Tergerusnya Budaya Wayang di Era Modern

esai

Oleh : Dian Pertiwi Subagio Putri*

Indonesia ialah negara yang sangat kaya raya, baik dari segi sumber daya alam, kepulauan, bahasa, adat istiadat, hingga kebudayaannya. Salah satu budaya Indonesia yang banyak dikenal adalah wayang. Banyak yang mengatakan bahwa wayang ialah kebudayaan asli orang jawa.

Indonesia memiliki jenis wayang yang beraneka ragam mulai dari wayang Beber, Purwa, Modern, hingga Topeng. Bahkan wayang-wayang tersebut masih dibagi menjadi beberapa jenis lagi. Wayang Purwa misalnya terdiri dari wayang Rontal, Kertas, dan Wong (orang), serta masih banyak lagi. Juga, wayang Topeng yang terdiri dari Topeng Malang, Topeng Dalang Madura, Wayang Topeng (Jawa), dan Topeng Bali. Begitu banyak jenis wayang yang menambah kekayaan budaya Indonesia, namun hanya sedikit dari kita yang mengetahui jenis-jenis wayang tersebut.

Wayang bukan hanya sekadar budaya warisan leluhur, namun juga memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Wayang berfungsi sebagai sarana pendidikan, khususnya kepada generasi muda. Hal ini tak terlepas karena wayang memiliki berbagai karakter yang memberikan pilihan-pilihan saat menghadapi permasalahan dalam kehidupan.

Kehadiran wayang juga mampu memberikan hiburan bagi masyarakat karena pertunjukan wayang didampingi oleh bunyi gamelan. Berdasarkan fungsi tersebut, tidak mengherankan jika wayang pernah menjadi tontonan favorit masyarakat pada tahun 1945 sampai 1970-an.

Seiring bertambahnya waktu, segala sesuatu yang ada dalam kehidupan manusia telah mengalami perubahan dan perkembangan, mulai dari teknologi, transportasi, serta budaya. Meskipun banyak manfaat yang didapat dari perkembangan di era modern saat ini, namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat dampak negatif yang ditimbulkan. Salah satunya ialah kebudayaan wayang mulai dilupakan dan tergerus oleh budaya baru. Para generasi muda mengganggap bahwa menonton atau memainkan wayang adalah hal yang ketinggalan zaman. Hal tersebut mendorong munculnya perasaan malu karena dicap sebagai kebudayaan yang kuno dan bukan menjadi bagian dari manusia modern. Padahal wayang adalah budaya Indonesia yang wajib kita lestarikan.

Terdapat tiga masalah utama yang menjadikan wayang mudah ditinggalkan oleh generasi muda yaitu masalah bahasa daerah, durasi pertunjukan, hingga adanya hiburan lain. Masalah bahasa daerah terkait dengan penggunaan bahasa Jawa dalam pertunjukan wayang yang membuat banyak generasi muda merasa sulit memahami pesan cerita yang disampaikan oleh dalang. Hal ini tidak hanya berlaku bagi generasi muda yang berasal dari luar pulau Jawa, namun generasi muda di pulau Jawa pun banyak yang tidak mengerti arti dari bahasa daerah dalam pewayangan.

Masalah kedua ialah durasi pertunjukan. Pertunjukan wayang biasanya berlangsung semalam suntuk, artinya durasinya sangat panjang dan lama. Hal inilah yang membuat wayang semakin dilupakan karena durasi yang terlalu lama membuat orang cepat merasa bosan. Masalah ketiga ialah adanya hiburan lain. Hiburan lain ini sangatlah kompleks baik dari adanya gadget, media sosial, televisi, atau menjamurnya tempat nongkrong dengan wifi gratis.

Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia saat ini tidak bisa lepas dari gadget dan media sosial. Dari sinilah manusia bisa mengetahui lebih cepat tentang budaya-budaya yang ada di luar Indonesia. Budaya K-pop atau barat adalah jenis budaya yang banyak dicontoh oleh generasi kita. Hal tersebut boleh-boleh saja, namun jangan sampai kita mudah menghafal lagu-lagu bahkan pandai menirukan tarian-tarian budaya luar, namun tidak tahu lagu-lagu daerah dan tidak mengerti tarian-tarian di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan upaya-upaya agar wayang tidak semakin dilupakan atau bahkan terbuang. Jika dicermati lebih dalam, solusi untuk masalah bahasa daerah adalah dibutuhkannya kesadaran para generasi muda bahwa tidak selamanya menggunakan bahasa daerah itu memalukan ketinggalan zaman. Kita harus bisa menyesuaikan antara penggunaan bahasa daerah, bahasa Indonesia baku ataupun bahasa asing, sehingga kita akan menjadi generasi yang fleksibel mengikuti perkembangan zaman. Untuk memahami bahasa daerah, kita bisa belajar melalui orang tua, guru di sekolah, buku ataupun internet. Kita akan lebih mudah mempelajari bahasa daerah karena sarana penunjangnya lebih banyak.

Selanjutnya, mengenai lamanya durasi pertunjukan wayang, terdapat sebuah solusi berupa pengurangan durasi pertunjukan tanpa mengurangi pesan cerita yang akan disampaikan. Penggunaan waktu pertunjukkan dua jam akan banyak menarik perhatian penonton dibandingkan dengan waktu pertunjukan yang semalam suntuk. Saat ini pun, telah banyak pementasan wayang yang menggunakan waktu dua jam karena dianggap sebagai durasi yang paling ideal.

Terakhir, mengenai adanya hiburan lain, dapat diberikan solusi berupa penekanan kesadaran bahwa wayang adalah budaya asli Indonesia. Kita boleh mempelajari budaya luar, namun jangan sampai kita kalah dengan warga negara asing yang rela tinggal di sini untuk mempelajari wayang atau budaya Indonesia yang lain. Kita harus bangga memiliki wayang dan budaya yang lain. Kita wajib melestarikannya sebagai warisan dari leluhur, karena jika bukan para generasi muda, lalu siapa lagi yang akan menjaga keberadaan budaya di Indonesia. Jika kita terus terlena oleh budaya luar, maka jangan salahkan jika banyak budaya kita yang mulai terhapus sia-sia bahkan diambil oleh negara lain.

Kesimpulannya, budaya Indonesia sangatlah beragam. Namun, perkembangan teknologi mulai menggerus keberadaan budaya kita dan digantikan oleh budaya luar. Kita harus bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Kita harus menanamkan rasa percaya diri dan bangga akan budaya kita sendiri, sehingga budaya Indonesia tidak akan dilupakan dalam negeri dan bahkan bisa dikenal di kancah internasional.

  • Penulis berdomisili di kota Malang. Tulisan ini sendiri merupakan pemenang peringkat favorit ketiga lomba HUT44Keadilan. Ide dan substansi yang dipaparkan tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

LPM Keadilan

Lembaga Pers Mahasiswa Keadilan atau LPM Keadilan merupakan suatu organisasi yang didirikan sejak tahun 1974 di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *