Penetapan Meila Nurul Fajriah sebagai tersangka pencemaran nama baik memperlihatkan lemahnya perlindungan hukum terhadap pendamping korban kekerasan seksual.
Kasus penetapan Meila Nurul Fajriah, seorang advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, sebagai tersangka pencemaran nama baik telah mengguncang rasa keadilan publik. Meila, yang selama ini gigih membela para korban kekerasan seksual, justru menjadi korban kriminalisasi oleh terduga pelaku yang ia dampingi korbannya. Kasus ini bukan hanya tentang Meila, melainkan cerminan dari lemahnya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dan advokat yang mendampingi mereka.
Meila, bersama LBH Yogyakarta, telah mendampingi 30 korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh IM, seorang alumni Universitas Islam Indonesia (UII). UII sendiri telah mengambil tindakan dengan membentuk tim pencari fakta dan menemukan bukti yang cukup untuk mencabut gelar mahasiswa berprestasi IM. Namun, IM tidak terima dan melaporkan Meila ke Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY) atas tuduhan pencemaran nama baik.
Keputusan Polda DIY untuk menetapkan Meila sebagai tersangka adalah langkah mundur dalam upaya perlindungan korban kekerasan seksual. Alih-alih berfokus pada kasus kekerasan seksual itu sendiri, penetapan tersangka pada pendamping korban justru menimbulkan persoalan tentang efektivitas perlindungan hukum korban dan penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik . Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen aparat penegak hukum dalam menegakkan keadilan bagi korban kekerasan seksual.
Kriminalisasi terhadap Meila tidak hanya berdampak pada dirinya secara pribadi, tetapi juga pada seluruh advokat dan pembela Hak Asasi Manusia yang berjuang untuk keadilan. Jika advokat yang membela korban justru dikriminalisasi, siapa lagi yang akan berani bersuara dan membela hak-hak korban?
Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa kekerasan seksual masih menjadi masalah serius di Indonesia. Korban seringkali menghadapi stigma, ancaman, dan kesulitan dalam mencari keadilan. Peran advokat sangat penting dalam mendampingi korban, memberikan perlindungan hukum, dan memastikan akses mereka terhadap keadilan. Oleh karena itu, kriminalisasi terhadap Meila adalah ancaman nyata bagi upaya perlindungan korban kekerasan seksual dan penegakan hukum di Indonesia. Kita tidak bisa membiarkan kasus ini berlalu begitu saja. Kita harus bersuara, mendukung Meila, dan menuntut keadilan bagi para korban kekerasan seksual.
Kasus ini mengungkap kompleksitas penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia, terutama ketika berhadapan dengan laporan pencemaran nama baik dari terduga pelaku. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus lebih serius dalam menangani kasus kekerasan seksual, melindungi korban dan pendampingnya, serta memastikan akses mereka terhadap keadilan.