Categories Opini

Hari Tani dan Impotennya Gerakan Mereka

Hari Tani Nasional diperingati setiap tanggal 24 September. Tanggal tersebut ditetapkan bertepatan dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria 1960.

Dengan semangat Presiden Soekarno untuk memakmurkan petani kecil, ia merumuskan undang-undang tersebut. Demi harapan yang begitu mulia bagi kaum Marhaen, bahwa pemilik tanah ialah mereka yang menggarap. Undang-undang tersebut juga merumuskan tentang pembagian tanah agar merata.

Namun kendati demikian, yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Konflik-konflik agraria masif terjadi, seperti perampasan lahan  hingga kriminalisasi bagi para petani dan aktivis yang  menolak hak tanahnya dicabut.

Sedikitnya terjadi 450 konflik agraria sepanjang tahun 2016, seluas 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK. Hingga April 2018 menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) konflik agraria juga menimbulkan kriminalisasi aktivis sejumlah 163 orang, itu pun jumlahnya masih terus bertambah hingga saat ini.

Kebijakan pemerintah melalui proyek Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) juga turut memperparah kemiskinan pedesaan. Berdasarkan catatan Aliansi Petani Indonesia (API) rata-rata terdapat 59 rumah tangga tani yang keluar dari sektor pertanian per jam, artinya nyaris satu rumah tangga tani hilang di setiap menitnya. Hal tersebut tidak lain dikarenakan minimnya lahan produksi di sektor tani karena masuknya perusahaan-perusahaan swasta, atau saat ini sering berkedok proyek nasional.

Melalui pemerintah, kapitalisme masuk ke desa-desa dan masif melakukan perampasan lahan menggunakan negara. Negara selalu berkedok sama, “atas kepentingan umum” mereka melegalkan ekspansi kapitalisme ke perdesaan, membuat kerja-kerja pertanian semakin termarginalkan. Inilah yang disebut oleh Karl Marx sebagai akumulasi primitif di dalam kapitalisme yakni pemisahan alat produksi dari tangan borjuis kecil. Mereka cepat atau lambat akan menjadi buruh juga.

Jika melihat pergerakan tani di desa-desa. Kita melihat golongan tani seolah hanya berdiri sebagai entitas tunggal. Padahal jika kita menganalisa dengan struktur kelas, golongan ini terbagi antara pemilik tanah yang dalam analisa kelas kita menyebut sebagai borjuis kecil dan petani penggarap atau buruh tani. Pemilik tanah mengisap buruh tani.

Hal tersebut yang akan membuat gerakan tani sendiri mudah sekali dipecah. Karena, ketika proyek swasta datang ke desa, golongan masyarakat tani yang tertarik adalah buruh tani. Karena mereka butuh penghasilan yang lebih, maka terjunlah mereka ke dalam pengisapan baru dalam ekonomi industri. Sedangkan, para pemilik tanah akan mempertahankan tanahnya.

Namun, di sisi lain, gerakan perlawanan mulai muncul. Berbagai penolakan yang dilakukan oleh gerakan tani muncul seiring dengan ekspansi kapitalisme ke desa-desa mereka. Basis-basis perlawanan didirikan, lembaga swadaya masyarakat giat melakukan pendampingan.

Di satu sisi, tuntutan para aktivis masyarakat berlawan masih beragam. Kebanyakan cenderung masih pada tatanan membela hak secara individual. Di Kulon Progo misalnya, mereka belum sampai pada kesadaran melawan negara kelas, dalam hal ini kapitalisme.

Hal ini yang akhirnya penting untuk kita bahas. Kurangnya pendidikan politik pada perlawanan tani hanya akan membuat gerakan mereka berlangsung secara ‘angin-anginan’. Logikanya, “aksi dulu buat perjuangan tanahku” tanpa melihat bahwa konflik agraria yang berkaitan dengan tani banyak terjadi dan akan terus bergulir seiring karena masuknya proyek-proyek kapitalisme ke desa-desa.

Jika dilihat selama ini permasalahan dan pergerakan tani cenderung ‘tambal-sulam’. Muncul konflik di desa A, yang kemudian terselesaikan (bisa menang ataupun kalah), lalu timbul lagi di wilayah lainnya. Sehingga permasalahan tani akan terus menerus ada tanpa menemui penyelesaian yang benar-benar tuntas.

Bahkan, gerakan tani saat ini masih sangatlah sporadis. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu mempertemukan tani dengan korporasi untuk berkompromi, yang secara realita adalah pelembagaan kekuatan borjuasi paling manifes saat ini. Inilah yang membuat gerakan menjadi tumpul dan susah mendapatkan agenda bersama untuk menciptakan kekuatannya sendiri.

Mari kita coba melihat sejarah gerakan tani yang begitu radikal di Rusia. Gerakan tani pada saat itu, merupakan salah satu entitas paling berpengaruh dalam menghancurkan kekaisaran Tsar. Mereka secara terorganisir dan kompak termobilisasi dalam gerakan perlawanan. Hal tersebut dapat dilakukan karena adanya wadah bersama dan dipelopori oleh partai oposisi yang ideologinya revolusioner.

Di sini kita sudah menemukan garis besarnya. Bahwa diperlukan suatu wadah bersama untuk menghimpun kekuatan yang lebih besar dan terorganisir dalam gerakan perlawanan sektor tani. Di situlah aktivis-aktivis yang memiliki pemikiran lebih maju dalam hal perspektif ekonomi-politik menyuntikkan kesadaran kepada massa.

Namun, di kalangan akitivis sendiri masih minim sekali menyuntikkan kesadaran politik kelas pada massa berlawan. Seperti konflik di Parangkusumo misalnya. Para aktivis dan warga terdampak didorong untuk aksi, aksi, dan aksi tanpa melakukan penyuntikan kesadaran yang lebih maju. Akhirnya para aktivis lelah sendiri, begitu juga dengan warga terdampak. Hal tersebut terulang di basis perjuangan penolakan New Yogyakarta International Airport (NYIA).

Di sisi lain, solidaritas terhadap gerakan perlawanan tani sangatlah minim dilakukan oleh kalangan tertindas lainnya. Realita ini terjadi karena kosongnya blok politik progresif (partai) di negeri ini. Maka sektoralisme terus berlanjut jika hal ini terus terjadi.

Akhirnya, kalangan tani hanya memperjuangkan isu yang berkaitan langsung dengan mereka. Sektor perempuan hanya berhenti pada isu penindasan terhadap mereka. Kalangan buruh hanya berhenti pada hak-hak normatif kaumnya. Sedangkan mahasiswa seolah menutup mata pada isu akar rumput, silau dengan isu-isu di Senayan. Kalaupun ada, itu tidak bernafas panjang. Fungsi partai yang seharusnya menjadi pelopor pergerakan dan menggabungkan seluruh gerakan rakyat berlawan tidak ada hari ini.

Padahal hanya dengan pembentukan partai berlawan, agenda perjuangan tidak lagi sektoralisme. Jika ada blok politik berlawan, elemen masyarakat tertindas saling terhubung di situ, maka akan menemukan benang merah atas permasalahan yang mereka alami. Misalnya, tentang perampasan lahan, penetrasi modal di desa-desa juga akan berimplikasi secara langsung dengan besarnya buruh dan cadangan di perkotaan. Secara tidak langsung akan meningkatkan kuantitas pemutusan hubungan kerja buruh, karena banyak sumber daya manusia siap isap yang mengantri.

Atas dasar itu, pertama, gerakan tani seharusnya menciptakan wadah bersama guna mencari tahu akar permasalahan yang selama ini membuat permasalahan agraria tak kunjung usai. Kedua, butuh blok politik progresif yang dapat mengorganisir dan memajukan gerakan rakyat berlawan, agar sektoralisme dapat dihilangkan. Agar tidak hanya kalangan tani saja yang berjuang di permasalahan mereka. Agar gerakan buruh juga bersolidaritas, begitu juga dengan sektor perempuan, mahasiswa, dan semua lapisan masyarakat yang menginginkan kesejahteraan terwujud.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *