Empat Babak Mencari Keadilan

http://lpmkeadilan.org/wp-content/uploads/2017/11/Marlina-Poster-Fix.jpg

Film                 : Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak

Sutradara         : Mouly Surya

Genre              : Satay Western

Durasi              : 93 menit

“Matahari telah meninggi dan sabana yang membentang sejauh mata memandang itu telah bermandikan cahaya. Sepanjang jalan yang membelah sabana, dengan tenang menunggang kuda sembari membawa parang di punggungnya, Marlina menenteng kepala Markus yang terayun mengikuti irama jalannya kuda, dia menuju kantor polisi.”

Oleh: Muhammad Ariel Fahmi

Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak adalah hikayat perjalanan janda yang tinggal seorang diri dalam sebuah rumah, jauh di atas perbukitan Sumba Timur. Marlina ditinggal mati oleh suaminya yang telah menjadi mumi berbalut kain di tengah rumah, dan anaknya—Topan—dikubur tepat di halaman depan. Mengetahui hal itu, Markus—yang diperankan Egi Fedly—memilih Marlina menjadi target perampokannya.

Saat matahari mulai tergelincir, datanglah seorang perampok bernama Markus dengan motor trailnya menghampiri kediaman Marlina. Tanpa emosi yang meledak, Marlina—diperankan oleh Marsha Timothy—dengan tenang membiarkan Markus masuk ke dalam rumahnya sambil membawa parang. Tak seperti lazimnya perampokan, perbuatannya hanya dilakukan dengan ancaman verbal tanpa nada membentak. Markus mengatakan bahwa nanti malam dia bersama tujuh orang temannya akan membawa seluruh ternak dan uang yang dimiliki Marlina, bila sempat mereka juga ‘menidurinya’.

Langit Sumba telah membiru, terdengar dari dalam rumah suara kendaraan besar roda empat berhenti. Kawanan perampok Markus keluar dari pintu truk dengan membawa parang. Markus yang sejak siang telah tiba lebih dulu memerintahkan Marlina membuatkan makan malam untuk mereka.

Melalui makan malam itulah Marlina menemukan cara untuk membela diri, yaitu dengan meracuni mereka. Namun sayang, Markus yang ketika itu sedang tidur di dalam kamar Marlina tak ikut bersantap malam. Marlina pun masuk ke dalam kamarnya dengan membawa baki, membangunkan markus dan menawarkan santap malam. Markus bangun dan menolak tawaran tersebut, lalu ia memperkosa Marlina. Namun tanpa disadari oleh Markus, Marlina dengan sigap mencabut parang yang tergeletak di atas meja, lalu menebas leher pria tua tersebut hingga terlepas dari bahunya. Dimulailah empat babak Marlina mencari keadilan.

Plot dalam film ini di bagi menjadi empat babak yang mengisahkan secara detail dan runtun tentang perjalanan polemik kehidupan Marlina dalam satu hari satu malam. Babak pertama berjudul: Perampokan Setengah Jam Lagi; Kedua, Perjalanan Juang Wanita; Ketiga, Pengakuan Dosa; dan terakhir berjudul Tangisan Bayi.

Film ini secara utuh menceritakan perjuangan seorang wanita melawan kesemena-menaan gerombolan laki-laki yang menyerangnya. Tak hanya itu, Marlina juga menunjukkan sisi lain dari penegakan hukum yang lemah di daerah terpencil, di mana para penjahat dengan enteng membunuh dan mengancam orang lain. Melalui sosok Marlina penonton digugah dengan mengangkat sisi terdalam dari seorang wanita yang mampu berbuat lebih saat memperjuangkan kehormatan dan harga dirinya.

Masih ada stereotip di masyarakat saat ini yang beranggapan bahwa seorang wanita adalah golongan lemah, dan selalu menjadi objek tindas kaum laki-laki. Film ini menampilkan alternatif perspektif dari pandangan umum, bahwa wanita tak dapat dipandang lemah. Di balik tampilan seorang wanita, ada hal-hal besar dapat mereka lakukan, bahkan seorang yang terlihat kuat bisa menjadi tak berdaya.

Film garapan Mouly Surya ini menyajikan cerita yang padat, dengan dialog dan drama tak berlebih. Karakter emosional tiap tokoh, ditambah keindahan alam Sumba Timur, serta instrumen musik latar buatan Zeke Khaseli dan Yudhi Arfani (music score) yang apik, menjadikan film ini bernuansa Western ala koboi. Sedangkan dari segi visual, Yunus Pasolang (cinematographer) menyuguhkan gambar sederhana dengan angle lebar di sebagian besar scene. Melalui penggambaran itu, dia menampakkan keadaan lingkungan, alam, akses jalan, dan transportasi umum yang utuh di Sumba Timur. “Bukan kamera bergerak, tapi objek yang bergerak gitu”, ujar Yunus pada Cinesurya.

Mouly dalam wawancara bersama beritagar.id mengatakan, bahwa pengambilan nama Marlina terinspirasi dari seorang guru di Sumba yang viral karena videonya berdisko di ruang guru. Saat itu, guru tersebut dengan keras membela diri, bahwa dia tak melakukan kesalahan hanya karena menikmati musik di luar jam pelajaran. Hal itulah yang menginspirasi Mouly untuk mengambil nama Marlina.

Selain itu Didin Syamsudin (make up artis) dan Meutia Pudjowarsito (wardrobe), melakukan riset dengan melihat secara langsung ciri khas fisik dan kebudayaan warga setempat. Hal tersebut mendukung tata rias dan kostum yang memunculkan identitas otentik tiap tokoh. Sehingga penguatan karakter tokoh film Marlina tak hanya dilihat dari kemampuan peran para aktor saja.

Tak hanya itu, melihat film ini minim dialog, Khikmawan Santoso (sound designer & crossfade studio), Yusuf Patawari (field sound mixer), serta Yudhi Arfani dan Zeke Khaseli, menyisipkan sound effect dalam setiap aktifitas. Penambahan efek suara tersebut—baik tokoh maupun keadaan sekitar—menghidupkan atmosfir film agar tampak lebih realistik.

Di tengah menggeliatnya film bernuansa percintaan dan horor di Indonesia, Marlina hadir dengan genre baru Satay Western yang berbeda dan segar dari beberapa karya Mouly Surya lainnya. Menurut sutradara kelahiran 1980 itu, Marlina telah menjadi perintis aliran baru film koboi di Indonesia. Sedangkan penamaan Satay Western sendiri diambil dari makanan khas Indonesia yaitu sate. “Film koboikan berasal dari Amerika. Nah, saat orang Italia membuat film koboi, genre film itu disebut spaghetti western, sesuai dengan makanan paling terkenal,” jelasnya dalam jpnn.com.

Sebelum tayang di dalam negeri, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak telah masuk beberapa festival film internasional, yaitu antara lain Cannes, New Zealand Internasional Film Festival (IFF), dan Melbourne IFF, serta Toronto IFF 2017. Tidak hanya itu, Marlina juga berhasil meraih penghargaan Tokyo Filmex International Film Festival., seperti yang dilansir oleh Tirto.id. Dikutip dari Kompas.com, Marsha Timothy—sebagai Marlina— juga menyabet penghargaan Aktris Terbaik di ajang Sitges International Fantastic Film Festival yang diselenggarakan di Catalonia, Spanyol, pada September-Oktober 2017.

Selain keberhasilan melahirkan genre baru dan pencapaian menembus beberapa festival film internasional, kurang lengkap bila tak membahas Marlina lebih jauh. Hal pertama yang dapat dibedah adalah dialog dalam film ini. Bila dicermati, ada beberapa bagian percakapan tak terdengar jelas dan terlalu cepat pengucapannya, berakibat pada ide yang tak utuh diterima oleh penonton. