Categories LPM Keadilan

Perlukah Kredit Pendidikan Diterapkan di Indonesia?

Oleh: Sarah Safira Aulianisa*

Pendidikan sejatinya merupakan salah satu poin penting dalam usaha negara untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Seiring dengan perkembangan zaman di milenium ketiga ini, Indonesia tengah dihadapkan pada pesatnya kemajuan teknologi dan perubahan besar di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, serta sosial budaya. Sesungguhnya telah tercantum dengan jelas dalam pasal 31 dan pasal 28C dari konstitusi Indonesia yang sudah diamandemen keempat kalinya, bahwa pasal-pasal tersebut telah secara nyata dan gamblang menyebutkan bahwa seluruh warga negara berhak dan dijamin oleh negara untuk memperoleh pendidikan. Juga masih banyak pasal-pasal lain dalam konstitusi negara ini yang dapat mengakomodir terjaminnya hak pendidikan bagi warga negaranya.

Akhir-akhir ini, wacana mengenai kebijakan student loan atau kredit pendidikan tengah menjadi tren hangat yang marak diperbincangkan oleh berbagai kalangan, baik masyarakat umum maupun mahasiswa. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh pernyataan Presiden Joko Widodo yang menantang pihak perbankan untuk membuka sektor kredit bagi pendidikan atau yang lebih kita kenal dengan nomenklatur student loan. Kredit pendidikan sendiri adalah layanan pinjaman yang diberikan kepada pihak perorangan untuk keperluan pendidikan, di mana pinjaman yang diberikan akan dilunasi setelah pihak tersebut bekerja nantinya. Dalam pertemuan dengan pimpinan bank umum pada Maret 2018, Presiden Joko Widodo mengusulkan agar perbankan mengeluarkan produk finansial baru berupa kredit pendidikan.  Menurutnya, adanya sistem kredit pendidikan akan menyebabkan kredit yang diberikan kepada masyarakat tidak hanya untuk aktivitas konsumtif, namun juga produktif.

Program student loan tersebut bertujuan untuk meningkatkan tingkat partisipasi pendidikan, mengingat angka partisipasi kasar perguruan tinggi di Indonesia hanya mencapai 31%. Angka tersebut terbukti lebih rendah apabila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Malaysia yang mencapai 38% dan Singapura yang telah mencapai 78%. Melalui mekanisme tersebut, peningkatan partisipasi perguruan tinggi diharapkan dapat menghasilkan tenaga kerja produktif yang lebih banyak, dan secara tidak langsung dapat mendorong produk domestik bruto per kapita dan indeks pembangunan manusia. Hal tersebut dimaksudkan untuk pemerataan akses pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.

Sementara itu, dilihat dari perspektif hukumnya terkait dengan wacana program student loan ini, di dalam Pasal 76 Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, sesungguhnya telah mendapatkan legitimasi secara hukum untuk diimplementasikan di Indonesia. Selain itu, dalam pasal 12 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 telah disebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai, sehingga telah terlihat bahwa sebenarnya negara berkewajiban untuk menjamin peserta didik yang memiliki latar belakang ekonomi yang kurang mampu. Ditambah lagi dalam Pasal 3 poin (d) Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi juga menyebutkan bahwa salah satu asas pendidikan tinggi adalah asas keadilan. Selanjutnya dijelaskan dalam penjelasan pasal tersebut bahwa yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah pendidikan tinggi menyediakan kesempatan yang sama kepada semua warga negara Indonesia tanpa memandang suku, agama, ras dan antar golongan, serta latar belakang sosial dan ekonomi.

