Categories LPM Keadilan

Gadget, Nongkrong, dan Interaksi Remaja Zaman Now

Oleh: Yolanda Safitri*

Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial, dan fisik (Hurlock, 1992). Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Surya Chandra Surapaty menyebutkan pada 2016 penduduk remaja berusia 10-24 tahun berjumlah 66,3 juta jiwa dari total penduduk sebesar 258,7 juta. Sehingga bisa dikatakan satu di antara empat penduduk adalah remaja. Jumlah generasi milenial yang cukup besar tersebut merupakan potensi yang memerlukan pengelolaan secara terencana, terstruktur, dan sistematis agar dapat bermanfaat menjadi modal pembangunan ke depan.

Era sekarang yang lebih dikenal dengan zaman now ini akulturasi budaya pun terjadi. Mulai dari pakaian, tempat wisata, hingga makanan. Semakin banyak tempat-tempat nongkrong yang bagus walau hanya menjadi tempat berfoto ria dengan teman-teman. Siapa remaja yang tak tahu dan tidak pernah nongkrong, sangat lazim bagi remaja untuk melakukan hal yang juga bisa diartikan sebagai duduk berkumpul ria dan berbincang-bincang bersama teman-teman ini. Seringnya hal ini dilakukan sambil minum kopi juga makan.

Gaya hidup nongkrong di Indonesia sudah ada sejak zaman dahulu hingga sekarang dan mengalami beberapa perubahan seiring berkembangnya zaman. Pada zaman dulu, nongkrong biasanya hanya dilakukan di warung kopi kecil. Kegiatan yang dilakukan juga lebih sederhana seperti hanya untuk berkumpul bersama teman. Namun dewasa ini, kegiatan nongkrong lebih banyak dilakukan di kafe-kafe ataupun di restoran. Masih seperti zaman dahulu kegiatan inti dari nongkrong tersebut adalah untuk bersosialisasi. Faktor-faktor yang menjadi latar belakang kegiatan nongkrong antara lain kecenderungan orang-orang sekarang dalam memanfaatkan kesempatan yang ada untuk berkumpul bersama (social interaction) pada setiap kepentingan dan tujuan yang sama.

Saat ini justru berbeda situasinya, nongkrong memang tetap menjadi cara untuk bertemu dan berinteraksi. Tetapi terkadang kita melihat saat sedang asik-asiknya berkumpul ada saja yang sibuk dengan gadgetnya, seakan terhipnotis dan tidak peka dengan sekitar.

Hasil penelitian terbaru mencatat pengguna internet di Indonesia yang berasal dari kalangan anak-anak dan remaja diprediksi mencapai 30 juta. Penelitian juga mencatat ada kesenjangan digital yang kuat antara anak dan remaja perkotaan dengan yang tinggal di pedesaan. Data tersebut merupakan hasil penelitian berjudul “Keamanan Penggunaan Media Digital pada Anak dan Remaja di Indonesia” yang dilakukan lembaga PBB untuk anak-anak, UNICEF, bersama para mitra, termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Universitas Harvard, Amerika Serikat. Studi ini menelusuri aktivitas daring dari sampel anak dan remaja yang melibatkan 400 responden berusia 10 sampai 19 tahun di seluruh Indonesia dan mewakili wilayah perkotaan dan pedesaan. Sebanyak 98 persen dari anak dan remaja mengaku tahu tentang internet dan 79,5 persen di antaranya adalah pengguna internet.

Menurut statistik lembaga riset pemasaran digital perkiraan e-marketer pada 2018 jumlah pengguna aktif gawai di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Penggunaan gadget saat nongkrong bisa saja menimbulkan hal-hal yang kurang nyaman baik bagi kita sebagai pengguna maupun teman yang sedang nongkrong bersama kita. Di antara hal-hal tersebut adalah perilaku menjadi individualis dan tidak mementingkan orang di sekitar, remaja menjadi lebih apatis. Sehingga remaja saat ini dibilang generasi nunduk, mungkin jika di persentasekan kecenderungan saat ini dalam kegiatan nongkrong itu sendiri, makan 10%, ngobrol 10%, dan gadget ditambah foto  80%.

Pemahaman tentang budaya sehari-hari pun mungkin bisa luntur karena terlalu fokus dengan gadget. Contohnya adalah saat akan masuk rumah, karena sibuk melihat gadget lupa mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Saat berada di jalan yang ramai sibuk berjalan tanpa melihat, hingga menyenggol orang lain tanpa mengucapkan maaf. Interaksi antar orang tua dan anak pun terbatas, karena remaja sibuk dengan gadget di dalam kamarnya dan orang tua juga sibuk dengan gadgetnya masing-masing.

Saat di kampus pun begitu, ketika belajar kelompok atau presentasi lagi-lagi gadget di tanganlah yang digunakan untuk mencari jawaban dari pertanyaan teman, pemikiran sendiri jarang digunakan. Pendapat sendiri tidak dianggap benar, karena semua informasi bisa dicari lewat internet dan kita hanya menelannya mentah-mentah tanpa dipikirkan dan dianalisis ulang, sehingga otak tidak terasah dengan baik. Anak kecil pun sudah terpapar gadget, dahulu di era 90-an bermain di luar menjadi favorit anak-anak, sekarang bermain dengan game di gadget menjadi aktivitas rutin. Sungguh pemandangan yang langka saat ini kita melihat anak-anak kota khususnya bermain di luar. Terlalu banyak waktu terbuang hanya karena gadget.

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi dampak generasi nunduk ini? dikutip dari salah satu artikel psikologi hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak gadget adalah pertama dengan melakukan kegiatan di luar seperti pantai, taman, gunung, dan menikmati keindahan alam negeri ini. Kedua dengan mengajak teman-teman sebaya untuk pergi jalan-jalan, gunakan gadget hanya untuk hal yang perlu saja dan tetaplah bersosialisasi.

Menggunakan gadget sebenarnya sah-sah saja di era milenial ini, karena arus informasi sangat padat dan kita memerlukan informasi tersebut, tetapi harus dibarengi dengan kegiatan-kegiatan yang masih memerlukan interaksi sosial. Dengan bonus demografi banyaknya jumlah remaja di atas seharusnya negeri ini bisa menjadikan mereka sebagai ujung tombak kemajuan bangsa. Begitu juga bagi remaja, mereka harus tahu di mana posisinya dan apa saja yang dapat mereka lakukan untuk kemajuan negeri ini ke depan dengan inovasi-inovasi baru.

  • Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas. Tulisan ini adalah salah satu pemenang 10 besar lomba HUT44Keadilan. Ide dan substansi yang dipaparkan dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *