Oleh : Natalia Rahmadani P. Dewi*
Judul : Pasung Jiwa
Pengarang : Okky Madasari
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2016
Jumlah Halaman : 328 halaman
“Seluruh hidupku adalah perangkap.
Tubuhku adalah perangkap pertamaku. Lalu orang tuaku, lalu semua orang yang kukenal. Kemudian segala hal yang kuketahui, segala sesuatu yang kulakukan. Semua adalah jebakan-jebakan yang tertata di sepanjang hidupku. Semuanya mengurungku, mengurungku menjadi tembok-tembok tinggi yang menjadi perangkap sepanjang tiga puluh tahun usiaku.”
Sasana merupakan anak laki-laki yang terlahir dari keluarga berada, sang ayah seorang pengacara dan ibunya ahli bedah. Kehidupan Sasana semakin lengkap karena ia memiliki Melati, adik perempuan cantik yang sangat dicintainya. Sedari kecil ayah dan ibunya menginginkan Sasana tumbuh menjadi seorang yang mahir memainkan piano. Berkat dorongan orang tua, Sasana melahirkan banyak sekali penghargaan karena kemahirannya bermain piano saat usia muda.
Seiring dengan bertambahnya usia, ia merasa piano bukanlah apa yang diinginkan. Ia merasa tak berbakat. Tak tahu apa yang menghantuinya, dalam semalam Sasana berubah haluan dan jatuh cinta pada musik asing yang baru pertama kali ia dengarkan: dangdut. Dangdut mengubah cara pandangnya tentang hidup, mengenai kebebasan berekspresi ketika menikmati sesuatu menggunakan hati.
Dangdut yang menjadi kecintaannya tidak direstui oleh kedua orang tua Sasana. Mereka melarang ia menyukai hal itu, karena dangdut adalah musik yang tidak pantas untuknya. Sasana pun frustasi karena dipisahkan dari dangdut yang memberikannya energi, “Aku akan patuh dalam garis batas yang dibuat Ayah dan Ibu. Toh aku masih tetap bisa bernyanyi dan bergoyang saat sendiri.”
Masa SMP menjadi titik balik dalam hidupnya, Sasana menunjukkan ketertarikan pada perempuan karena rasa irinya pada Melati. Rasa iri yang membuatnya ingin menjadi perempuan dan mencoba rasanya memakai segala hal yang dikenakan Melati. Hal ini berlanjut saat memasuki dunia SMA, mendapatkan berbagai kekerasan, penyiksaan, dan kesakitan dari teman-teman lelaki yang membuatnya membenci laki-laki, termasuk dirinya sendiri. “Aku benci perkelahian, aku tak mau ada darah. Aku benci dunia laki-laki.”
Setelah masa SMA-nya usai, Sasana bertolak ke Malang guna melanjutkan pendidikannya. Kota Malang membuatnya bertemu dengan seseorang yang mengantarkannya menjemput jiwa yang telah lama ia kukung dalam dirinya. Yakni Cak Jek (Jaka Wani), seseorang yang ia temui di warung kopi Cak Man. Cak Jek membelikannya baju, rok, make up dan sepatu wanita yang selama ini ia inginkan untuk mengamen bersama. Cak Jek selalu memotivasi Sasa (Sasana versi wanita) untuk menjadi profesional dan meraih impian mereka.
Deras kehidupan Sasa dan Cak Jek membuat mereka berurusan dengan polisi dan tentara, sehingga harus tinggal di sel. Di dalam sel, Sasa dijadikan sebagai pelampiasan nafsu para tentara bejat. Terhina, tersakiti, ternodai, dan merasa tidak mampu melakukan apapun selain menuruti hasrat seksual para tentara membuat Sasa sangat terpukul.
Kembali ke rumahnya di Jakarta ternyata bukanlah jalan keluar yang tepat. Bayang-bayang tentang kesakitan yang ia alami dalam sel tetap teguh menghantuinya. Hal tersebut membuat keluarganya menganggapnya gila dan memasukannya dalam rumah sakit jiwa.
Semua aspek dalam novel ini baik kata, bait, baris, paragraf, halaman, lembaran, hingga babnya nyaris sempurna. Okky Madasari mengemas gejolak batin setiap tokoh dengan sangat apik. Semua kisah yang tersaji dalam novel ini baik keluarga, persahabatan, maupun kebencian terasa sangat menyayat hati pembaca dan mampu membuat pembaca ikut merasakan kesakitan yang dirasakan tokoh dalam novel.
Novel yang kental dengan nilai-nilai kekeluargaan mampu menguras air mata. Misalnya, tentang bagaimana kasih sayang dan perjuangan seorang ibu yang tetap berdiri di samping anaknya meski seluruh dunia menentang hal tersebut. Tak hanya itu, gairah persahabatan Sasana dan Cak Jek dalam memberi semangat dan berjuang bersama menggapai impian, memberi nilai tersendiri. Tersirat pula berbagai macam nilai kehidupan yang disusun rapi sehingga lewat novel ini pembaca belajar berbagai hal.
Okky Madasari menggunakan bahasa baku dalam novel ini, tanpa membuat jenuh. Tokoh yang dikemas dalam novel ini pun merupakan cerminan orang-orang di sekitar kita. Tentang ayah yang mengerahkan segala tenaga demi menyelamatkan anaknya, mati-matiannya seorang ibu dalam melindungi sang buah hati, serta merasakan ditinggalkan teman seperjuangan saat dia mencapai keberhasilan.
Tetapi di dalam novel ini juga terdapat kejanggalan. Berkenaan dengan bagian saat pengurus rumah sakit jiwa begitu lalai menaruh barang-barang tajam di sekitar orang yang dianggap tidak waras. Kelalaian itu membuat nyawa seseorang melayang. Cukup janggal mengingat tempat seperti rumah sakit jiwa seharusnya dibuat sesteril mungkin dari hal-hal yang dapat membahayakan pasien dengan gangguan jiwa.
Okky Madasari dalam novel ini telah menggiring pembaca untuk merenung dan berpikir sejenak tentang hal-hal yang sering kita sepelekan. Tentang keberanian dalam mengenali dan mengungkap jati diri kita yang sebenarnya tanpa keraguan. Seperti halnya Sasana yang menolak hidup mengikuti aliran air. Ia lebih memilih menentang arus air yang deras demi kesenangan dan ketenangan jiwanya.
Pada akhirnya, semua orang memang harus seperti itu. Hidup dengan kebebasan jiwa mereka sendiri. Mencari dan mencoba segala kemungkinan hidup, karena sesungguhnya kita adalah orang yang paling berkuasa pada diri sendiri. Jangan biarkan siapapun menjadi penentu dalam hidup kita. Mengutip pertanyaan Okky pada sampul depan novel ini, “Apakah kebebasan itu ada?” Mari kita renungkan apakah kebebasan berpikir, bertindak, mengambil keputusan, dan bersuara itu memang benar adanya? Mampukah kalian menemukannya dalam diri?
*Penulis merupakan Kader LPM Keadilan periode 2017-2018
Kebebasan absolut itu tidak pernah ada. Kebebasan manusia pada dasarnya dibatasi oleh norma, nilai dan aturan-aturan yang hidup di masyarakat. Menjadi tugas manusia untuk mencari hakekat hidupnya, maka manusia akan menemukan kebebasan.
Resensi yang menarik. Lanjutkan kamerad!