Kamis (13/09/2018) massa aksi berkumpul di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah. 41 kali sudah mereka menyelenggarakan Aksi Kamisan di Kota Semarang. Kota yang dikenal dengan sejarah pergerakan radikal Sarekat Islam Merah bentukan Semaoen diawal abad 20.
Namun ada yang berbeda dalam Aksi Kamisan kemarin. Biasanya, Aksi Kamisan identik dengan mengangkat isu tentang kejahatan hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Menuntut diadilinya para pelaku pelanggaran HAM masa lalu seperti peristiwa 1965 ataupun 1998. Mereka mengangkat isu kriminalisasi aktivis mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) serta wartawan Serat.id bernama Zaki Amali karena memberitakan isu yang berkaitan dengan upaya rektorat kampus tersebut untuk membungkam ruang demokrasi.
Dua dekade lebih pemerintahan anti demokrasi sudah digulingkan. Namun praktik-praktik pembungkaman ruang demokrasi masih saja muncul hingga detik ini. Melalui Aksi Kamisan, mereka yang menuntut diadilinya para pelaku kejahatan HAM dan agar ruang demokrasi dibuka seluas-luasnya.
Namun, Aksi Kamisan pekan lalu terlihat sepi, hanya 20-an orang yang mengikuti aksi tersebut. Biasanya, mahasiswa Unnes yang meramaikan aksi mingguan ini. Tetapi karena upaya pembungkaman ruang demokrasi bagi mahasiswa berupa skors dan penjemputan paksa sedang dilakukan oleh pihak rektorat Unnes, mereka takut untuk datang.
Satu per satu orang yang ingin berorasi maju ke hadapan massa aksi dan berbicara menggunakan corong pengeras suara. Terlihat satu dua kawan wartawan berdiri di pinggir barisan massa aksi. Tiga polisi duduk mengobrol satu sama lain di pinggir-pinggir trotoar sambil mengawasi keberlangsungan aksi.
Namun, massa terlihat tidak takut dengan diawasinya aksi mereka. Mereka tetap berdiri tegap dengan tetap memekarkan payung hitamnya yang bertuliskan macam-macam tuntutan HAM.
Sedangkan para pengguna jalan hanya satu dan dua saja yang menoleh, melihat sambil lalu Aksi Kamisan kemarin. Mereka tak acuh dengan Aksi Kamisan, apalagi memperhatikan isi tuntutan dan isu yang dibawa oleh massa.
Sesungguhnya, ada pesan yang ingin disampaikan bagi masyarakat luas, serta para penguasa negeri ini. Bahwa, kebebasan demokrasi akan terus diperjuangkan. Mereka juga tak akan henti-hentinya menuntut kasus pelanggaran HAM diselesaikan dengan tuntas dan adil. Para pelaku pun masih bebas, bahkan menjabat posisi penting dalam pemerintahan. Mereka tak akan berhenti selama penindasan masih terjadi di negeri ini.
Terkhusus untuk Aksi Kamisan 13 September lalu, salah satu aktivis sekaligus mahasiswa Unnes berharap bahwa, “Tidak ada lagi upaya represifitas yang dilakukan oleh birokrasi kampus manapun”. Ia juga berharap jangan ada lagi pembungkaman ruang demokrasi di kampus dan hilangnya stereotip buruk bagi mahasiswa yang gemar mengikuti diskusi kritis di kampus.