Lagi-lagi Undang-Undang telah jelas mengungkapkan bahwa negara seharusnya memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga negara untuk menikmati pendidikan tinggi tanpa memandang latar belakang ekonomi. Sebenarnya dalam konstitusi Indonesia sendiri, aturan mengenai anggaran pendidikan sudah jelas diatur di dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, bahwa paling sedikit 20% dari APBN wajib digunakan untuk kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, sehingga setidaknya 40,393 triliun rupiah telah dianggarkan untuk kepentingan pendidikan. Namun pada pelaksanaannya, memang ternyata pendidikan tinggi belum mampu untuk menutup biaya yang dibutuhkan untuk seluruh peserta didik dengan anggaran tersebut.

Kredit pendidikan secara ekonomi dapat dikatakan dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, tingginya peminat perguruan tinggi, dapat dilihat dari angka partisipasi sekolah dari Badan Pusat Statistik didominasi oleh usia 19-24 tahun. Kedua, tingginya gaji lulusan SMA ke atas menggiurkan bagi para pelajar untuk terus belajar hingga ke perguruan tinggi. Ketiga, kebijakan ini sebenarnya pernah diterapkan di Indonesia pada tahun 1980-an namun berujung gagal karena banyaknya kerugian akibat kredit macet yang berujung pada krisis moneter di tahun 1998, sehingga dapat dikatakan wacana ini merupakan perbaikan kebijakan yang pernah ada.

Berbagai dampak, baik positif maupun negatif, diperkirakan dapat terjadi apabila kebijakan student loan ini diterapkan di Indonesia. Salah satu dampak positif tentunya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dikeluarkan oleh University of Pennsylvania, yang menyatakan bahwa pemberlakuan kredit pendidikan di negara berkembang dapat membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan tingkat partisipasi pendidikan tinggi. Dampak positif dari student loan ini memang tidak dapat begitu saja diabaikan.

Namun di sisi lain, pemerintah perlu waspada terhadap risiko adanya informasi yang tidak sempurna antara kreditur dan calon debitur. Pemerintah dan bank tidak dapat benar-benar memastikan apakah calon debitur yang akan menerima dana student loan ini akan mampu menjalani perkuliahan dengan baik serta kemudian dengan pasti mendapatkan pekerjaan. Sangat sulit bagi pihak perbankan maupun pemerintah untuk memetakan risiko gagal bayar pada setiap calon debitur.

Hal ini kemudian dapat menimbulkan dampak negatif yang mungkin muncul akibat kebijakan ini. Salah satunya adalah, kemungkinan gagal bayar student loan setelah kreditur bekerja nanti. Apabila debitur dapat memperoleh pekerjaan selepas berkuliah, tentu tidak menjadi masalah. Tetapi, apabila debitur tidak mendapat pekerjaan, maka bisa jadi ia tidak akan dapat membayar cicilan kredit. Kemungkinan mendapat pekerjaan bergantung pada pasar tenaga kerja, salah satunya adalah penciptaan lapangan pekerjaan.

Sesungguhnya, hal ini menunujukkan bahwa penciptaan lapangan pekerjaan di Indonesia masih cenderung fluktuatif atau terus berubah-ubah. Kondisi ini wajar mengingat penciptaan lapangan pekerjaan banyak dipengaruhi oleh kondisi perekonomian serta politik Indonesia. Meskipun wajar, pemerintah perlu waspada. Tidak ada jaminan di masa depan bahwa penciptaan lapangan kerja akan terus berlangsung dan konsisten. Apabila terjadi sebaliknya, di mana tidak terjadi penciptaan lapangan pekerjaan, maka banyak pekerja yang tidak mendapat pekerjaan dan tidak dapat membayar cicilan kredit pendidikan. Kemungkinan ini berbahaya bagi pemerintah dan perbankan karena meningkatnya probabilitas gagal bayar.

Bahaya lainnya dalam mencari pekerjaan, selain penciptaan lapangan keperjaan, adalah adanya ketidaksesuaian antara lulusan institusi pendidikan dengan perusahaan. Menurut survei International Labour Organization pada tahun 2016, tentang program studi pilihan di tingkat universitas dan diploma, sebagian besar mahasiswa tidak berada pada jurusan yang sesuai dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Istilah lain yaitu terjadi skill-mismatch dalam pasar tenaga kerja, yakni perbedaan antara kebutuhan industri akan kemampuan pekerja yang dimiliki lulusan pendidikan tinggi. Akibatnya, mahasiswa memiliki kemampuan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar  akan mengalami masa menganggur hingga waktu tertentu yang mengakibatkan tak adanya sumber penerimaan pendapatan.

Kredit pendidikan tidak dapat dibayarkan (melalui angsuran atau tunai) oleh sebagian mahasiswa sesaat setelah lulus. Mengapa gagal bayar kredit penting untuk dicermati? Karena gagal bayar kredit dapat menimbulkan risiko sistemik. Risiko sistemik dapat diartikan sebagai suatu risiko yang menyebabkan kegagalan dari satu ataupun beberapa institusi keuangan sebagai hasil dari kejadian sistemik (systemic events). Risiko sistemik ini pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1997 ketika krisis keuangan Thailand menjadi sumber guncangan utama yang menyebar ke berbagai negara Asia, termasuk Indonesia saat itu. Akibatnya Indonesia mengalami krisis moneter.

Risiko sistemik bisa terjadi pada student loan ketika banyak mengalami kegagalan dalam pengembalian pinjaman atau kredit macet. Bila kejadian ini terus berlanjut, dalam jangka panjang aset bank-bank umum yang memberikan pinjaman student loan secara tidak langsung akan mengalami penurunan. Apabila terjadi suatu guncangan, baik dari dalam maupun luar negeri, bank tidak memiliki cukup aset untuk menanggulangi guncangan. Kemungkinan terburuk yang dapat terjadi adalah terjadinya krisis moneter kembali.

Tidak bisa dipungkiri, kebijakan semacam ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam meraih akses akan pendidikan. Namun banyak hal yang harus direfleksikan kembali, terutama mengenai keseriusan pemerintah dalam menyediakan akses masyarakat terhadap pendidikan. Pertama, mengenai penetapan biaya kuliah berkeadilan yang harus terus dikontrol oleh pemerintah. Hingga saat ini biaya kuliah yang naik serta transparansi akan indikator-indikator penentu penetapan biaya kuliah perseorangan masih menjadi permasalahan serius di kampus-kampus di Indonesia, terutama pada perguruan tinggi negeri berbadan hukum. Kedua, kebijakan student loan yang berpotensi menimbulkan banyak risiko di masa yang akan datang, berkenaan dengan kemungkinan penarikan subsidi, ketersediaan lapangan kerja, dan daya angsur masyarakat. Jelas, pemerintah tidak bisa lepas tangan dalam kondisi seperti ini.

Pertanyaan klise yang akan selalu muncul adalah, kebijakan ini ditujukan untuk siapa? Jika memang tujuannya benar adalah masyarakat kelas menengah ke bawah, mampukah pemerintah konsisten dalam menjaga, bahkan menambah subsidi di sektor pendidikan seiring dengan berjalannya kredit pendidikan? Jika memang kebijakan ini ditujukan untuk masyarakat miskin, bagaimana dengan beberapa pihak yang masih mempertanyakan kemampuan bayar dari pemohon untuk kredit pendidikan yang tidak akan diberikan apabila tak mampu untuk mengangsur? Lalu bagaimana masyarakat miskin mampu mengakses pendidikan melalui kredit pendidikan jika tidak memiliki ‘riwayat angsuran yang baik’ atau kemampuan bayar yang memadai? Atau, memang dari awal, kebijakan ini tidak menyasar pada kelompok masyarakat ini? Lalu, untuk siapakah sebenarnya kebijakan kredit pendidikan ini?

  • Penulis berasal dari Kota Depok. Tulisan ini sendiri merupakan pemenang favorit kedua Lomba Esai HUT44Keadilan. Ide dan substansi yang dipaparkan dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *