Asas Pembungkaman Bagi Ormas

http://lpmkeadilan.org/wp-content/uploads/2017/12/Pembungkaman-Ormas.jpg

Hari Selasa itu, organisasi masyarakat (ormas) di Indonesia secara sah mendapat payung hukum baru. Pada 24 Oktober 2017, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) lewat rapat paripurna mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 menjadi undang-undang. Tiga dari sepuluh fraksi di DPR—PAN, PKS, dan Gerindra—tidak setuju Perppu tersebut disahkan. Sedangkan fraksi Demokrat bersikap netral dengan menyatakan ‘setuju dengan catatan’.

Polemik Perppu Nomor 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas) memang sudah lama terjadi. Terhitung sejak dikeluarkan, berbagai opini pro maupun kontra santer terdengar di masyarakat. Perppu ini dianggap sebagai upaya reaksioner pemerintah terhadap ormas yang membandel. Tak khayal, karena Perppu ini telah memakan korban pertama yaitu pembubaran terhadap Hitzbut Tahrir Indonesia (HTI) pada pertengahan Juli 2017.

Pemerintah menganggap ormas berpaham khilaffah islamiyah tersebut mengancam kedaulatan dan ideologi Pancasila. Poster dan selebaran dakwah HTI dianggap anti pemerintah serta menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Ormas yang tercatat dengan register Nomor AHU-00282.60.10.2014 pada Juli 2014 tersebut akhirnya dicabut status badan hukumnya, beberapa minggu setelah Perppu Ormas diberlakukan.

Menolak untuk pasrah, massa HTI menghimpun argumen menolak pembubaran mereka. Beragam opini khalayak diarahkan layaknya umpan-umpan bola antara keputusan pemerintah dan teriakan massa HTI. Teriakan paling nyaring dan sering disalak oleh masyarakat adalah isu mengenai upaya pemerintah menghalangi demokrasi dan kebebasan berserikat. Bahkan di kerumunan akar rumput, mulai muncul bisik-bisik bahwa pemerintah bertindak otoriter.

Kebebasan Berpikir adalah Hak Asasi

Kebebasan berserikat merupakan salah satu hak asasi yang diakui konstitusi di Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) memberikan jaminan perlindungan bagi warga negara untuk bebas berkumpul, berserikat, dan mengemukakan pendapat. Kebebasan ini sesuai dengan instrumen International Covenant on Civil and Political Rights.

Ketika berserikat, berkumpul, maupun berorganisasi, setiap orang bebas menentukan pandangan dan gagasannya. Pandangan tersebut diolah di dalam pikiran tiap individu kemudian diekspresikan dalam wujud pendapat. Kebebasan berpikir ini merupakan suatu hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia dalam suatu kesempatan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia menyampaikan bahwa kebebasan berpikir merupakan kebebasan mutlak setiap manusia. Setiap manusia bebas mengolah pikiran mereka karena zonasi alam berpikir adalah mutlak milik tiap individu. Hak tersebut tidak dapat dibatasi.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Duham) memberikan dasar jelas tentang kebebasan berpikir atau freedom of thought. Asas tersebut diatur dalam artikel 18 Duham. Konsepsi kebebasan berpikir kemudian diakui dalam instrumen hukum nasional yakni Pasal 28 UUD NRI 1945.

Freedom of thought yang tidak dapat dibatasi kemudian diwujudkan dalam freedom of opinion and expression atau kebebasan berpendapat. Berbeda dengan freedom of thought, kebebasan ini dapat dibatasi oleh negara menggunakan alasan ketertiban umum. Untuk tiap ormas, pembatasan kebebasan berpendapat itu diatur dalam Perppu Ormas yaitu selama tidak bertentangan dengan Pancasila.

Belenggu dan Taktik Ancaman Bagi Anggota Ormas

Tepat sehari sebelum Perppu Ormas disahkan, penulis berkesempatan berbincang secara langsung dengan fraksi PKS. Diwakili oleh Agus Purnomo—anggota DPR periode 2009-2014—fraksi PKS menyatakan diri tetap tegas menolak Perppu tersebut karena akan mengancam kebebasan berpendapat. Pembatasan terhadap ormas dianggap sebagai pembelengguan demokrasi. Sikap itu tetap terwujud hingga keesokan harinya, PKS menjadi salah satu fraksi yang menolak pengesahan undang-undang tentang ormas tersebut.

Alasan tersebut bukan tidak berdasar. Permasalahan bukan pada substansial larangan yang diberikan kepada ormas. Perppu tersebut mengatur mengenai pelarangan atribut partai politik, perusakan, tindakan sewenang-wenang, dan penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila. Hal tersebut bukanlah titik berat mengapa Perppu yang disahkan menjadi undang-undang ini menuai kritik keras. Permasalahannya adalah terkait penegakan hukum formalnya.

Pada tanggal 25 Juli 2017 lalu, Ketua Komnas HAM, Nur Kholis, menyatakan bahwa Perppu Nomor 2 Tahun 2017 dapat mengancam hak asasi manusia, khususnya kebebasan berserikat. Dikutip dari Kompas.com, Nur Kholis mengkritik tindakan pemerintah yang semena-mena karena dapat membubarkan ormas tanpa melalui mekanisme pengadilan. Sehingga, pembubaran terhadap ormas akan mengarah pada tindakan otoriter.

Pasal 60 ayat (2) dalam Perppu Ormas yang disahkan menjadi undang-undang akhir Oktober tersebut mengatur pemberian sanksi pidana di luar mekanisme putusan pengadilan. Lebih mengerikan, Pasal 82A memberikan ketentuan bahwa setiap orang yang menjadi anggota ormas, baik langsung atau tidak langsung, dapat dipidana penjara enam bulan hingga 20 tahun. Sehingga setiap anggota tidak langsung yang hanya menyalurkan freedom of thought tanpa berbuat apapun dapat diancam pidana 20 tahun. Ancaman tersebut merupakan hukuman terberat kedua yang dikenal di Indonesia di bawah pidana seumur hidup.

Pembungkaman Terhadap Praduga Tidak Bersalah

Hukum pidana di seluruh dunia mengenal adanya asas praduga tidak bersalah. Asas ini menyatakan bahwa setiap orang wajib dianggap tidak bersalah hingga ada putusan pengadilan. Asas ini juga dikenal dalam artikel 11 Duham.

Di Indonesia, asas praduga tidak bersalah diakui dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c. Namun pemerintah secara sadar melanggar dan menafikan asas tersebut dengan alasan asas contrarius actus.

Contrarius actus merupakan asas yang dikenal dalam hukum administrasi negara. Asas contrarius actus dapat diartikan sebagai suatu kewenangan pemerintah selaku pembuat keputusan untuk mencabut keputusan yang dibuatnya secara satu dimensi. Namun kaidah hukum administrasi tersebut diimbuhi dengan ketentuan pidana. Hal tersebut lazim dikenal dengan hukum pidana administrasi.

Contrarius actus yang diterapkan dalam Perppu Ormas––telah disahkan menjadi undang-undang—tersebut telah membungkam asas praduga tidak bersalah. Ormas dapat dinyatakan bersalah tanpa mekanisme peradilan. Sontak, apakah seorang anggota tidak langsung dalam ormas yang dicap bersalah bisa dikatakan bersalah oleh pemerintah?

Asas Pembungkaman dalam Hukum Versi Pemerintah

Moh. Mahfud M.D. dalam kolom opini Kompas edisi 11 November 2017 mengulas secara gamblang bagaimana pertentangan contrarius actus dan asas praduga tidak bersalah dalam Perppu tersebut. Asas contrarius actus tidak dapat dicampuradukkan dalam bidang pidana. Bahkan Mahfud memberikan permisalan apakah pemerintah berhak mencabut izin menikah—akta nikah—milik pasangan suami istri secara sepihak sesukanya.

Perppu yang merupakan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan secara extraordinary telah disalah tafsirkan untuk kepentingan praktis pemerintah. Penerapan asas contrarius actus dijadikan alasan pembenar tindakan pemerintah membubarkan HTI. Sekarang, siapa lagi yang akan menjadi korban selanjutnya?

Contrarius actus tafsiran pemerintah merupakan asas pembungkaman. Unsur hukuman pidana pada tiap individu anggota ormas telah menjadi ancaman agar tidak bertindak macam-macam. Menggunakan naungan konsep pembatasan freedom of opinion and expression, serta gertakan contrarius actus, pemerintah telah memberikan sinyal merah terhadap kemerdekaan berpendapat.

Seakan tiap ormas yang tidak disukai pemerintah, dengan alasan hukum positif, dapat dicabut status badan hukumnya, dibubarkan, bahkan dipidana tanpa mekanisme peradilan. Jika pemerintah menafsirkan semacam itu, ditakutkan akan lahir rezim yang otoriter. Jika semakin dilanjutkan lagi, maka niscaya kebebasan berpikir di Indonesia pun akan turut dicederai. Maka sekali lagi, hak asasi manusia di Indonesia akan kembali tercoreng seperti yang tercatat sejarah kelam republik kita tercinta ini.

Rahadian Suwartono

Penulis merupakan Pemimpin Umum LPM Keadilan periode 2018-2019. Sebelumnya penulis juga pernah menjadi Staf Bidang Redaksi, tepatnya sebagai Koordinator Redaktur Keadilan Post Periode 2017-2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *