Mahasiswa FH UII mengutarakan berbagai masalah fakultas kepada pihak dekanat dalam sebuah forum audiensi terbuka.
Yogyakarta – Keadilan. Puluhan mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) tampak antusias mengikuti dan menyaksikan jalannya forum audiensi terbuka untuk menyampaikan aspirasi dan kritiknya di Taman FH UII pada Kamis, (06/12/2024).
Audiensi terbuka ini digelar untuk menyuarakan keluhan mahasiswa kepada pihak dekanat. Beberapa permasalahan yang menjadi perhatian mereka adalah predator jurnal, perizinan kuliah, pemakaian ruangan, hingga kekerasan seksual.
Terlihat spanduk-spanduk protes yang terpampang seperti “Fasilitas Elit Dipakai Sulit”, “Kampus Kocak”, “IP??? Les Inggris”, “Bahaya Predator Jurnal”, “Kampus Perjuangan Anti Kekerasan Seksual, Situ Ngerasa Cakep?”, “Mahasiswa Sakit Alpa, Dosen Sakit Kabar Kuliah”, “Catur Dharma Mewah Alokasi Payahhh”, dan lainnya.
Salah satu kritik yang disampaikan oleh mahasiswa adalah permasalahan mengenai Satuan Kredit Partisipasi (SKP). Mereka menilai kebijakan ini masih memiliki banyak kelemahan, terutama dalam hal sistem implementasi dan beban SKP yang dirasa memberatkan.
Wakil Dekan: SKP Penting untuk Keseimbangan Peran Mahasiswa
Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan, dan Alumni FH UII, Agus Triyanta, menyampaikan pandangannya tentang orasi yang dilakukan mahasiswa terkait SKP. Menurutnya, aksi tersebut menunjukkan dinamika positif antara mahasiswa dan fakultas.
“Menurut saya, ini hal yang baik. Kampus perlu membuka ruang dialog, termasuk untuk kritik. Mahasiswa adalah subjek pendidikan, bukan objek. Ketika mereka merasa haknya tidak terpenuhi, mereka berhak menyampaikan protes,” ujar Agus.
Agus juga menilai bahwa SKP, sebagai program baru, memiliki tujuan baik dalam membentuk mahasiswa yang aktif. Namun, ia mengakui bahwa aturan ini belum sempurna. “SKP ini masih dalam tahap evaluasi. Saya setuju bahwa mekanismenya perlu diperbaiki agar lebih adil dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa,” tambahnya.
Agus menjelaskan, penerapan SKP untuk angkatan 2023 dan 2024 sesuai prinsip non-retroaktif dalam hukum. “Mahasiswa angkatan sebelumnya tidak diwajibkan mengikuti SKP karena tidak diberitahu sebelumnya. Namun, bagi yang aktif dalam organisasi, tetap bisa mengajukan pengakuan partisipasi secara formal,” jelasnya.
Dilema SKP: Antara Manfaat dan Tantangan
Dilansir dari Chemistry.uii.id SKP merupakan bentuk penghargaan terhadap aktivitas yang diikuti oleh mahasiswa dalam upaya memenuhi capaian pembelajaran yang ditunjukkan dengan angka satuan/besaran yang merupakan jumlah kumulatif dari kegiatan tersebut. Kebijakan ini diberlakukan untuk angkatan 2023 dan 2024 ke atas, dengan syarat minimal 10 SKP untuk dapat mengikuti yudisium. Namun, penerapan kebijakan ini menimbulkan dilema di kalangan mahasiswa.
Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) FH UII, Manfred Abel Alberi, menyampaikan perspektifnya. “Di satu sisi, SKP ini baik karena dapat mendorong mahasiswa untuk lebih aktif. Tapi, langkah yang diberikan untuk mencapai targetnya dirasa masih terlalu kecil,” kata Abel.
Ia juga menekankan perlunya evaluasi yang melibatkan mahasiswa. “Kami pasti akan mengupayakan forum terbuka agar mahasiswa dapat ikut menyuarakan pendapat mereka,” tambahnya.
Sebagian mahasiswa merasa kebijakan ini memberatkan, terutama bagi mereka yang kurang aktif dalam organisasi atau kepanitiaan. Muhammad Siddiqi Garibi, salah satu mahasiswa FH UII, menilai bahwa SKP sebaiknya menjadi pilihan, bukan kewajiban. “Tidak semua orang pandai dalam organisasi. Kalau dipaksa, itu justru tidak sesuai dengan passion mereka,” ujarnya.
Senada dengan Siddiqi, Andra Yunial Tur, mahasiswa lain, menyampaikan keberatannya terhadap jumlah SKP yang diwajibkan. “Kalau bisa, jumlah SKP yang diwajibkan lebih diringankan, misalnya lima atau empat saja, jangan sepuluh. Itu terlalu berat,” katanya.
Tantangan Sistem Verifikasi SKP
Selain jumlah SKP yang dinilai memberatkan, mahasiswa juga mengeluhkan lambatnya proses verifikasi melalui sistem gateway. Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan, dan Alumni FH UII, Agus Triyanta, mengakui adanya kendala teknis tersebut. “Karena ini aturan baru, banyak fakultas masih bingung dengan mekanismenya. Kita merencanakan workshop bulan ini agar sistem verifikasi bisa lebih cepat,” jelasnya.
Agus juga menyampaikan bahwa kebijakan SKP masih dalam tahap pengembangan dan evaluasi. “Ini hal baru, jadi wajar jika ada masukan. Kami akan menyampaikan kritik mahasiswa ke pihak universitas untuk memperbaiki kebijakan ini ke depannya,” tambahnya.
Evaluasi dan Harapan Mahasiswa
Mahasiswa berharap adanya perubahan dalam mekanisme dan jumlah SKP yang diwajibkan. Mereka juga menuntut agar mahasiswa dilibatkan secara aktif dalam setiap evaluasi kebijakan. “Kami akan terus memperjuangkan hak mahasiswa dan memastikan suara mereka didengar dalam forum-forum evaluasi,” kata Abel.
Meski kebijakan ini menuai kritik, tidak sedikit pula mahasiswa yang melihat manfaat SKP dalam mendorong keterlibatan aktif di luar kegiatan akademik.
Liputan bersama: Sri Indah Lestari, Anggita Rachmi Saraswati, Annisa Aura Fibriyanti, Irvan Hariz Amzary, Khrisna Adam Yustisio, dan Fira Septianingrum.