Tuntutan Mahasiswa UMY Yang Secara Mentah Ditinggal Pergi Oleh Pihak Kampus

“Itu sebenarnya kan (terduga) sudah di DO, tapi pinginnya massa aksi itu tidak hanya sampai di DO aja, tapi ada regulasi (yang mapan) sampai ke depannya,” ujar Hana, salah satu massa aksi.

Yogyakarta-Keadilan. Aliansi Universitas Muhammadiyah Bergerak (Aliansi UMY Bergerak) memanfaatkan momentum atas dugaan perbuatan melawan asusila yang dilakukan oleh Demisioner Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) lingkup universitas. Massa aksi bergerak untuk menyuarakan kegelisahan mereka akan lemahnya payung hukum perlindungan kekerasan seksual di UMY. Momentum tersebut mulai menggejolak saat akun Instagram @dear_umycatcallers (DUCS) mengunggah postingan atas tuduhannya terhadap MKA (inisial terduga) yang melakukan pemerkosaan terhadap tiga mahasiswi UMY. Terduga pelaku disebut memanfaatkan status sosialnya untuk melakukan tindakan melawan asusila, seperti contohnya pemerkosaan yang ia lakukan terhadap seorang perempuan yang sedang mengikuti tes pendaftaran BEM.

Aliansi UMY Bergerak melakukan aksi yang berlangsung pada pukul 15.00-18.00 untuk menyuarakan tuntutan mereka. Pergerakan massa aksi dimulai dari kantin selatan UMY hingga berhenti di Gedung Rektorat yang berada di depan Gerbang I Kampus Utama. Sebelum menyuarakan tuntutan mereka, beberapa orang sempat menyuarakan orasi sebagai medium untuk masing-masing massa aksi berekspresi. “Kalau masalah was-was, ya was-was,” sebut Hana, salah satu peserta aksi yang merisaukan kurangnya perlindungan kampus terhadap mahasiswinya.

Aksi yang dipacu oleh Aliansi UMY Bergerak diramaikan dengan undangan yang juga mengajak mahasiswa UMY secara umum untuk juga ikut meneriakkan kegelisahan mereka terhadap peristiwa ini. “Estimasi masa itu (yang hadir mengikuti aksi) sekitar 200 sampai dengan 250,” tutur Okpan Gunawan sebagai Koordinasi Lapangan aksi ini. Okpan merasa kalau mahasiswa/i UMY perlu mengeluarkan suara mereka atas pernyataan seksis yang diucap oleh pihak kampus kepada korban, “Saat kawan-kawan (pengelola akun DUCS) dipanggil oleh pihak kampus untuk dimintai klarifikasi, banyak penuturan-penuturan yang seksis dan intimidatif masuknya kepada kawan-kawan (pengelola akun DUCS)”.

Surat tuntutan yang disebarluaskan kepada massa aksi menyebutkan bahwa saat meminta klarifikasi ke DUCS, pihak kampus sempat mengatakan bahwa antara korban dan terduga pelaku sudah didasari konsensual, “Kasus pemerkosaan yang terjadi itu (pada korban dan MKA) merupakan tindakan yang sebenarnya didasari atas kesepakatan mau sama mau”. Pernyataan ofensif tersebut membuat Okpan serta rekan-rekannya di Aliansi UMY Bergerak tidak percaya dan menuntut itikad baik pihak kampus untuk melakukan audiensi terbuka dengan mereka. Atas rasa ketidakpercayaan tersebut, mereka menuntut pihak kampus untuk membentuk biro atau lembaga independen penanganan kasus kekerasan seksual yang juga mengikutsertakan elemen mahasiswa, “(agar) Kita bisa memonitor dengan mahasiswa pada umumnya, paling tidaknya itu tahu perkembangan (kasus) sudah sejauh mana”.

Audiensi terbuka pun dikabulkan oleh pihak kampus saat massa berhenti di depan Gedung Rektorat. Faris Al-Fadhat, selaku pejabat salah satu wakil rektor di UMY berdialog hangat dengan massa aksi selama lebih dari satu jam. Percakapan yang dilakukan Faris dengan banyaknya massa merupakan wujud sikap transparansinya yang secara sekilas, terlihat sebagai bentuk apresiasi pihak kampus terhadap kepedulian mahasiswa UMY akan permasalahan ini.

Faris dengan pikiran terbuka mendengarkan dan mengayomi masukan, saran, dan kritik dari mahasiswa UMY yang hadir pada audiensi terbuka itu. Salah satu hal yang dibanggakan oleh massa aksi yaitu pernyataan Faris selaku orang yang mewakili pihak kampus, menegaskan sanksi yang telah dijatuhkan terhadap terduga pelaku berupa dikeluarkannya dari UMY. Pengeluaran terduga pelaku terjadi setelah dilakukannya investigasi oleh pihak kampus secara mandiri. “Kita mengapresiasi bahwa kampus mengeluarkan pelaku secara tidak hormat,” ucap Okpan setelah audiensi terbuka dilakukan.

Rasa menang yang hampir tergenggam oleh massa aksi sayangnya tak terealisasi secara penuh. Menjelang Maghrib, massa aksi meminta kepada Faris akan realisasi terhadap salah satu poin tuntutan mereka, yaitu untuk merombak Standard of Procedure lembaga penanganan seksual kampus. Namun, wakil rektor itu dengan mentahnya menolak tuntutan tersebut. Perdebatan akan poin yang ditolak Faris sempat berlangsung selama beberapa lama waktunya, hingga akhirnya wakil rektor merasa terpojok dan melakukan walk out di tengah audiensi terbuka yang sedang berlangsung. Kepergian wakil rektor dari forum audiensi terbuka tersebut disusuli dengan banyak sorakan yang diserukan oleh massa aksi, dilanjuti dengan orasi-orasi sebagai bentuk kekecewaan mereka kepada pihak kampus.  

Meski begitu, Okpan sebagai salah satu anggota yang tergabung di Aliansi UMY Bergerak tidak akan membiarkan harapan mahasiswa/i UMY pudar. Ia berjanji tetap akan meneruskan dan tetap menekan pihak kampus secara kolektif dengan wadah Aliansi UMY Bergerak untuk menghadirkan lingkungan kampus yang lebih aman bagi korban pelecehan seksual, “Aliansi akan mengajukan kajian lagi, baik dari segi edukasi ataupun outputnya (nanti) bakal turun lagi”.

Liputan Bersama: Erang Wahyu Sumirat.

Himawan Gerrenove Vippianto

Penulis merupakan Pimpinan Redaksi LPM Keadilan Periode 2022-2023. Sebelumnya penulis juga pernah menjadi Staf Bidang Redaksi LPM Keadilan, tepatnya sebagai Redaktur Online Periode 2020-2021.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *