“Keberadaan Masyarakat Hukum Adat sebagai kelompok minoritas selama ini termarjinalkan dalam mengakses dan memenuhi hak tradisionalnya. Bahkan termasuk juga hak-haknya dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum, dan budaya“
Oleh Dr. M. Syamsudin, S.H., M.H.*
Tulisan ini berangkat dari asumsi dasar dan gagasan bahwa Masyarakat Hukum Adat (MHA) merupakan bagian dari entitas bangsa dan warga negara Indonesia. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa entitas MHA telah ada secara nyata sebelum lahir dan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1945. Bahkan pembentukan NKRI sendiri berawal dari bersatunya komunitas-komunitas adat yang ada di seantero wilayah nusantara yang merupakan bagian dari unsur terbentuknya negara, di samping unsur wilayah dan pemerintah.
Sebagai suatu entitas bangsa, MHA baik secara komunal maupun individu memiliki hak dan kewajiban seperti halnya warga negara Indonesia lainnya. Mengacu pada Pembukaan UUD 1945 alinea keempat dengan jelas dan tegas dikemukakan bahwa tujuan negara yaitu “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”. MHA adalah bagian dari segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia yang harus dilindungi oleh negara. Kewajiban negara untuk melindungi MHA diperjelas dan dipertegas lagi oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Demikian pula Pasal 28I ayat (3) dikemukakan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Konstitusi tersebut mengamanatkan kepada segenap penyelenggara negara, baik di lingkungan eksekutif, yudikatif, dan legislatif baik di tingkat pusat maupun daerah berkewajiban untuk melindungi eksistensi dan juga hak-hak MHA, termasuk hak tradisionalnya sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Eksistensi dan hak-hak MHA wajib dilindungi terutama Hak Kosmologi MHA yang mencakup wilayah di mana mereka hidup dan bertempat tinggal. Hak inilah yang kemudian melahirkan dan erat kaitannya dengan hak-hak lainnya seperti hak ekonomi, sosial, budaya, politik, asal-usul, dan hak untuk mengelola tanah adat.
Ironisnya, jika dibaca dari fakta yuridis dan fakta riil, amanah konstitusi tersebut pada tataran pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Ada kesenjangan yang sangat jauh bahwa MHA belum mendapatkan perlindungan yang memadai, baik keberadaan, kepentingan dan hak-haknya. Fakta yuridis menunjukkan bahwa sudah ada sekitar 18 perundangan-undangan sebagai aturan pelaksanaan yang terkait dan mengatur MHA, seperti UU Desa, Pemda, Agraria, Kehutanan, Otsus Papua, Aceh, Lingkungan Hidup, Pertambangan, Mineral dan Batubara, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Penataan Ruang, dan sebagainya.
Dari fakta yuridis tersebut terjadi berbagai poin permasalahan. Pertama, materi perundangan belum secara jelas dan pasti melindungi kepentingan MHA baik perlindungan pada wilayah adat, tradisi adat, lembaga adat dan pranata adat. Kedua, hak asal-usul MHA yang mencakup hak atas tanah dan sumber daya alam, hak untuk menjalankan hukum adat, hak untuk menjalankan tradisi dan kepercayaan, dan hak-hak lain, baik yang bersifat asal-usul maupun hak sebagai warga negara belum mendapatkan pengakuan dan perlindungan negara sebagaimana seharusnya sehingga MHA semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan. Ketiga, proses pembentukan hukum dalam rangka pengakuan terhadap MHA selama ini sulit dijangkau oleh MHA. Selain itu, prosesnya sangat politis dan berbelit-belit. Keempat, pengakuan dan perlindungan MHA dalam hukum di samping tidak diatur secara memadai, juga tumpang tindih dan bersifat sektoral. Ruang koordinasi di antara masing-masing instansi pemerintah pun tidak maksimal.
Fakta yuridis juga menunjukkan bahwa dalam praktik hukum, untuk mendapatkan perlindungan hukum bagi MHA membutuhkan syarat adanya pengakuan negara/pemerintah yang diperoleh melalui pengakuan dari Pemerintah Daerah. Dengan demikian, pengakuan terhadap MHA adalah pernyataan dari suatu negara dan jika tidak ada pengakuan negara maka keberadaan MHA tidak mempunyai legal standing alias bukan subyek hukum yang harus dilindungi. Sebagai contoh Pasal 67 UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mengamanatkan pengukuhan keberadaan MHA melalui perda. Sementara di sisi lain, Peraturan Menteri Dalam Negeri melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 tahun 2014 tentang Tata Cara Pengakuan dan Perlindungan MHA mengatur penetapan MHA melalui keputusan kepala daerah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang dan Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 10 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah MHA dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu. Melalui peraturan menteri ini, keberadaan MHA dan hak atas tanahnya ditetapkan oleh kepala daerah.
Menghadapi situasi sebagaimana digambarkan tersebut, negara ternyata juga tidak menyediakan suatu mekanisme penyelesaian konflik yang mampu menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi MHA. Mekanisme penyelesaian konflik yang tersedia lebih banyak melalui jalur yudisial. Sementara pilihan untuk menggunakan jalur ini sangat berisiko bagi MHA karena seringkali berbenturan dengan status hukum MHA, baik statusnya sebagai subjek hukum maupun status kepemilikan MHA atas objek hak asal-usulnya. Banyak pengalaman menunjukkan MHA kalah menghadapi sengketa struktural yang diselesaikan melalui yudisial. Mekanisme penyelesaian masalah di internal MHA pun semakin tergerus. Penggunaan hukum formal semakin meminggirkan peran hukum dan lembaga adat dalam penyelesaian masalah di tingkat komunitas MHA. Hal ini berdampak pada semakin dilupakannya hukum dan lembaga adat.
Faktanya menunjukkan bahwa keberadaan MHA sebagai kelompok minoritas selama ini termarjinalkan dalam mengakses dan memenuhi hak tradisionalnya. Bahkan termasuk juga hak-haknya dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum, dan budaya sehingga diperlukan tindakan afirmasi khusus. Terkait ekonomi, ada tiga alasan MHA memerlukan perhatian. Pertama, hak ekonomi mencakup kebutuhan dasar dan kelangsungan hidup komunitas. Kedua, hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Ketiga, hak atas tanah dan sumber daya alam.
Kontrol dan akses terhadap hak ekonomi, khususnya hak atas tanah adat dan sumber daya alam yang merupakan turunan dari hak kosmologis MHA atas wilayah hutan belakangan ini sering menimbulkan konflik. Pengakuan terhadap tanah adat dan tanah ulayat oleh pemerintah dinilai masih lemah. Hal ini berkaitan dengan hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang dinilai memiliki permasalahan dalam hal kewenangan. Saat ini dengan adanya ketentuan mengenai hak komunal menjadi masalah besar bagi MHA. Dalam MHA di Papua, tidak semua MHA mengenal hak komunal, ada di antaranya yang menganut hak individual. Hak komunal berlaku terbatas pada Marga, tidak bisa diberlakukan kepada suku-suku. Untuk itu, terkait pemenuhan hak MHA diperlukan cara yang sesuai, utamanya dalam hal harmonisasi dan sinkronisasi antara hukum adat maupun hukum nasional.
Abstraksi dan refleksi dari berbagi persoalan yang dihadapi oleh MHA seperti telah diuraikan tersebut poinnya adalah bahwa MHA itu adalah ‘anak kandung’ dari ‘ibu pertiwi’ Indonesia yang sah. Sebagai anak kandung ibu pertiwi yang sah, MHA adalah bagian dari anak bangsa dan bagian dari warga negara Indonesia. Negara melalui para penyelenggaranya baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif wajib memperlakukan MHA sesuai dengan amanat konstitusi, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia tanpa terkecuali.
Para penyelenggara negara jangan sampai memperlakukan MHA bagaikan anak luar kawin. Ilustrasi anak luar kawin ini hemat penulis tepat untuk menggambarkan kondisi MHA saat ini. Kondisi saat ini, MHA ibarat anak luar kawin di mana untuk mendapatkan perlindungan atas keberadaan dan hak-haknya diperlukan syarat “pengakuan” negara, dengan bentuk perda atau keputusan kepala daerah. Jika tidak ada pengakuan negara, maka keberadaan dan hak-haknya dianggap tidak pernah ada. Padahal fakta riilnya ada dan pengakuan secara konstitutif juga sudah jelas dan tegas. Ini persis seperti anak luar kawin untuk bisa memperoleh hak-hak dari orang tua biologisnya perlu tindakan hukum berupa pengakuan yang ditetapkan oleh pengadilan. Setelah penetapan pengadilan anak luar kawin tersebut baru memperoleh haknya dan itupun tidak penuh.
*Penulis merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia