Perlunya Tindak Tegas Kampus Terhadap Predator Seksual

Kasus kekerasan seksual oleh alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) ramai menjadi perbincangan di kalangan civitas akademika maupun masyarakat luas. Tepatnya, setelah tersebar broadcast chat Lembaga Dakwah Al-Fath UII berupa himbauan untuk tidak menjadikan alumnus UII berinisal IM sebagai penceramah, pembicara, maupun tokoh kampus. Berbagai pihak terutama mahasiswa yang bergabung dalam aliansi UII Bergerak segera bersuara dengan menerbitkan press release  untuk mendesak rektorat mengambil langkah tegas terkait kasus ini.

Terkait hal ini, pihak kampus segera memberi respon melalui rilis sikap yang dikeluarkan oleh DPM UII. Langkah kampus selanjutnya ditegaskan kembali dalam laman uii.ac.id dengan pencabutan status mahasiswa berprestasi yang disandang IM sejak tahun 2015 lalu. Menurut Syarif Nurhidayat selaku Kepala Bidang Etika dan Hukum UII, saat kasus ini mencuat, kampus menanggapi dengan membentuk Tim Pendampingan Psikologi dan Hukum.

Selain mengeluarkan rilis sikap, beberapa pihak akhirnya juga menyediakan layanan pengaduan bagi penyintas lain. Hal ini ternyata membuka tabir baru bahwa korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh IM sejak statusnya masih mahasiswa jumlahnya mencapai puluhan. Sesuai dengan konferensi pers yang diadakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, korban yang sudah didata hingga 11 April 2020 mencapai 30 orang.

Hal ini tentu menjadi miris ketika kampus yang bernafaskan rahmatanlil’alamin ternyata tidak dapat memberikan perlindungan dari kekerasan seksual bagi siapapun yang ada di dalamnya. Melihat permasalahan tersebut, sudah seharusnya kampus menjadi ruang aman bagi seluruh civitas akademika dengan memiliki regulasi yang tegas terkait penanganan kasus kekerasan seksual. Edukasi yang tepat terkait masalah yang masih tabu untuk dibicarakan ini pun, juga diperlukan untuk selanjutnya menjadi tindakan preventif.

Mari kita semua berharap agar UII sebagai institusi dapat menjadikan kasus ini sebagai bahan evaluasi. Bahwasanya, tindak kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapapun dalam keadaan apapun. Sehingga, perlu peraturan yang tegas dan mengikat serta mendukung segala bentuk upaya untuk menghadirkan lingkungan yang bebas dari predator seksual.

Kirana Nandika Ramaniya

Penulis merupakan Pimpinan Redaksi LPM Keadilan Periode 2019-2020. Sebelumnya penulis juga pernah menjadi Staf Bidang Redaksi LPM Keadilan, tepatnya sebagai Redaktur Online Periode 2018-2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *