Sisi Antagonis Amerika Serikat: Sebuah Peringatan dari Noam Chomsky

http://lpmkeadilan.org/wp-content/uploads/2017/12/Ilustrasi-Chomsky-2-1.jpg
Dikenal sebagai Bapak Linguistik Modern, Noam Chomsky juga merupakan seorang profesor bahasa, filsuf, sejarawan dan aktivis yang dihargai di kalangan intelektual dunia. Hari ini, Noam Chomsky dan juga penggemarnya di seluruh dunia akan merayakan ulang tahunnya yang ke-89. Ulang tahun Noam Chomsky juga dirayakan dalam film peraih nominasi Oscar 2017, Captain Fantastic, sebagai pengingat atas kontribusinya dalam dunia intelektual. Selamat hari Noam Chomsky!

Buku               : Who Rules the World?

Penulis            : Noam Chomsky

Genre              : Politik

Penerbit           : Bentang Pustaka

Tahun              : 2016

Tebal              : 398 halaman

Ada banyak sekali peristiwa yang melibatkan hubungan antar negara setiap tahunnya. Mulai dari sekadar hubungan dagang bilateral hingga perang militer bersenjata. Mayoritas peristiwa tersebut hanya akan berakhir sebagai dokumen negara yang disimpan secara rapat, sedangkan sisanya cukup beruntung untuk bisa terekspos dan menjadi pembahasan publik.

Noam Chomsky, dengan segala kecerdikannya, berhasil mengumpulkan ribuan benang-benang kusut yang jarang diketahui publik dan merangkumnya dalam sebuah buku setebal 398 halaman. Buku yang bukan hanya mengangkat peristiwa-peristiwa besar dunia, tetapi juga menguak dalang di baliknya. Noam Chomsky, dengan kemampuan serta nama besarnya, hadir untuk mengingatkan khalayak umum siapa yang paling berpengaruh dan mengontrol dunia sehingga nampak seperti sekarang ini.

Chomsky memulai ceramah aksaranya dengan menjelaskan ironi dari tanggung jawab para intelektualis. Dia menggunakan kasus tuduhan pengkhianatan seorang Perwira Artileri Perancis beragama Yahudi, Alfred Dreyfus sebagai ilustrasi. Tuduhan tersebut menimbulkan pertentangan antara kaum intelektual progresif (Dreyfusards) dengan cendekiawan konform (Anti-Dreyfusards). Pertentangan tersebut mengakibatkan para Dreyfusards harus dikucilkan dari arus utama intelektual pada masa itu.

Kasus ini kemudian dikenang sebagai salah satu tindakan diskriminasi paling terkenal sepanjang sejarah. Terlebih sentimen anti Yahudi masih sangat marak terjadi di Perancis pada akhir abad ke XIX. Sedangkan, pecinta sastra mungkin mengingat kasus ini sebagai saat di mana sastrawan termasyhur, Emile Zola, harus mengasingkan diri dari Perancis akibat esai pembelaan terhadap Alfred Dreyfus-nya dianggap berbahaya bagi pemerintah.

Sejarah membuktikan bahwa arus intelektual progresif harus terkucilkan jika dibandingkan cendekiawan konform setiap kali masa pertentangan terjadi. Hal tersebut kemudian menjadi ironi, mengingat pada masa ini para intelektual progresiflah yang justru tercatat di buku-buku sejarah atas jasa dan perjuangan mereka. Bahkan lebih jauh, Chomsky juga menuliskan bahwa pola yang sama telah terjadi sejak zaman kenabian agama Yahudi dan terus berulang hingga masa ini. Maka jangan heran apabila pembangkang yang kita lihat saat ini, kelak akan mendapatkan tempat sebagai pahlawan di masa mendatang.

Setelah pembukaan yang cukup tenang, buku ini pun dilanjutkan dengan tulisan-tulisan frontal. Intervensi politik hingga ancaman perang nuklir mendapatkan catatan tersendiri. Chomsky tidak bermain aman. Dia menjabarkan beberapa tuduhan—tentu saja dengan bukti kuat—yang menjelaskan keterlibatan Amerika Serikat (AS) sebagai dalang di baliknya.

Salah satu kasus paling menarik adalah penculikan Presiden Haiti terpilih, Jean-Bertrand Aristide, yang dikirim ke Afrika Tengah oleh AS, Perancis, dan Kanada pada 2004. Bahkan lebih jauh, Aristide dan partainya yang menyerukan teologi pembebasan dilarang untuk mengikuti pemilu 2010-2011. Kasus tersebut hanyalah salah satu contoh bagaimana besarnya intervensi yang dilakukan AS untuk menjaga kemapanan mereka dalam suatu negara. Masyarakat Indonesia yang mempelajari sejarah tentu tahu benar akan hal ini.

Seakan belum cukup berkuasa, AS terus melebarkan jaring kekuasaannya hingga ke sisi lain dunia: Timur Tengah dan Afrika. Salah satu yang menjadi catatan dari Chomsky adalah betapa diskriminatifnya perlakuan AS terhadap aksi teror ataupun invasi di Timur Tengah dan Afrika. Pelaku yang merupakan musuh AS akan mendapatkan respons represif, sebaliknya jika pihak sekutu mereka berbuat hal sama justru akan menerima sinyal permisif.

Chomsky memberikan banyak contoh mengenai hal ini. Salah satunya adalah pengeboman Tunisia oleh Militer Israel pada tahun 1985 yang menewaskan 75 orang. Pengeboman tersebut mendapatkan persetujuan dari Perdana Menteri Israel, Shimon Peres. Aksi tersebut merupakan balasan atas aksi teror yang menewaskan tiga warga Israel di Larnaca, Siprus. Cukup tragis mengingat Israel akhirnya mengakui bahwa Tunisia sama sekali tidak terkait aksi teror di Larnaca.

Reaksi AS pun sesuai dugaan. Melalui Menteri Luar Negeri mereka, George Shultz, yang menyatakan bahwa aksi balasan Israel ke Tunisia merupakan ‘respons yang sah’. Selain itu terdapat juga serangan rudal terhadap pabrik obat Al-Shifa di Sudan pada tahun 1998, yang diperintahkan langsung oleh Bill Clinton, Presiden AS masa itu. Mengenai sikap AS itu, Chomsky berpendapat, “Agaknya, mereka dan pembelanya memandang orang Afrika seperti cara kita memandang semut di jalan, lalu menginjaknya begitu saja.”

Berbagai krisis teror dan perang militer memang sudah cukup mengkhawatirkan bagi masa depan bumi, tetapi terdapat dua hal lagi yang menjadi ancaman dunia saat ini: pemanasan global dan serangan nuklir. Bagai monster yang menerkam dalam diam, pemanasan global telah menjadi ancaman bagi kelangsungan dunia. Sedangkan nuklir? Tidak perlu ditanyakan lagi kita semua sudah tahu seberapa bahayanya benda tersebut. Sayang, sekali lagi dunia harus bergantung kepada AS dalam hal ini.

Sambil menunggu Doomsday Clock (jam kiamat)—sebuah proyek yang diusung oleh Bulletin of the Atomic Scientists—berdetak perlahan, ancaman kehancuran bumi semakin mendekat. Pemanasan global merupakan salah satu hal yang dapat mempercepat kehancuran ini. Berdasarkan analisis panjang New York Times, kekuasaan Partai Republik di AS yang menguasai suara mayoritas senat, membuat ratifikasi terhadap perjanjian lingkungan hidup semakin sulit dilakukan. Partai Republik memang punya pamor sebagai penentang kebijakan perubahan iklim ataupun pemanasan global.

Terbukti setahun setelah buku ini dibuat, Donald Trump—Presiden AS yang maju dengan sokongan Partai Republik—menarik keterlibatan negaranya dari Perjanjian Paris. Kesepakatan tersebut mengatur tentang penggunaan emisi karbon. Kealpaan AS dalam kesepakatan ini cukup mengkhawatirkan, mengingat status mereka sebagai negara industri dengan penghasil emisi karbon terbesar kedua di dunia.

Selain pemanasan global, sektor ancaman nuklir juga menjadi ancaman paling nyata. Sejak dulu, ketegangan antara AS dengan Rusia dan Tiongkok selalu menghadirkan kekhawatiran akan memicu terjadinya perang nuklir. Tidak cukup puas dengan Rusia dan Tiongkok, belakangan AS juga melakukan konfrontasi kepada Korea Utara, yang juga diyakini mengembangkan senjata nuklir. Berbagai tindakan inilah menjadi alasan mengapa beberapa kalangan—termasuk Chomsky—meyakini kehancuran dunia kelak akan terjadi akibat ulah manusia sendiri.

Berbagai kisah di atas hanyalah segelintir dari puluhan kasus yang diceritakan Chomsky. Sebuah buku yang bukan hanya menyajikan wawasan baru, tetapi juga menyadarkan pembaca tentang bahayanya dunia tempat kita tinggal saat ini. Lewat tulisannya, Chomsky dengan provokatif mengungkap fakta-fakta yang sering ditutupi oleh pemerintah. Bukan dengan bualan-bualan meragukan, melainkan lewat tulisan yang digali dari berbagai sumber jurnal, buku, dan surat kabar terpercaya.

Walaupun begitu, harus diakui, bahasa yang digunakan dalam buku ini masih terlalu baku sehingga dapat membuat pembaca kelelahan. Terlebih dengan jumlah halaman yang relatif tebal mengakibatkan pembaca harus menyisihkan cukup banyak waktu untuk menamatkan buku ini. Hal yang dapat dimengerti sebenarnya, mengingat buku dengan genre politik memang tidak diciptakan untuk membuat pembaca bersenang-senang.

Berbagai intrik, pertikaian, hingga konspirasi politik yang disajikan dalam buku ini memang dapat dikatakan masih sulit dijangkau oleh masyarakat biasa. Tetapi bukan berarti kita harus berdiam diri menutup mata terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Karena tetap perlu diingat, Chomsky tidak membuat buku ini demi mencari solusi pengubah dunia, melainkan untuk menciptakan intelektual-intelektual progresif yang kritis terhadap situasi sekitar.

Aldhyansah Dodhy Putra

Penulis merupakan Staf Bidang Redaksi, tepatnya sebagai Redaktur LPM Keadilan periode 2019-2020. Sebelumnya penulis juga pernah menjadi Koordinator Redaktur K-Online Periode 2017-2018 dan Pimpinan Redaksi Periode 2018-2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *