“Persoalan Demokrasi apakah masih relevan untuk diperjuangkan?” – Tanya Franz Magnis Soesono dalam buku Mendobrak Otoritarian Membangun Demokrasi karangan Bambang Widjojanto.
Yogyakarta-Keadilan. Mengenai pertanyaan di atas Franz menjelaskan bahwa suatu negara tidak dapat dikatakan lebih demokratis jika penegakan hak asasi manusia tidak berjalan. “Kalau semua serba terbelakang, dibungkam, dan menggunakan kekuatan menindas. Jadi apa bedanya negara demokratis dengan negara otoriter kalau begitu. Jadi harus diingatkan terus menerus”. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Franz sebagai cerminan era orde baru kala itu.
15 Maret 2018 lalu merupakan hari di mana revisi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sah secara hukum dan dimasukkan ke lembaran negara, walaupun tidak ditandatangani Presiden Joko Widodo. “Tapi kemudian berlaku pasal 20 ayat (5) UUD 45 itukan 30 hari apabila presiden tidak menandatangani maka otomatis berlaku sebagai undang-undang setelah disahkan,” papar Saifudin yang merupakan dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII).
Berdasarkan asas Lex posterior derogat legi priori di mana hukum terbaru mengesampingkan hukum yang lama. Sehingga UU MD3 hasil revisi menjadi hukum positif dan menjadi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2018 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2018. Perubahan-perubahan yang kontroversial tersebut adalah pasal 15, 84, dan 260 tentang penambahan kursi pimpinan, pasal 73 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) tentang pemanggilan paksa, pasal 122 huruf k tentang contempt of parliament, serta pasal 245 tentang hak imunitas.
Aliansi Gerakan Solidaritas Menolak Revisi UU MD3 yang terdiri lebih dari 79 organisasi di lingkup Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Selasa (20/03/2018) lalu melancarkan aksi. Aksi yang menggunakan konsep long march tersebut dilangsungkan dari pukul 13.00 hingga 18.00 WIB. Aksi dimulai dari Taman Parkir Abu bakar Ali yang kemudian berlanjut ke kantor DPRD DIY hingga puncaknya di Titik Nol Kilometer. Jumlah massa yang turun dalam rangka bentuk penolakan UU MD3 tersebut pun lebih dari 1.000 orang.
Billy Elanda yang merupakan koordinator umum aliansi tersebut menilai bahwa Revisi UU MD3 mencederai demokrasi. “Terutama yang mereka tidak bisa dikritik itu yang merendahkan nama baik dewan itu seperti apa? Artinya kan tidak jelas di sini, bisa jadi kita aksi nanti dinilai itu merendahkan martabat, bisa ditangkap,” tegas Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa FH UII itu.
Aksi yang dikawal polisi tersebut pun mendapatkan respons dari DPRD DIY. Negosiasi serta surat pernyataan yang berisikan tuntutan juga dipersiapkan oleh aliansi atas keresahan peserta aksi. Danang Wahyu Broto yang berasal dari Fraksi Gerindra dan duduk di Komisi D Bidang Kesejahteraan Masyarakat turun untuk berdialog dengan massa aksi. Dengan posisi berdiri di atas mobil pick-up yang dibawa oleh aliansi, Danang memberikan pandangan akan keresahan massa aksi.
“Adek-adek tidak salah datang ke rumah saya ini untuk menunjukkan aspirasi, sudah cukup bagus. Kami mengapresiasi dan mahasiswalah yang pertama kali bergerak dan berjuang,” papar Danang. Dia pun berjanji untuk menyampaikan aspirasi massa aksi dengan mekanisme yang ada. “Jangan hanya bicara aja! Tindakan!” Teriak salah satu massa menyela anggota komisi D tersebut.
Pada panggung yang sama, massa menuntut agar perwakilan DPRD DIY tersebut menandatangani surat pernyataan di atas materai. “Kawan-kawan nota kesepakatan sudah ditandatangani kawan-kawan. Kita minta kepada bapak yang terhormat ini untuk membacakannya kawan-kawan. Hidup mahasiswa!” Ucap M. Yudha Prawira selaku koordinator lapangan aksi.
Surat pernyataan itu berisikan tiga poin tuntutan:
- Saya menolak Undang-undang MD3;
- Saya akan meneruskan aspirasi masyarakat dan mahasiswa di Yogyakarta baik melalui jalur politik (partai politik) maupun jalur struktural;
- Situasi dan kondisi sudah dalam keadaan genting dan saya mendesak presiden RI Bapak Ir. H. Joko Widodo untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Billy juga menegaskan bahwa segala tuntutan sudah tercapai dalam aksi tersebut. Terkait follow up, koordinator umum itu berharap besar seluruh organ pergerakan di Indonesia untuk mengadakan aksi yang serentak. “Sehingga memang tergambar dan tercerminkan bahwa presiden itu tahu Indonesia dalam keadaan kegentingan yang memaksa,” harap dia.
Saifudin memandang aksi unjuk rasa itu sebagai bentuk ekspresi. “Aksi ini tidak lepas bagian dari proses pembentukan undang-undang yang partisipatif”. Dia juga melihat bahwa Perppu dapat dikeluarkan oleh presiden, tapi dalam ukuran kegentingan yang memaksa. “Kalau itu pun terpenuhi, Perppu ini pun akan disampaikan ke DPR. Lah DPR maunya begitu kok. bakal bolak-balik pingpong. Tapi kalau MK (Mahkamah Konstitusi) itu kan memang lembaga yang secara yudisial, kontitusional, itu diberi kewenangan untuk menguji.”
Sementara itu Saifudin mengingatkan bahwa konsekuensi dari negara hukum substansinya menempuh prosedural, sedangkan negeri kekuasaan itu adalah power. “Tapi negara hukum ini dipadukan dengan demokrasi. Maka saya katakan pintu gerbang demokrasi itu di pemilihan umum. Tapi benteng terakhir dari suatu demokrasi itulah lembaga yudikatif.”
Reportase bersama: Arrasyid Nurazmi, Wahyu Prasetyo, Rahadian Diffaul, Aha Azadi, Ariel Fahmi, dan Topik Rahman.
[…] Tulisan ini pertama kali terbit di lpmkeadilan.org […]