Categories Opini

Kemelut Keadilan NYIA

Tindakan represif aparat kepolisian kepada warga terdampak pembebasan lahan New Yogyakarta International Airport (NYIA) patut disayangkan. Kepolisian sebagai pelaksana fungsi negara untuk mengayomi justru berada di posisi yang anti masyarakat. Hujatan dan kritikan pun tertuju pada aparat kepolisian.

Pembangunan NYIA penuh dengan polemik. Bandara yang direncanakan menggantikan Bandar Udara Internasional Adisutjipto tersebut akan berdiri di lahan seluas 587 hektar. Namun, warga setempat tetap menolak meskipun telah diberikan ganti rugi. Argumen yang bergulir adalah mengenai kepantasan jumlah ganti rugi, baik untuk rumah, lahan, maupun tanaman. Sebab, yang terdampak bukan hanya rumah warga, namun juga meliputi lahan pertanian produktif.

Kemudian, terjadilah tindakan represif aparat pada 5 Desember 2017. Polisi menahan 15 aktivis dengan dalih ‘mengamankan’. Peristiwa ini terjadi ketika PT Angkasa Pura I, dengan dikawal kepolisian, melakukan ‘pembersihan’ areal permukiman warga yang menjadi lahan NYIA.

Tidak hanya penahanan, seorang warga bahkan mengalami luka di kepala setelah terhantam batu yang konon dilempar oleh aparat. Seorang warga lain diseret dan dipukuli di bekas galian alat berat. Bahkan warga yang masih bertahan di dalam rumah dipaksa keluar.

Tindakan tersebut dilakukan karena NYIA merupakan proyek strategis nasional. Pemerintah menargetkan ‘pembersihan’ lahan NYIA harus segera tuntas. Justru di lain pihak, warga dengan tambahan personel massa solidaritas menentang upaya ‘pembersihan’ tersebut. Namun, apakah tindakan represif aparat mencitrakan keadilan?

Teori Pembangkangan Sipil

John Rawls—dalam bukunya A Theory of Justice—menjelaskan suatu konsep yang disebut pembangkangan sipil. Masyarakat dalam suatu negara ‘nyaris adil’ memiliki mekanisme upaya untuk menolak tindakan pemerintah yang merugikan mereka. Menurut Rawls, tindakan tersebut bersifat tanpa kekerasan.

Teori pembangkangan sipil mengekspresikan pembelotan hukum dalam batas-batas kesetiaan terhadapnya. Masyarakat menentang hukum yang berlaku dikarenakan mengidamkan keadilan publik seperti janji konstitusi. Sehingga, pembangkangan sipil dapat dikatakan sebagai upaya penegakan terhadap norma konstitusi yang berlaku di suatu Negara. Menurut Rawls, pembangkangan sipil berfungsi menjelaskan peran masyarakat dalam sebuah sistem konstitusional pada suatu tatanan yang demokratis.

Entah sadar atau tidak, tindakan warga yang menolak NYIA sebenarnya telah menerapkan konsep pembangkangan sipil. Masyarakat yang tergabung dalam barisan Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo menentang upaya konsinyasi yang dilakukan oleh PT Angkasa Pura I karena dianggap merugikan. Sebagian lagi menolak menyerahkan tanah pertanian yang menjadi mata pencaharian mereka. Masyarakat menghendaki penyelesaian hukum yang lebih baik dan tidak merugikan mereka.

Teramat disayangkan, tindakan tanpa kekerasan tersebut disambut dengan aparat bertameng dan pemukul anti huru-hara. Alat berat yang dikerahkan untuk upaya ‘pembersihan’ dijadikan piranti untuk menggerus akses ke posko milik aktivis dan warga penolak NYIA. Hingga, kucuran darah warga dan penahanan 15 aktivis turut mewarnai ‘pembersihan’ yang dikawal kepolisian tersebut.

Pelindungan Kepentingan Umum oleh Negara

Sebagai proyek strategis nasional, pembangunan NYIA beserta pembebasan lahannya dilandaskan pada upaya terwujudnya kepentingan umum. Landasan konstitusional akan pemenuhan kesejahteraan sosial digunakan oleh pemerintah untuk merealisasikan NYIA. Penguatan pembangunan perekonomian nasional dan letak strategis di simpang penerbangan internasional menjadi urgensi pemerintah merealisasikan proyek NYIA. Maka ‘pembersihan’ lahan yang hendak digunakan NYIA tak dapat ditunda. Sekali lagi, keseluruhan tersebut demi terciptanya kesejahteraan dan kepentingan umum.

Kemudian pemerintah melalui konsinyasi hendak merealisasikan pembebasan lahan NYIA. Harga telah ditawar, bahkan dinaikan, untuk terwujudnya kepentingan umum tersebut. Namun, sebagian warga tetap menolak harga dan upaya ganti rugi pemerintah. Dikarenakan lobi dan negosiasi ganti rugi tak kunjung usai, pemerintah tetap melaksanakan ‘pembersihan’ demi terwujudnya kepentingan umum yang lebih besar. Warga yang belum puas kemudian nekat bertahan di rumah mereka, hingga memaksa aparat bertindak represif.

Kepentingan umum versi pemerintah menunaikan amanat kesejahteraan sosial pada ideologi bangsa. Namun, warga penolak berupaya menuntut hak pelindungan dari negara yang dijanjikan konstitusi. Maka, pertentangan kesejahteraan timbul antara pemerintah dan warga. Kembali menyelami upaya menciptakan kesejahteraan sosial, terlepas dengan pro kontra pembangunan NYIA, kedua pihak mengidamkan terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum yang dijanjikan konstitusi sebagai in abtracto hendak diwujudkan secara konkrit oleh kedua pihak. Beda versi, namun keduanya memiliki semangat yang sama.

Keadilan Ala Rechtsstaat Indonesia

Penjelasan naskah lama Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Indonesia menganut negara hukum rechtsstaat. Sebagai pengikut sistem civil law, keadilan versi Indonesia lebih menitikberatkan pada kepastian hukum. Sehingga, yang ingin diwujudkan sistem tersebut adalah keadilan dengan dasar kejelasan norma hukum positif.

Meskipun menganut rechtsstaat, keadilan di Indonesia tidak serta merta bertumpu pada positifisme hukum. Hukum tak tertulis dan kebiasaan diakui hidup di masyarakat. Konsep tersebut identik dengan sistem equality before the law ala negara-negara common law.

Hal tersebut nampak pada ketentuan undang-undang pokok agraria yang menyatakan bahwa, “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat….” Keberadaan hukum tidak tertulis—yakni adat—diakui secara yuridis formal. Sehingga, nilai-nilai keadilan publik masyarakat turut diakui sebagai kristalisasi norma tidak tertulis. Maka meskipun berhaluan rechtsstaat, keadilan yang dicapai bukan hanya bersifat legistik-positivistik semata, namun juga memperhatikan nilai-nilai dalam masyarakat.

Gebukan Menyambut Aksi Damai

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembangkangan sipil merupakan aksi tanpa kekerasan yang dilakukan dengan semangat penegakkan konstitusi. Masyarakat penolak NYIA melakukan aksi damai menentang ‘pembersihan’ yang dikawal aparat kepolisian. Tetap meyakini kesejahteraan sosial versi keadilan publik, secara damai, warga bertahan untuk tidak menyerahkan lahan mereka.

Namun upaya warga yang tanpa kekerasan tersebut ditanggapi lain oleh aparat. Pemukulan, pelemparan batu, bahkan pendobrakan paksa dilakukan oleh aparat. Tindakan ‘pengamanan’ terhadap 15 aktivis dan mahasiswa turut terjadi. Semua dilaksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial versi pemerintah.

Tindakan aparat tersebut sepantasnya memperoleh kecaman. Teramat disayangkan filosofis mulia yang dibangun pemerintah diwujudkan dalam bentuk barbar. Penertiban secara represif seharusnya dapat dihindari karena kedua pihak sama-sama meyakini otoritas hukum. Namun, memfungsikan alat pemukul nampaknya menjadi opsi efektif yang dipilih guna menertibkan warga dan massa.

Posisi lemah warga tak berdaya menghadapi aparat berpiranti lengkap. Tak adil jika aparat dengan kuasa menindak keras warga yang masih tertib hukum tersebut. Padahal upaya represif seharusnya hanya diterapkan bagi pelanggar hukum. Posisi tersebut menunjukkan terdapat ketimpangan keadilan.

Perdebatan dua kubu yang masing-masing merasa benar tersebut, bukannya berakhir dengan diskusi logis, alih-alih dituntaskan dengan kontak fisik. Otot dan kekuasaan pun berbicara. Pihak yang memang ditakdirkan lemah pun terpukul mundur. Namun sesaat kemudian insyaf, aparat secara tertib mundur dan menghentikan upaya represif. Meski demikian, tak dapat diingkari telah terjadi kontak fisik yang tidak diperlukan oleh aparat kepolisian.

Seharusnya, aparat lebih wawas diri guna mewujudkan fungsi mengayomi masyarakat. Fakta adanya tindakan represif oleh kepolisian harus dijadikan renungan bagi pemerintah, agar tidak terulang. Perlu dijembatani media penengah sekali lagi untuk kedua belah pihak—baik warga yang menolak maupun pemerintah melalui PT Angkasa Pura I—dan aparat yang mengamankan. Hal tersebut demi mewujudkan keadilan ditengah carut-marut kemelut pembangunan NYIA serta terwujudnya kesejahteraan sosial yang ideal.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *