Categories Sekilas Acara

Visualisasi Ketidakadilan Lewat Pentas

Setidaknya pintu ini adalah perlindungan kami yang diberikan oleh Tuhan

Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Sanggar Terpidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) mengadakan pentas berjudul Panti yang merupakan produksi kelima mereka di Taman Budaya Yogyakarta pada Sabtu (24/08/2018). Pentas Panti ini diadaptasi dari naskah Napi karya Anis Ete. Adaptasi naskah ini pun tidak terlalu jauh dari segi pengangkatan cerita skrip Napi yang mengkritisi ketidakadilan.

Pintu teater dibuka pukul 19.00 Wib, para hadirin mendaftar ulang sebelum memasuki ruang pertunjukkan. Hadirin memenuhi 350 kursi yang disediakan, bahkan beberapa penonton harus menyaksikan pentas tersebut secara lesehan. Pentas ini tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa FH UII, tetapi juga tamu dari Omah Teater Jogja serta sanggar universitas se-Yogyakarta. Pentas dibuka oleh iringan musikalisasi puisi dari Dunia Dalam Kotak yang membawakan tiga buah lagu. Kemudian pembawa acara menjelaskan rangkaian pertunjukkan, dilanjutkan sambutan dari Pimpinan Produksi dan  Manajer UKM Sanggar Terpidana.

Pentas menampilkan nuansa panti jompo dengan teralis besi dan lingkungan yang tidak terawat. Pertunjukkan diawali dengan dua pengurus panti, Rustam dan Laksmi, yang mengecek para orang tua renta Ayub serta Mirah. Pada adegan ini terdapat hal menarik yang terjadi ketika pintu dengan mudah dibuka oleh Ayub tanpa menggunakan kunci. “Setidaknya pintu ini adalah perlindungan kami yang diberikan oleh Tuhan”. Pesan yang disampaikan adalah akan selalu ada hal yang menjaga kita jika memegang teguh kebenaran serta perjuangan dari diri sendiri.

Alur cerita dalam pentas ini dibangun dengan perlahan lewat masing-masing tokoh. Ketidakadilan diceritakan melalui masa lalu para tokoh dari berbagai latar masalah. Seperti Ayub, seorang wartawan dengan talenta menulis dan mencari berita yang sangat baik, hingga suatu hari karena dianggap terlalu kritis dalam mengungkapkan kasus korupsi pejabat besar, kebebasannya pun berakhir. Ataupun Marni, seorang petani yang memperjuangkan tempat tinggalnya sebagai penghasil padi untuk negara ini dari perusahaan rakus namun dianggap sebagai tindakan perlawanan.

Sosok Rustam, Laksmi, serta Widuri sebagai pengurus panti jompo ini melambangkan sisi gelap dan terang penegakan hukum yang terjadi hingga sekarang. Rustam dan Laksmi mempertunjukkan penegak hukum yang memperlakukan masyarakat kecil dengan tidak manusiawi. Sedangkan Widuri melambangkan penegak hukum yang masih memiliki hati nurani dalam menjalankan tugasnya, seperti yang diakui Marni, “Iya kamu berbeda dengan mereka, aku melihat kebaikan dan kejujuran di dalam dirimu.”

Para tokoh memainkan peran dengan menarik, tampak dari ekspresi, intonasi suara, serta gerakan badan yang sangat menjiwai karakternya. Terlebih lagi rias wajah dan pakaian yang dikenakan memperkuat penampilan para karakter.

Muhammad Ciptadi selaku sutradara pun menyampaikan, “Kalau aku nilai yang mau diangkat ini yaitu cerita-cerita keadilan yang tersisihkan”. Ia menjelaskan juga latar belakang panti jompo sebagai tema pementasan karena lebih tepat untuk diubek-ubek. Pentas ini juga terinspirasi dari sebuah panti jompo di Pekanbaru yang kotor, tak terawat, dan tidak manusiawi, tetapi luput akan pengawasan pemerintah.

Sanggar terpidana mempersiapkan pentas ini selama tiga bulan. Pertunjukan ini juga sebagai cara visualisasi untuk mengkritik fenomena ketidakadilan yang terjadi hingga sekarang. Mengingat isu seperti ini sudah sangat jarang ditampilkan. Tak ayal pada akhir pentas para penonton kompak memberikan tepuk tangan yang meriah.

Reportase bersama: Dandy Try Yacoby dan Aldhyansah Dodhy Putra

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *