Categories LPM Keadilan

Memandang Tren 2018: Perempuan Indonesia dalam Ranah Politik

Oleh: Salmawati Rumadan

Wacana tentang keterlibatan perempuan dalam kancah politik berkembang sangat pesat di Indonesia semenjak bergulirnya era reformasi. Arus demokratisasi yang sengaja digulirkan oleh penguasa era reformasi mensyaratkan kiprah perempuan yang lebih banyak dalam setiap aktivitas politik negara. Hak perempuan dalam politik hingga kuota perempuan minimal 30% di legislatif semakin digencarkan—seperti yang diajukan oleh United Nations Development Programs (UNDP)—agar Indonesia bisa disebut negara yang demokratis dan good governance di mata dunia. Tetapi apakah semua itu ada manfaatnya? Jangan dulu membicarakan situasi demokratisasi atau kemajuan dalam perpolitikan Indonesia, setidaknya kita perlu membahas tentang manfaat bagi perempuan itu sendiri.

Banyak yang mempertanyakan tentang kebijakan berkaitan dengan partisipasi perempuan dalam politik. Banyak pertanyaan kritis terutama perilaku politik praktis di Indonesia maupun penguasa republik ini dalam mengantisipasi arus wacana kuota 30% perempuan dalam legislatif. Karena pada praktiknya, kebanyakan partai politik (parpol) di Indonesia hanya menjadikan perempuan sebagai calon legislatif (caleg) untuk memenuhi syarat 30% tadi. Hal tersebut didasarkan anggapan bahwa para perempuan itu bukan merupakan kader terbaik partai atau orang yang kapabel dalam mempersentasikan rakyat yang mendukungnya.

Namun, pada akhirnya partai-partai tersebut malah kewalahan mencari siapa perempuan yang bakal dijadikan caleg. Partisipasi politik perempuan dalam politik memang tidak boleh di belakang, apalagi sengaja dipinggirkan. Harus ada yang menjamin itu, baik dalam tatanan hukum maupun normatif. Tetapi tidak berarti juga bahwa harus memaksakan perempuan terlibat berpartisipasi dalam segala aktifitas politik. Seharusnya yang dilakukan adalah jaminan tidak adanya perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajiban berpolitik, biarkan berkompetisi dengan adil kalau memang kesetaraan genderlah yang diagung-agungkan.

Idealnya, perempuan dan laki-laki memang setara namun sering kali perlakuannya tidak demikian. Ketimpangan antara perempuan dan laki-laki masih terjadi di berbagai sektor. Faktanya, tiga negara terbaik dalam kesetaraan gender didominasi oleh negara-negara Eropa seperti, Islandia dengan -0,878 poin, Norwegia (-0,830 poin), hingga Finlandia (-0,823 poin). Sedangkan Indonesia sendiri cukup tertinggal dengan hanya menempati urutan ke 84 sebagai negara dalam hal kesetaraan gender (-0,691 poin). Rinciannya adalah sektor Ekonomi (-0,610 poin), pendidikan (-0,986 poin), Kesehatan (-0,976 poin), dan politik (-0,193 poin).

Dalam kesehatan, kesetaraan sudah hampir 100% terpenuhi, lebih tepatnya 97,6%. Bahkan dalam sektor pendidikan pencapaian Indonesia lebih baik lagi, yaitu 98,6%. Namun, kondisi ini belum terjadi dalam sektor ekonomi dan partisipasi politik. Indonesia baru memenuhi 61% kesetaraan gender dalam partisipasi ekonomi, sementara dalam partisipasi politik dan pemerintah sudah tercapai jauh lebih rendah yakni hanya 19,3%.

Pertama kalinya, perkembangan kesetaraan gender di dunia menunjukan tren yang negatif. Meskipun dengan selisih tipis, namun temuan ini menunjukan bahwa ketimpangan yang terjadi sepanjang tahun 2017 justru meningkat jika dilihat di seluruh dunia. Hal-hal tersebut dapat dilihat dari laporan hasil penelitian berjudul The Global Gebder Gap Raport 2017 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum.

Sulitnya mendobrak dominasi laki-laki dalam politik. Dunia politik merupakan ranah berkompetisi untuk meraih posisi sebagai pengambil keputusan, kekuasaan, serta jabatan yang terbuka. Kebutuhan akan modal sosial dan ekonomi yang tidak sedikit, menjadikan perempuan dengan segala peranannya menjadi lebih sulit untuk mendobrak dominasi laki-laki dalam dunia politik. Pola asuh perempuan cenderung mempersiapkan mereka sebagai sosok pengemban tanggung jawab urusan domestik di kemudian hari, ini menyulitkan mereka yang ingin terjun ke ranah publik lewat politik.

“Keberadaan perempuan di wilayah publik itu harus sudah selesai dulu di domestiknya, harus sudah didukung dulu oleh domestiknya, dari keluarga atau bisa jadi suami kalau sudah menikah,” ungkap Sri Budi Eko Wardani, dosen ilmu politik Universitas Indonesia. Tak hanya itu, setelah mendapatkan dukungan dan bisa mulai melangkah di dunia politik, seorang perempuan dituntut untuk tetap mengurus urusan domestiknya. Peran ganda yang seolah menjadi kewajiban ini juga menambah beban tersendiri bagi perempuan yang masuk ke dunia politik dan kemudian berpengaruh terhadap terjadinya ketimpangan dalam jumlah perempuan yang aktif di ranah politik.

Padahal perempuan memiliki hak untuk menentukan bagaimana perkembangan dan kemunduran suatu bangsa. “Perempuan itu tiang negeri, manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah negeri,” seperti yang disampaikan oleh Presiden Pertama kita, Soekarno. Maka tak harus ada pembatasan dari perempuan untuk terjun ke dunia politik, agar dapat menentukan bagaimana perkembangan dan kualitas suatu bangsa sampai mencapai bobot yang tinggi.

Hal ini layak menjadi pembahasan memasuki tahun politik 2018. Sebutan tahun politik ini  disebabkan karena pada bulan Juni 2018 nanti akan dilaksanakan perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak di 171 daerah. Apabila dibandingkan dengan pilkada serentak Tahun 2017 lalu yang diadakan hanya di 101 daerah, tentu saja pilkada serentak tahun ini diprediksikan akan lebih semarak dinamika politiknya.

Banyak daerah yang akan melaksanakan pilkada tertentu saja menarik perhatian semua parpol. Pilkada serentak tahun 2018 ini adalah ajang pemanasan menuju ‘peran politik’ yang sesungguhnya yaitu Pemilu/Pilpres tahun 2019 nanti. Pilkada 2018 ini menarik secara demografis, karena akan dilaksanakan di daerah yang memiliki jumlah Daftar Pemilihan Tetap (DPT) yang besar. Daerah yang memiliki DPT besar contohnya, di Jawa Barat (kurang lebih 32 juta orang), Jawa Tengah (28 Juta Orang), dan Jawa Timur (kurang lebih 30 juta orang). Besarnya jumlah ‘jiwa pilih’ ini menjadikan daerah-daerah tersebut area strategis yang harus dikuasai.

Bagi Parpol yang calon kepala daerah (cakada) -nya memenangkan Pilkada 2018, maka akan berada dalam posisi unggul untuk mengambil keuntungan electoral. Parpol dengan posisi unggul tentu saja membuat kerja politik menuju Pemilu/Pilpres 2019 pun menjadi lebih ringan. Semakin banyak daerah yang dimenangkan, maka posisi menuju Pemilu/Pilpres 2019 akan semakin kuat. Selain itu, jika dilihat dari segi geografis, perseberangan daerah yang akan melaksanakan Pilkada 2018 merata hampir di seluruh wilayah Indonesia. Menarik untuk menanti segmentasi isu apa saja yang dimainkan oleh para parpol dan cakada.

Kita semua tentu berhadap  Pilkada serentak 2018 ini tidak lagi menjadi ekspoitasi isu SARA atau isu primordial lainnya, seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang lalu. Parpol dan Cakada harus sama-sama memiliki komitmen untuk mengembangkan isu kebangsaan dan nasionalisme. Masyarakat berharap melihat proses yang baik diperlihatkan para kontestan yaitu dengan mengedepankan tarung ide, program, dan visi misi. Sehingga nantinya masyarakat mendapat pembelajaran politik yang baik bagi perkembangan demokrasi kita ke depan.

Kita semua tentu berharap agar Pilkada 2018 nantinya tidak hanya memenuhi syarat demokrasi prosedural, tetapi juga menjangkau demokrasi subtantif. Demokrasi substantif yang menghasilkan suatu proses demokrasi berkualitas dengan menghasilkan para kepala Daerah terkualifikasi dan mampu bekerja.

Lantas bagaimana peran perempuan dalam dunia politik saat ini, menurut Komisi Divisi SDM dan Partisipasi Masyarakat KPU Kabupaten, Siti Aminah mengatakan, “Pilkada merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, melalui penyelenggaraan pilkada ini digantungkan harapan untuk membentuk pemerintah yang memiliki legitimasi yang bertumpu pada hakekat rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial”. Demi mewujudkan harapan tersebut, partisipasi politik perempuan menjadi kunci utama keberhasilan pilkada.

Dengan kesadaran dan pengetahuan adanya hak-hak politik, perempuan sebagai pemilih akan dapat mengunakan hak pilihnya secara mandiri serta cerdas. Oleh karena itu, diperlukan pendidikan politik untuk memberdayakan perempuan sehingga bukan hanya sekedar datang dan mencoblos tetapi juga bisa menjadi penyelenggara pemilu. Dalam perekrutan, panitia pemungutan kecamatan dan panitia pemungutan suara dari kalangan perempuan sudah harus meningkat.

Pilkada serentak 2018 setidaknya akan diikuti oleh 101 perempuan, atau 8,85% dari total 1.140 daftar bakal calon kepala daerah, hal ini menjadi berita baik dalam partisipasi perempuan dalam ranah politik. Pada tahun sebelumnya, perempuan hanya menempati  7,17 % Pilkada 2017. Sehingga diharapkan keterlibatan perempuan dapat menjadi tren di kalangan dunia politik.

Melalui campur tangannya, perempuan dalam ranah politik dapat memberikan arti bahwa perempuan dapat dipilih oleh rakyat dengan terbuka. Negara Indonesia adalah negara demokrasi, sehingga pencapaian perempuan yang ikut serta dalam dunia politik, bisa sedikit demi sedikit menjawab keinginan rakyat. Bukan hanya memandang perbedaan gender, namun memang kualitas yang ada pada perempuan dapat menambah pertumbuhan suatu bangsa ke depannya jadi lebih baik dan sejahtera.

Dengan pertumbuhan politik perempuan yang meningkat, kehendak rakyat yang ingin memilih perempuan dengan yang berintegritas tinggi dapat semakin mudah tercapai. Jika kita melihat survey yang ada, memang pertumbuhan perempuan di ranah politik mengalami tumpang tindih, adanya penurunan tetapi juga kenaikan. Tetapi perlu digarisbawahi pula, perempuan tidak lagi malu dan takut berkompetisi dengan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Sehingga puncak dari keikutsertaan tersebut, partisipasi perempuan dalam kancah politik akan terus mengalami kenaikan.

  • Penulis berasal dari kota Malang. Tulisan ini sendiri merupakan pemenang favorit kesatu Lomba Esai HUT44Keadilan. Ide dan substansi yang dipaparkan dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *