Oleh: Rahadian Suwartono (Pemimpin Redaksi Magang)*
Mahasiswa angkatan 2016 Universitas Islam Indonesia (UII) diberlakukan sistem penilaian baru dalam kegiatan pesantrenisasi. Kegiatan wajib bagi mahasiswa yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) tersebut selain dilaksanakan selama 20 hari juga memiliki bobot nilai yang ditekankan pada nilai kehadiran. Menurut DPPAI UII, sistem penilaian baru ini menekankan pada kedisiplinan dan praktik ibadah.
Sistem baru tersebut menekankan bobot 70 persen penilaian untuk kehadiran dan ketertiban peserta dalam mengikuti pesantrenisasi. Bobot 10 persen diberikan kepada subyektivitas pembimbing. Sedangkan bobot nilai untuk pemahaman keislaman hanya sebesar 20 persen dari total bobot nilai keseluruhan. Bobot yang terlalu besar diberikan untuk sekedar kehadiran saja.
Menurut Direktur Utama DPPAI sistem penilaian baru ini masih sekedar uji coba. Sederhananya, masih dilihat apakah sistem nilai baru ini efektif atau tidak untuk mencetak cendekia muslim berakhlak amaliah dan berilmu ilmiah sesuai misi UII. Sehingga, belum diketahui secara pasti kelebihan dan kelemahan sistem nilai baru tersebut.
Meninjau pelaksanaan sistem penilaian baru yang lebih menonjolkan kehadiran, terdapat ketimpangan jauh dengan misi UII. Secara kasar, dengan hanya hadir secara penuh seluruh pelaksanaan pesantrenisasi tanpa diharuskan memahami sedikitpun makna dibalik amaliah tersebut, mahasiswa sudah mengantongi bobot 70 persen nilai untuk dapat dinyatakan lulus pesantrenisasi. Sehingga paham atau tidak, bukanlah perkara selama mahasiswa tetap mengikuti semua rangkaian acara pesantren khas UII tersebut secara penuh.
Kenyataannya, pelaksanaan pesantrenisasi dengan sistem nilai yang baru mendapat tanggapan kritis dari mahasiswa. Bahkan, mahasiswa tersebut berpendapat bahwa sistem nilai ini tidak efektif. Mereka secara sadar menganggap bahwa pesantrenisasi hanya menjadi simbol semata. Singkat kata, sistem ini perlu ditinjau kembali.
Sistem baru yang telah selesai dilaksanakan bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Agama Islam dan Fakultas Teknik Industri UII ini, meskipun masih tahap uji coba, namun terkesan hanya memudahkan perolehan nilai bagi mahasiswa. Jika tujuan utamanya sesuai misi UII, nilai-nilai keislaman seharusnya lebih ditekankan. Perwujudan nilai-nilai keislaman tersebut seharusnya diterapkan dalam persentase bobot penilaian pemahaman.
Sehingga kedepannya, sebelum berlarut, perlu diadakan peninjauan kembali terhadap sistem penilaian semacam ini. Apakah secara filosofisnya sesuai dengan misi luhur UII ataukah hanya sebatas sebagai simbol pemenuhan misi. Sehingga, cetakan cendekiawan muslim dari UII tidak perlu lagi dipertanyakan masyarakat luar karena dalam kurikulumnya telah diterapkan sistem nilai yang berbobot dalam wujud pesantrenisasi.
*Kader magang LPM Keadilan 2015-2016