Seni Rupa: Alat untuk Mengingat Kembali Sejarah

http://lpmkeadilan.org/wp-content/uploads/2017/12/foto-fix.jpg

Indonesia lahir bukan dari pemikiran satu orang saja. Ia lahir dari seluruh rakyat Indonesia, baik itu elite politik, ulama, rakyat biasa maupun pemberontak.

Yogyakarta-Keadilan. Parallel Event Biennale Jogja XIV mengadakan diskusi mengenai karya ‘Indonesian Idea’ pada tanggal 17 November 2017. Forum tersebut dilaksanakan di iNiseum, Jalan Nitikan No. 76 Sorosutan, Yogyakarta. Acara ini bertema “Perayaan Ide, Penghormatan pada Keragaman”. Selain diskusi mengenai lukisan, juga disisipkan peluncuran buku berjudul ID.1 diawal forum.

Forum perbincangan lukisan Indonesian Idea, karya Galam Zulkifli, mengundang Muhidin M Dahlan dan G.R. Lono Lastoro Simatupang sebagai pembicara. Muhidin atau biasa disebut Gus Muh menjadi pembicara pertama.

“Karya seni milik Galam Zulkifli ini bisa dilihat dalam empat cara permainan cahaya,” ujar Gus Muh. Para panitia memainkan cahaya lewat lampu di ruangan tersebut. Pertama, wajah Soekarno tampak dari lukisan. Menggambarkan Indonesia ada pada masa perjuangan. Penampakan kedua adalah Soekarno dan Hatta beserta wajah rakyat. Ini menunjukan memasuki era kemerdekaan, dalam teks proklamasi terdapat nama atas bangsa Indonesia.

Ketiga, terlihat wajah rakyat Indonesia dari semua suku-suku yang ada. Penampakan keempat, wajah penduduk tersebut jika dilihat saksama akan memudar, kemudian tampak kembali. Hal ini menceritakan Indonesia setelah merdeka, bahwa warga negara hanya sebagai simbolisasi.

Gus Muh menjelaskan bahwa Galam ingin menerapkan sebuah terobosan dalam seni rupa lewat kemampuannya. Menyambung seluruh sejarah Indonesia, tanpa terkecuali. Mulai dari Indonesia dalam masa pergerakan sampai Indonesia merdeka. “Baik yang salah, maupun yang saleh. Dari yang elite politik sampai artis yang sering tampil di televisi,” tutur Gus Muh.

Karya seni milik Galam menggunakan metode cahaya untuk melihat wajah Indonesia. Melalui cahaya yang ada di ruangan, terlihat wajah-wajah elite politik. Rakyat terlihat dalam kegelapan melalui karyanya. Gus Muh menuturkan, “Hal ini bermakna rakyat itu punya nama saat sensus penduduk saja. Mereka hanya berarti ketika pemilihan umum saja, setelah itu tidak berarti apa-apa.”

 Moderator juga menceritakan tentang awal mula mural tersebut. “Tahun 2016, lukisan Galam Zulkifli yang berjudul The Indonesian Idea ini pernah dipamerkan di Terminal tiga Ultimate Soekarno-Hatta, Cingkareng, Tangerang, Banten,” tutur moderator. Dalam lukisan, terdapat wajah D.N Aidit, sehingga menuai banyak polemik.

Jika kita melihat karya seni rupa secara utuh, perbandingan wajah Aidit dengan paras lain tidak seberapa. “Galam sempat diminta menghilangkan beberapa wajah, yang memang cukup mengganggu ingatan publik,” tutur moderator. Namun dia menolak untuk merevisi karyanya. Tanpa ada yang membela, karya seni rupa tersebut terpaksa diturunkan oleh pihak PT Angkasa Pura II.

Gus Muh melanjutkan perbincangan  tentang pengalaman Galam Zulkifli. “Malioboro adalah medan gelanggang pertamanya,” ujarnya. Dia bisa melukis 400 wajah dalam waktu enam bulan. Dia menggunakan kedua tangannya untuk melukis. “Lukisan wajah yang ada di sebelah kiri dilukis menggunakan tangan kiri, sebelah kanan menggunakan tangan kanan. Berulang kali, hasilnya sama,” tambahnya.

Menurut Gus Muh, alasan Galam memilih rupa sebagai lukisan karena keunikan. Wajah pertama yang dia gambar adalah presenter TVRI. “Bayangkan dia harus menangkap gambar bergerak dan dilukiskan,” tuturnya. Menurutnya, wajah seseorang tidak sama, terutama mata.

Pembicara kedua yaitu G.R. Lono Lastoro Simatupang melanjutkan perbincangan. Dia memberi kritik terhadap karya Galam. “Pesona itu muncul dari teknik seni lukisnya. Dengan lampu dimatikan, menjadi performing arts,” tuturnya. Menurutnya, teknik lukis dan teknik pertunjukan menjadi kombinasi dalam lukisan ini. “Teknologi gelap terang itu yang dimanfaatkan. Tidak akan tampak wajah etnik-etnik ini jika terang,” ucapnya.

Lono mengungkapkan, teman-teman seni rupa serius dalam mengkaji media atau materi yang akan digunakan. Hal ini yang membuat karya seni rupa menjadi menarik. Dia juga mengungkapkan lukisan ini ada pada tataran ide, sehingga menjadi orisinal.

Ika Nadia salah satu peserta forum tersebut memberikan pendapatnya tentang karya Galam Zulkifli. “Kita diminta recalling untuk melihat kembali identitas ke Indonesiaan,” katanya. Dia menuturkan mural ini akan menimbulkan pertanyaan bagi generasi muda. “Kenapa lukisan ini diturunkan? Kenapa ada Aidit? Aidit itu siapa? Muncullah keinginan orang-orang untuk mengetahui siapa itu Aidit,” ungkapnya.

Tak hanya itu, Ika melihat terdapat wajah Silaban yang dilukis dengan ukuran kecil. Silaban adalah arsitek masjid Istiqlal. Lalu ada Wiji Tukul, Munir, serta Romo Mangun sebagai penggagas emansipasi pendidikan. “Jadi orang akan dibuat penasaran, siapa mereka. Jadi lukisan ini sebenarnya memberikan ruang untuk memanggil kembali sejarah-sejarah yang dihilangkan,” tambahnya.

Galam Zulkifli, perupa lukisan mengapresiasi acara tersebut, “Kalo aku yang berbicara mungkin tidak akan seperti itu. Sangat melampaui acaranya”. Galam menjelaskan bahwa pengunjung yang hadir tak sebanyak saat kegiatan diskusi berlangsung. Setelah acara bienale selesai, Indonesian Idea masih akan tetap berada di iNiseum dan memperbolehkan masyarakat untuk melihat karyanya.

 Reportase bersama: Dandy Try Yacoby dan Arrasyid Nurazmi

Tiara Robiatul

Penulis pernah menjabat sebagai Staf Bidang Penelitian dan Pengembangan Periode 2016-2017 dan 2018-2019, serta Pimpinan Bidang Penelitian dan Pengembangan Periode 2017-2018. Saat ini penulis telah menyelesaikan masa baktinya dari LPM Keadilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *