bahwa perkuliahan dilakukan melalui dalam jaringan (daring). Pengumuman bahwa kuliah dilakukan melalui daring seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Hari pertama mendengar adanya pernyataan itu dari kampus disambut sorak gembira oleh mahasiswa. Tidak perlu mandi atau menggunakan minyak wangi untuk menghadiri perkuliahan. Semua proses perkuliahan bisa dilakukan dari rumah masing-masing. Pertemuan yang membuat suntuk juga dapat dilakukan dari rumah. Kemudahan yang diberikan teknologi akhirnya terpakai juga. Sudah sekian lama proses ajar mengajar hanya dilakukan begitu-begitu saja. Bisa dikata revolusi pendidikan sedang terjadi saat ini.

Sebagai manusia, setiap hal baru akan memunculkan insting harapan terhadapnya. Perubahan cara perkuliahan tentu menjadi harapan bagi mahasiswa. Mahasiswa akan berharap bahwa proses perkuliahan melalui daring akan sama seperti biasanya. Beberapa mahasiswa juga penasaran bagaimana proses perpindahan pemikiran dapat dilakukan dengan perangkat sehari-hari. Segudang pertanyaan mengenai misteri proses perkuliahan akhirnya terjawab pada hari pertama perkuliahan daring, 16 Maret 2020. Ini menjadi pelajaran penting bagi mahasiswa UII.

Hari perdana diselenggarakannya kuliah daring jelas membuat pusing semua mahasiswa. Pada waktu itu hampir tidak ada dosen yang menyelenggarakan kuliah menggunakan metode tatap muka daring Harapan untuk dapat kuliah seperti biasa lenyap sudah. Setelah harapan itu lenyap, kepanikan Mahasiswa dituntut untuk mengerjakan soal tanpa ada bimbingan sama sekali. Layaknya negara, UII memang tidak pantas untuk diharapkan.

Harapan Akan Selalu Datang Lagi dan Lagi

Mahasiswa mengeluh kesana kemari karena tugas yang tidak manusiawi. Sosial media seperti Instagram atau Twitter dibanjiri dengan umpatan mahasiswa. Insting protes mahasiswa keluar melalui keluhan disertai gambar tugas yang sangat banyak. Keluhan ini mendapatkan simpati dari mahasiswa dari kampus lain. Mahasiswa dari kampus lain merasa kasihan kepada mahasiswa UII yang dosennya tidak bisa menggunakan Zoom atau Google Meet. Beberapa hari setelahnya mahasiswa sudah berhenti mengeluh. Mereka pasrah menerima nasib dan lebih baik mengerjakan tugasnya daripada mengeluh.

Keluhan tersebut akhirnya terdengar oleh telinga pihak rektorat. Entah bagaimana pihak rektorat mengerti keluhan mahasiswanya. Akhirnya UII memberikan harapan baru berupa surat edaran rektor yang dikeluarkan pada tanggal 14 Maret 2020. Surat edaran tersebut berisi himbauan kepada dosen untuk tidak terlalu membebani mahasiswa dengan tugas. Ternyata untuk beberapa dosen janji itu ditepati. Beberapa dosen untuk matakuliah tertentu seperti hamba yang diingatkan oleh Tuhan, mereka tersadar bahwa memberikan tugas dan slide powerpoint adalah tindakan yang tidak bertanggungjawab.

Sampai sekarang banyak dosen yang sudah menggunakan beberapa aplikasi untuk melakukan pertemuan melalui daring. Dosen menjelaskan seperti biasa, lalu disertakan powerpoint yang ditunjukkan. Keadaan sudah sama seperti sedia kala. Proses perkuliahan kembali ke jalur yang semestinya. Tetapi apakah tidak ada masalah lagi setelahnya? Apabila ada mahasiswa yang menganggap bahwa permasalahan sudah terselesaikan dengan surat ajaib tersebut, mungkin lupa bahwa mereka sedang menempuh pendidikan di UII.

Dosen dan Mahasiswa Purbakala

 Kegiatan pembelajaran melalui daring tidak menjadi masalah bagi mahasiswa. Mahasiswa juga riang mengikuti kelas, tidak keberatan sama sekali. Tetapi ada beberapa mahasiswa yang mengeluhkan mengenai jaringan. Sebenarnya klise apabila mahasiswa mempermasalahkan jaringan, sedangkan mereka saja tidak bisa lepas dari smartphone. Jaringan digunakan sebagai topeng atas kemalasan mereka. Mungkin bisa juga jaringan mereka benar tidak ada, ketika keluar rumah misalnya. Tapi siapa suruh mereka keluar rumah? Ya diri mereka sendiri. Toh UII sudah bekerjasama dengan salah satu penyedia layanan internet milik Badan Usaha Milik Negara.

Dampaknya kerjasama kampus dengan penyedia layanan internet adalah seluruh anggota UII mendapatkan kuota internet gratis. Meskipun kuota internet tersebut terbatas dan hanya bisa digunakan untuk mengakses keperluan kegiatan pembelajaran. Badan Sistem Informasi (BSI) UII tidak segan memutus akses kuota gratis apabila fasilitas tersebut disalahgunakan. Maka ketika membahas mengenai jaringan sebenarnya UII sudah bertindak sebisanya. Tidak perlu dipermasalahkan kecuali bagi mahasiwa kelahiran tahun 1965 yang menganggap teknologi adalah buatan Yahudi.

Jumlah mahasiswa yang berpandangan konservatif dalam teknologi sangat sedikit. Keberadaan jenis mahasiswa seperti mereka pun tidak ada pengaruhnya terhadap proses pembelajaran. Tapi bayangkan yang anti-teknologi tersebut adalah dosen. Surat edaran rektor tadi bisa-bisa hanya disangka broadcast WhatsApp biasa. Jenis dosen seperti ini yang membahayakan. Mereka masih saja menggunakan cara purbakala dalam penyampaian kuliah. Meskipun minoritas, tetapi sangat terasa bagi mahasiswa.

Dengan mudahnya dosen purbakala hanya memberikan tugas tanpa penjelasan rinci, lalu dianggap menghadiri kelas. Tidak mengerjakan sama dengan tidak menghadiri kelas. Sudah tidak tahu materinya apa, ditambah dengan presensi dalam bentuk tugas. Dosen seperti ini sudah dapat digolongkan tiran dalam edukasi. Semena-mena tanpa mempertimbangkan pemahaman mahasiswa. Keadaan yang memaksa tinggal di rumah dianggap seperti libur biasa. Mimpi indah bagi dosen penikmat gaji buta.

Mungkin beberapa mahasiswa tetap akan menerima jenis dosen purbakala. Tapi ada satu jenis dosen yang bahkan untuk menamainya saja susah. Dosen ini mempunyai ciri-ciri gagap teknologi dan acuh tak acuh. Bagaimana tidak, materi saja tidak diberikan. Dosen macam ini hanya dengan mudah menyuruh seseorang untuk membuat grup WhatsApp. Lalu dosen tersebut hanya memberikan informasi mengenai apa saja yang harus dipelajari, tulis nama untuk presensi, selesai. Modal mengetik WhatsApp lalu dianggap perkuliahan sudah selesai adalah korupsi dalam pendidikan.

Marah juga tidak bisa. Moralitas di Indonesia menuntut menghargai dosen sebagai orang yang lebih tua. Kritik secara langsung bisa jadi ditampar karena tidak sopan. Mahasiswa juga segan untuk mengeluhkan para dosen, karena tidak semua mahasiswa menolak ajaran seperti itu. Malah dikira sebagai pahlawan kesiangan bagi beberapa mahasiswa. Entah siapa yang kurang ajar. Mahasiswanya yang terlalu nyaman karena tidak ada pembelajaran atau dosennya yang terlalu acuh tak acuh untuk mengajar. Tetapi sumbu tetap berada pada pundak pengajar. Apabila pengajar acuh tak acuh, mahasiswa mana yang akan tertarik dengan matakuliah.

Sadar atau tidak, dosen-dosen tersebut bisa jadi alasan kegagalan mahasiswanya. Materi yang diberikan oleh dosen akan sangat berguna sampai kapanpun. Coba bayangkan ketika lima tahun kemudian mahasiswa mahasiswi ini sudah menjadi pengacara. Namun ketika menghadapi kasus warisan, mereka kalah di depan persidangan. Bukan tanpa alasan, karena saat pandemi COVID-19, dosen pengajarnya tidak memberikan penjelasan. Hal seperti ini tidak bisa dianggap remeh dan bahan tertawaan semata. Puluhan mahasiswa bergantung pada penjelasannya, tetapi mereka malah  mangkir dari tanggungjawab.

Profesionalitas para dosen tersebut patut dipertanyakan. Bukankah mereka digaji untuk menyampaikan materi dengan baik, bukan hanya untuk memberikan tugas? Paham atau tidaknya mahasiswa juga bergantung bagaimana penyampaian dosennya. Bagaimana bisa paham? Dijelaskan saja tidak, diberi buku juga tidak. Apabila ingin mencari referensi lain juga susah karena buku disediakan di perpustakaan, sedangkan mahasiswa dianjurkan untuk berada di rumah saja. Bodoh tapi resiko terkena penyakit kecil atau mengerti tapi resiko terkena penyakit membesar? Ini adalah pilihan sulit yang harus tetap diambil oleh mahasiswa.

Epilog yang Sudah Tertebak

Sangat sedih melihat perjuangan dosen lain yang berusaha semaksimal mungkin dalam proses perkuliahan. Dengan perlengkapan seadanya mereka berjuang dalam penyampaian ilmu. Mahasiswa juga akan menghargai dosen yang sudah berusaha untuk mengadakan perkuliahan daring. Apabila terpaksa tidak dapat mengadakan pertemuan daring, setidaknya berikan materi yang cukup rinci kepada mahasiswanya. Memberikan tugas juga tidak boleh seenaknya seperti jika salah diberi nilai 20 tanpa penjelasan.

Kegentingan pandemi tetap tidak bisa dijadikan alasan untuk malas dalam menyampaikan materi. Memang kuliah melalui daring tidak sepenuhnya efektif, tapi tetap saja merupakan satu-satunya cara dalam keadaan darurat seperti ini. Kita tidak boleh tutup mata tutup telinga akan bantuan teknologi dalam proses pembelajaran. Ketidaktahuan akan teknologi seharusnya dikejar agar dimengerti, bukan ditinggalkan dan menggunakan jalan pintas.

Mendapat pengalaman seperti ini memang subjektif. Tidak semua mahasiswa mengalami pengabaian ini. Sangat beruntung apabila mahasiswa mendapatkan dosen yang dapat menyampaikan materi dengan baik. Meskipun kemungkinan mendapatkan dosen memuakkan sangat kecil, tetapi tetap saja bisa terjadi. Ilmu tetap ilmu, pengetahuan tetap pengetahuan. Tidak bisa digantikan dengan ketikan presensi WhatsApp semata, karena ilmu adalah salah satu hak yang harus dipenuhi oleh universitas.

Apakah UII tidak bisa memberikan jaminan bahwa mahasiswa tetap mendapat ilmu meskipun terjadi situasi pandemi? Bukannya seharusnya mahasiswa mendapat privilege dalam kampus yang mahal ini? Tetapi sadar diri saja, bahwa UII memang seperti pabrik pencetakan ijazah. Tidak bisa berharap banyak pada kampus tercinta ini. Apabila ada ajang penghargaan mempertahankan status quo, UII adalah juaranya. Masalah seperti ini hanya akan dianggap angin lalu tanpa ada tindak lanjut yang jelas. Dosen purbakala juga tetap akan menjadi dosen purbakala. Ilmu hanya dijadikan komoditas di balik nama besar UII. Para dosen purbakala lupa, bahwa hakikatnya penyampaian ilmu adalah proses sakral perpindahan tongkat estafet untuk peradaban manusia yang lebih baik.

1 comment

Rahadian Suwartono, SH. says:

Apakah ada data berapa banyak dosen ‘purbakala’ yang dimaksud oleh penulis? Meskipun sebuah tulisan subyektif pasti penulis sudah mengantongi risetnya. Alangkah baiknya kalau kami pembaca diberi pemcerahan situasi saat ini tentang perkuliahan di FH UII, supaya jadi evaluasi juga oleh para jajaran pimpinan fakultas

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *