Begawan itu telah berpulang, musik adalah jalan hidupnya
Oleh: Nugrahary Cahya Ramadhani*
Bagi anak zaman sekarang, nama Yockie Suryoprayogo mungkin kurang dikenal, tapi dalam indeks sejarah peradaban musik Indonesia, melewatkannya adalah sebuah dosa besar. Kibordis kelahiran Demak yang mengawali kariernya di Kalimantan Timur itu disebut oleh pengamat musik Denny Sakrie sebagai arsitek musik progresif Indonesia pada era 1970-an. Memang bukan hal yang berlebihan karena sebagai musisi, Yockie dengan keluwesan jari-jarinya di atas tuts organ Hammond ala Keith Emerson dari grup Emerson Led Palmer (ELP) itu berhasil membidani lahirnya banyak karya monumental. Melintasi berbagai macam genre mulai musik pop sampai rock progresif, dari Chrisye, Godbless, hingga Kantata Takwa.
“Seni adalah pengabdian hidup,” kalimat ini ia ucapkan berulang-ulang. Bagi Yockie, musik bukanlah sekadar aktivitas untuk menyalurkan hobi atau ekspresi. Musik adalah sebuah senjata untuk menebarkan gagasan, sedang aspek hiburan dalam musik hanyalah sebatas sarana guna menyampaikan idenya kepada khalayak umum.
Daya cipta Yockie dalam kreativitas bermusik sangatlah luas, ia mengawali karir dengan menjelajahi satu band ke band yang lain. Ia pernah menduduki posisi personil di berbagai macam band rock kawak semacam Jaguar, Bigman Robinson, Giant Step, hingga akhirnya menapakkan kakinya di Godbless. Karya-karya yang dihasilkannya seperti Kehidupan, Semut Hitam, maupun Menjilat Matahari juga dikenal karena sentuhan aksentuasi kibor yang megah.
Pada paruh kedua dekade tahun 1970-an ia menjadi penata musik dalam karya-karya Lomba Cipta Lagu Remaja yang diadakan oleh Radio Prambors. Kemudian dari lomba inilah lahir nama-nama besar seperti Chrisye, Fariz RM, Ikang Fawzy, Christ Kayhatu, dan lain-lain. Pada era itu pulalah ia bersama Chrisye menghasilkan album Jurang Pemisah, yang menelurkan karya-karya musik rock progresif. Tentunya masih dengan mode permainan kibor Yockie yang rumit akibat pengaruh meledaknya musik-musik rock progresif Barat seperti ELP, Genesis, dan Yes.
Pada tahun 1977, bersama Chrisye, Eros Djarot, Junaedi Salat, serta beberapa seniman musik lainnya, Yockie turut menyumbangkan tangan dinginnya dalam menggarap album original soundtrack untuk film Badai Pasti Berlalu. Dari album inilah banyak lagu-lagu Chrisye sampai ke telinga masyarakat generasi X, Y, Z, baby boomers, hingga anak muda millenial melalui aransemen-aransemen Erwin Gutawa pada tahun 1999. Sebagai sebuah karya musik pop, lagu-lagu dalam album ini juga seperti, Cintaku, Serasa, dan Pelangi. Tak ayal pada tahun 2007, album ini dinobatkan sebagai urutan pertama dari 150 Album Indonesia Terbaik yang disusun oleh Majalah Rolling Stone Indonesia.
Jika ditilik dari sejarah hidup Yockie dalam bermusik, idealisme yang dikobarkannya tumbuh akibat konsekuensi logis masuknya dentuman revolusi British Rock n’ Roll gelombang kedua ke Indonesia. Yockie muda, mulai bermusik dengan membawakan repertoire lagu-lagu Barat dari Jimi Hendrix hingga Deep Purple. Pada masa itu, sebagai bentuk dari counter culture terhadap kekerasan (Perang Vietnam), lirik-lirik protes masif didengungkan.
Berkaca dari realitas musik di Barat, hati seorang Yockie muda tergerak. Problem sosial yang terjadi di Barat adalah masalah yang mesti direspons oleh musisi Barat. Dengan demikian, problem sosial yang terjadi di tanah airlah yang harus ia respons sebagai musisi Indonesia. Yockie dengan modal kesadaran atas kondisi sosial di hadapannya disertai dengan idealisme bermusik, melepaskan energi yang ia miliki dengan membuat lagu-lagu bernuansa kritik sosial.
“Ku kejar prestasi itu
Seribu langkah kupacu…
…Tak kau hiraukan mereka
Walau mereka
Walau lapar”. (Kehidupan, 1988)
Selain berkaitan dengan kritik sosial, Yockie juga tak segan-segan melontarkan ide musiknya yang berkepribadian Indonesia. Sebagai seorang musisi, ia melihat bahwa musik Indonesia tidak boleh menerima pengaruh Barat secara mentah-mentah. Baginya globalisasi memang sebuah keniscayaan, tapi mempertahankan identitas diri adalah keharusan. Yockie dalam sebuah acara diskusi menyatakan bahwa tereksposnya J-Rock oleh Jepang dan K-Pop dari Korea di kancah global disebabkan karena mereka tidak membebek secara buta terhadap model musik Barat.
Meski kritik Yockie terhadap bentuk genre pop yang tidak berkeindonesiaan masih abstrak dan terkesan subjektif, usahanya untuk melahirkan musik dengan kualitas ekspresi nasionalis layak diacungi jempol. Kembali ke beberapa jangka waktu silam, jejak usaha mempertahankan identitas keindonesiaan telah diperlihatkan Yockie sejak tahun 1970-an. Yockie beserta sejumlah musisi-musisi lain seperti Eros Djarot serta Guruh Soekarnoputra (band Guruh Gipsie) melakukan upaya eksplorasi bahasa-bahasa yang digunakan dalam karya-karya sastra dan Sanskerta untuk dipergunakan sebagai material lirik lagu-lagu mereka. Salah satunya dapat kita temukan pada lagu Juwita, karya magnum opus Yockie dalam album Sabda Alam (1978) yang diciptakan dan dinyanyikan bersama Chrisye.
“Seindah panorama bak lembayung senja
Kala hati dimabuk cinta
Ku dibuai smaradahana
Bagai legenda Rama dan Shinta.”
Pendalaman materi dari warisan kebudayaan dan kearifan lokal, Yockie, sebagai musisi yang Indonesianis—bersama Guruh Soekarnoputra—agaknya tak menyokong ide penggunaan bahasa Inggris. Ia menyatakan bahwa lirik dengan bahasa asing membuat pemaknaannya tidak utuh bagi pendengar musik itu sendiri.
Selain karakter musikalitasnya yang idealis, karena watak kerasnya Yockie sendiri kerap berseteru dengan rekan sesama musisi. Namun demikian Eros Djarot pun tak mengingkari andil kehebatan Yockie dalam aransemen Badai Pasti Berlalu. “Badai Pasti Berlalu kalau bukan dia yang aransemen mungkin tidak akan sebagus itu,” katanya.
Seperti filsuf, musisi memiliki peran besar dalam mengangkat lentera penerang nilai-nilai bagi masyarakat. Bagi Yockie lanskap musik pada masa kini telah mengalami degradasi. Banyak musisi hanya mengandalkan selera pasar tanpa meninjau lagi substansi apa yang dibawanya ke telinga massa. Padahal disadari atau tidak, sebuah karya seni dapat memengaruhi bergeraknya arah spektrum norma yang hidup di masyarakat.
Seniman tidak boleh berlepas tangan terhadap tanggung jawab sosial. Hal ini ia sampaikan sebagai respons ketika musisi-musisi lokal menciptakan lirik yang tidak sesuai dengan norma masyarakat Indonesia. Hal ini ditunjukkan Yockie dengan kritik yang dilemparkan kepada Sheila on 7 pada lagu Sephia yang menurutnya mendukung perselingkuhan di masyarakat (di dalamnya terdapat lirik “Selamat tidur kekasih gelapku”). “Faktanya (selingkuh) memang ada, tapi jangan kemudian (musisi) mensponsori perbuatan itu,” tegasnya. Namun, tentu pendapat-pendapat ini akan ditentang oleh musisi penganut filsafat kebebasan—ekspresi yang disampaikan seorang musisi adalah ungkapan bebas dan jujur, bukan panggilan norma serta moral tertentu.
Yockie Suryoprayogo bagi Penulis
Yockie adalah sosok musisi yang mungkin tidak akan kita temui dalam waktu dekat ini, atau bahkan beberapa dekade ke depan. Ia bukan hanya kibordis handal tapi juga seorang filsuf yang pemikirannya dibutuhkan para musisi dalam pergulatan kultur dunia dan pragmatic sense industri musik itu sendiri. Suara Yockie selalu menghimbau para musisi untuk tetap melahirkan karya yang orisinil, tidak larut dalam arus pasar. Karena hanya dengan cara itulah musisi dapat menegaskan identitas dan memiliki jati diri.
Yockie mengajarkan bahwa musik merupakan sebuah alat peneguh moralitas bagi bangsa. Dalam gelombang naik turun dan warna-warni kontestasi ide di era posmodernisme, masyarakat harus mempunyai pedoman. Nasionalisme adalah tanggungan untuk ditegakkan. Musik di tangan komposer atau musisi bukan hanya untuk senang-senang. Dalam kecenderungan westernisasi, Yockie mengingatkan bahwa Indonesia memiliki kebudayaan agung yang dapat selalu relevan apabila kita berupaya untuk menjelajahi dan mengolahnya kembali dengan kreativitas.
Yockie adalah seorang begawan musik Indonesia. Ia adalah hadiah bagi bangsa Indonesia.
Selamat jalan Yockie (1954-2018)
* Mahasiswa FH UII angkatan 2014