Categories Resensi

Tuan Buang Angin

“Sore itu, di kepala kami terus-menerus terbayang ratusan kemungkinan adegan seandainya para politisi busuk (maaf) dikentuti kentut super busuk Pak Ken.” (hlm 147)

Judul               : Tuan Ken(tut)

Penulis             : FX Rudy Gunawan

Penerbit           : GagasMedia

Tahun Terbit    : 2013

Tebal Buku      : 272 halaman

Cetakan           : Pertama

Tuhan menciptakan manusia dengan sempurna. Seperti metabolisme tubuh, sirkulasi darah, ataupun intuisi yang sering sulit dipahami oleh logika. Terdapat salah satu fisiologi sistem perncernaan dalam tubuh manusia, sangat dibutuhkan, tapi keberadaannya sering kali terpenjara oleh berbagai filosofi di belakangnya. Normal tapi memalukan, itulah kata yang identik dengan flatulensi, fart, atau kentut. Inilah tema besar mendasari novel gubahan FX Rudy Gunawan.

Tuan Ken(tut) menceritakan seorang pemuda turunan ningrat, berwajah tampan, dan cerdas. Sang ayah Haryo Wibowo adalah seorang politisi yang diperhitungkan sepak terjangnya. Sedangkan ibunya, Sinta Pertiwi merupakan doktor di bidang pertanian. Penantian keduanya selama tujuh tahun terbayar lunas dengan kedatangan Ken. Namun, entah karena Sinta mengidam rujak cingur selama masa kehamilannya, sehingga membentuk mekanisme pencernaan yang anomali pada anaknya, Ken Turangga Abdi Nuswantoro. Sang pemilik kentut ajaib.

Ken Turangga mempunyai kentut yang mampu membuat siapapun lari tunggang-langgang menghindarinya. Segala macam cara telah dilakukan, mulai dari berkonsultasi dengan dokter ternama baik lokal maupun internasional, sampai berobat pada ahli perdukunan pun rela dilakukan kedua orang tuanya. Hasilnya, kentut Ken semakin dahsyat tidak terkendali. Artinya, kapan pun kentut itu mau keluar, Ken hanya bisa pasrah menghadapi segala yang akan terjadi.

Pernah suatu waktu, kentut Ken berhembus (pess, mustahil terdengar) saat bus karya wisata sekolahnya sedang berjalan. Tak pelak, kentut itu berhasil membuat seluruh penumpang bus kewalahan. Sang supir sempat kehilangan konsentrasinya sehingga bus nyaris kecelakaan. Sejak saat itu Ken merasa bersalah, dan mengutuk kentut yang membuatnya frustasi, hingga dua kali melakukan percobaan bunuh diri.

Tidak bisa dibayangkan, bagaimana aroma lebih dahsyat dari bau limbah pabrik kulit bercampur bau bangkai tikus, tercium ke seluruh lubang hidung melintasi bulu-bulu. Tapi Ken yang dianggap titisan Dewa Semar, hanya saja berwajah ningrat oleh penduduk kampung kumuh tempatnya tinggal, bisa menjadi dirinya sendiri. Ken menemukan rumahnya, tempat seharusnya dia berada tanpa perlu menyembunyikan kentut super busuknya. Bukan perumahan elit dengan penduduknya yang fashionable, Ken tidak lagi menggugat, bahkan berhenti bertanya. Tempat di mana bau busuk adalah kehidupan, Ken menggapai salah satu impiannya, mendirikan sebuah sekolah, yang kelak membuatnya ia dan kampungnya menjadi inspirasi pergerakan bagi lainnya.

Novel ini bertema anomali, dengan humor satir yang menghibur sekaligus membuat pembaca merenung akan hidupnya. FX Rudy Gunawan mengupas isu-isu politik, ekonomi, dan kehidupan sosial masyarakat dengan bahasa sederhana namun mengena. Ketika berbicara tentang pendidikan, maka bukan perkara mudah menciptakan sistem yang tepat guna. Karena hanya akan menjadi rancangan belaka bila tanpa ada penggeraknya. Tentu saja, siapa pun bisa menjadi pemotor, persis pendapat Tuan Ken yang lulus cum laude ini, “Apa pun rancangannya, kenyataan lebih membutuhkan tindakan konkret daripada omongan-omongan hebat tentang sebuah rancangan pendidikan itu sendiri.”

Rancangan yang telah disetujui pasti berhubungan dengan sistem sebagai pelaksanaannya. Namun sebagai sebuah sistem, apakah pendidikan nasional dewasa ini ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Seperti dikutip dari buku Jalan Kemandirian Bangsa disusun oleh Tim Ahli Sekretaris Nasional Jokowi, “Kenyataannya pendidikan dewasa ini diarahkan kepada upaya untuk bersaing dengan negara-negara industri maju yang dikendalikan oleh paham liberal”. Terlihat bagaimana arus informasi begitu mengglobal, dan anak didik hampir tidak mengerti implementasi jas merah. Maka untuk menanamkan karakter bangsa Indonesia yang ketimuran, sistem pendidikan memang harus terus dikaji tidak peduli rezim siapa. Sejalan dengan membangun sumber daya manusia adalah faktor integral yang tidak dapat dipisahkan, demi menciptakan Nawacita di era pemerintahan sekarang.

Layaknya Semar, dewa yang mewakili rakyat jelata, meski ayahnya berada dijajaran tinggi perpolitikan Indonesia, Ken lebih memilih mengabdi pada kaum marjinal. Ken mempunyai opininya tersendiri yang disebutnya dengan politik kentut. Menurutnya politik itu sama dengan kentut, “Kenyataan politik memang penuh kebusukan yang jauh lebih parah dibandingkan kebusukan kentut superbusuk sekalipun.”

Adakalanya rekrutmen birokrasi diwarnai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Berakibat pada terbangunnya pondasi perpolitikan dengan selimut kedustaan. Meskipun Machiavelli berpendapat bahwa penguasa dapat melakukan segala cara (bahkan kejahatan) jika diperlukan untuk keselamatan negara, tentu hal ini harus disikapi dengan bijak.

FX Rudy Gunawan dalam novelnya mengatakan bahwa, “Manusia adalah makhluk kentut sama halnya dengan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir (animal rationale)”. Semua manusia sehat pasti kentut. Sederhananya, kentut adalah sebuah kewajaran dari tubuh yang sehat. Selayaknya Sinta menyemangati anaknya, Ken Turangga Abdi Nuswantoro, “Kentutmu adalah kentutku juga, anakku,” maka kentutlah, karena politisi besar pemimpin negeri ini juga merasakan kentut yang sama. Namun, menjadi sebuah paradoks bila kentut yang dianggap salah kalau dikeluarkan (norma kesopanan), adalah sejatinya kebenaran untuk dilepaskan berdasarkan paham mekanisme biologis manusia.

Tuan Ken(tut) merupakan novel yang membuat pembaca terhibur sekaligus berpikir. Alur menarik dan penokohan karakter cukup relevan dengan refleksi kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Namun, sampai akhir cerita tidak dijelaskan penyebab Ken memiliki kentut ajaib, apa karena ibunya mengidam rujak cingur masih belum terjawab. Layaknya Plato dengan seribu pertanyaannya, maka apakah jawaban tepat bagi, “Bolehkah pemimpin bangun siang?” masih menjadi misteri di bagian lain novel ini. Serta latar waktu yang digunakan dalam pengutipan artikel, beberapa tidak sinkron dengan masa dalam novel. Secara keseluruhan novel ini patut dijadikan koleksi bagi kalangan mahasiswa maupun umum, untuk mengisi waktu luang sambil minum secangkir kopi dengan (tanpa) menahan kentut.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *