Categories Resensi

Civil War: Potret Histeria Perang Tanpa Romantisme

Dengan banyaknya konflik yang sedang terjadi di dunia sekarang, Civil War menjadi sebuah perenungan tentang esensi kemanusiaan dan dampak dari kekacauan perang.

Judul               : Civil War

Genre              : Petualangan – Cerita Menegangkan

Durasi             : 1 jam 49 menit

Sutradara       : Alex Garland

Pernahkah Anda membayangkan betapa tidak bersyukurnya kita? sebagian besar dari kita merasakan kehidupan sehari-hari di lingkungan perkotaan, menjalani rutinitas yang mungkin terasa membosankan. Dunia yang kita jalani ini bisa saja menjadi dambaan banyak orang. Di belahan dunia lain, terhampar masyarakat kurang beruntung yang hidup di daerah penuh kekacauan.

Bayangkan bila kehidupan itu tiba-tiba ditukar? Itulah rasanya ketika menonton “Civil War”, film karya Alex Garland yang berlatarkan perang saudara di Amerika Serikat. Dalam film, disajikan gambaran dunia distopia di mana pemerintahan Amerika Serikat dipimpin oleh presiden  otoriter (Nick Offerman).

Keadaan ini mendorong negara-negara bagian di Amerika Serikat untuk membentuk aliansi pemberontak. Terdapat salah satu pilihan kontroversial yang diambil oleh Garland,  yaitu ketika menyatukan Texas dan California untuk bergabung dalam satu aliansi. Bukan rahasia umum dua negara bagian itu memiliki ideologi politik yang sangat berbeda. 

Kontroversi mengenai film pun bermunculan bahkan sebelum dirilis. Juga dengan marketing yang menggambarkan sebagai film dengan unsur politis, menjadikan Civil War bisa jadi salah satu film paling kontroversial sepanjang tahun 2024. 

Bagaimana tidak? Seorang sutradara yang bukan warga Amerika Serikat membuat film dengan unsur politik kuat mengenai penggambaran perang saudara di sana. Plot yang dibawakan sangat relevan dengan terbelahnya masyarakat Amerika Serikat, membuat keadaan di film tersebut sangat mungkin terjadi pada beberapa dekade mendatang. Uniknya, Garland sama sekali tidak mengambil posisi politik. Ia mengatakan dalam wawancaranya bahwa ingin penonton lebih fokus pada cara presiden  ditampilkan. Garland juga memfokuskan mengenai bagaimana orang-orang dari spektrum politik yang berbeda dapat bersatu melawan presiden  fasis. Singkatnya, perbedaan politik kedua negara bagian tersebut dianggap kurang penting daripada ancaman yang dihadapi oleh presiden  otoriter. Inilah Garland, meskipun tidak sefilosofis Ex Machina, ia tetap menyuguhkan visi yang unik, sekarang tentang core of humanity dan pesan anti perang yang kental.

Saat menonton, Anda akan sadar bahwa Civil War sebenarnya adalah film apolitis, tidak seperti yang dipromosikan serta dibayangkan banyak orang. Fenomena demikian cukup sering terjadi di dunia perfilman dan sungguh disayangkan. Cerita yang sebenarnya dibawakan dengan apa yang dipasarkan berbeda 180 derajat. Jika dilihat dari sisi marketing sangat bisa dimaklumi jika Civil War dilabeli sebagai film yang penuh dengan unsur politik. Masyarakat Amerika Serikat sekarang yang sudah terpolarisasi tentunya akan menaruh banyak perhatian. Padahal film ini ingin memberi gambaran  kengerian perang melalui foto jurnalistik, bukan malah berfokus pada inti dari perang saudara serta latarnya.

Cerita dalam film dibawakan oleh Lee (Kirsten Dunst), Joel (Wagner Moura), Jesse (Cailee Spaeny), dan Sammy (Stephen Henderson). Mereka berempat sebagai tokoh utama serta jurnalis yang berkeinginan melakukan wawancara dengan presiden . Para jurnalis ini pergi dari Kota New York menuju Washington DC untuk bertemu presiden. Di samping itu, mereka berpacu dengan waktu karena pasukan pemberontak juga menuju ke Washington DC untuk membunuh presiden. 

Civil War bisa dilihat sebagai film perjalanan mengerikan dalam dunia distopia. Ia membawa penonton menjelajahi jalan-jalan Amerika Serikat pada masa perang saudara yang penuh dengan kekacauan. Lebih daripada itu, pemilihan setiap karakter yang unik membuatnya memiliki daya tarik tersendiri. Di tengah histeria, Garland berhasil memusatkan perhatian penonton pada keempat tokoh dalam film, seolah-olah film ini bukanlah tentang peperangan. 

Jesse merupakan jurnalis foto pemula yang sangat bersemangat dan mengagumi Lee, dalam suatu dialog dia menyebut Lee sebagai salah satu pahlawannya. Mereka seperti halnya murid dan guru selama film berjalan. Hubungan keduanya menjadi sangat nyata ketika memerankan setiap adegan dengan sempurna. Adakala ketika Jesse tidak bisa melakukan tugasnya sebagai jurnalis foto, ia menangis tersedu-sedu saat Lee memarahinya. Sedangkan Lee digambarkan sebagai Jurnalis berpengalaman. Ia sudah melalui banyak konflik dan mungkin terlalu banyak hingga pikirannya dipenuhi dengan berbagai gambaran mengerikan perang yang ia lewati sebelumnya. Joel, jurnalis yang berada di masa kejayaannya. Ia sangat bersemangat untuk meliput kondisi perang. Baginya, meliput perang seperti naik wahana menyeramkan di taman bermain: menakutkan, namun juga memberikan sensasi hidup yang tak terlupakan. Sedangkan Sammy jurnalis yang uzur. Ia sudah melalui banyak hal dalam hidup dan sedang berada di ujung karirnya. Itulah mengapa ia menjadi karakter yang paling bijaksana dari keempat mereka. Dinamika para karakter ini dapat dibilang menggambarkan tahapan dalam profesional: dari betapa semangatnya Jesse yang baru memulai, kesuksesan Joel di puncak karirnya, hingga tantangan mental yang dihadapi Lee dan bijaksana yang dimiliki oleh Sammy di ujung karirnya.

Keempat karakter melalui banyak situasi dan kondisi selama perjalanan menuju Washington DC. Penonton disuguhkan dengan keadaan distopia Amerika Serikat yang meyakinkan. Mulai dari gedung-gedung yang ditinggalkan, kendaraan perang yang ditampilkan hingga adegan peperangan yang bahkan lebih nyata daripada film perang kebanyakan. Hal tersebut membuat menontonnya terasa sangat tidak membosankan. Apalagi saat mendengar suara tembakan yang katanya memang diproduksi serealistis mungkin. Suara itu saya rasa harus selalu diwaspadai, karena jika tidak, bisa membuat penonton terjungkal dari kursi. Tak mengherankan jika Civil War  menjadi film termahal yang diproduksi oleh A24. 

Salah satu adegan yang mencuri perhatian penonton muncul di paru film. Adegan menampilkan Jesse Plemons, aktor kawakan yang terkenal dengan peran ikonik nya sebagai Todd Alquist di Breaking Bad. Ia memerankan karakter berseragam tentara yang dalam film sama sekali tidak dijelaskan. Penonton dibuat seolah-olah berada dalam posisi empat jurnalis yang secara tidak sengaja terlibat konflik dengan Plemons. Karakternya diisyaratkan melakukan pembunuhan massal kepada masyarakat sipil. 

Kepiawaian Garland dalam membangun suspensi dalam film ditunjukan.  Ia berhasil memanfaatkan momen untuk memperkuat suspensi dan mengikat penonton. Meskipun Plemons memainkan karakter kameo, ia tetap mampu menampilkan performa yang sempurna. Karakternya juga kurang lebih menggambarkan betapa gilanya situasi perang, bahwa orang yang lemah tidak bisa berbuat apa-apa karena ketertiban dan hukum sudah tidak ada. 

Daripada sibuk menentukan pandangan politik mana yang ingin dibawa, Civil War justru berpegang teguh pada tema kemanusiaan. Melalui kengerian perang yang digambarkan, film ini konsisten pada posisinya yang netral dan fair. Sebut saja adegan Plemons di atas. Dia menjadi penggambaran kejahatan perang yang bisa diterima oleh semua orang terlepas dari apapun pandangan politik penonton. Pemberontak juga tidak digambarkan sebagai kelompok yang lebih baik dari pemerintah. Ini terlihat dari banyaknya kejahatan perang yang ditampilkan selama perjalanan keempat jurnalis ini. 

Penggambaran peran jurnalis dalam film juga patut disoroti. Peran mereka tidak hanya sebagai saksi, melainkan juga agen dalam menyebarkan informasi kepada publik tentang perang yang terjadi. Jurnalis penting untuk membentuk narasi dan mempengaruhi persepsi publik. “Netralitas” jurnalis jangan disalah artikan sebagai ketidakpedulian, melainkan dedikasi untuk bersikap imparsial serta memastikan semua sisi cerita disampaikan dengan fair. Inilah juga mengapa pada paruh pertama film, Lee mengatakan pada Jesse “once you start asking yourself those questions, you can’t stop. So we don’t ask. We record, so other people ask”.

Meski memang ada beberapa aspek yang membuat film ini terasa hampa, tapi tetap tak membuatnya kehilangan arah.  Pilihan “harus selalu netral” yang digambarkan terkesan dipaksakan dan boleh jadi tidak sesuai dengan kenyataan. Para karakter Jurnalis seolah tidak pernah mempertanyakan segala macam bentuk kejahatan perang yang mereka saksikan. Salah satunya adalah saat adegan pertempuran kecil di area gedung pada paruh pertama. Mereka sama sekali tidak gusar melihat tawanan perang dieksekusi. Akan tetapi, ini bisa juga diartikan sebagai pilihan sengaja untuk fokus pada peran mereka sebagai pengamat netral, mendokumentasikan peristiwa tanpa campur tangan. Akan jauh lebih baik bila Garland mengambil gejolak batin antara moral dan profesionalitas sebagai sesuatu yang patut ditampilkan. Pilihan musiknya pun terasa aneh saat menampilkan bunyi yang ber aura terang alih-alih gusar. Aspek tersebut sangat minor dan tenggelam jika dibandingkan dengan keseluruhan film.

Pada akhirnya film ini sebenarnya tidak dibuat agar kita lebih bersyukur maupun bersimpati atas mereka yang kurang beruntung. Melainkan tamparan keras bagi kita yang seringkali gagal mengambil pelajaran dari konflik yang terjadi. Kita lupa bahwa ada manusia, keluarga, dan impian yang setiap harinya direnggut dengan paksa karena perang.  Civil War menggambarkannya sebagai sebuah kekacauan yang penuh dengan penderitaan dan kehilangan, tanpa menunjukkan sisi romantisme atau kemenangan yang sering dipromosikan dalam narasi perang.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *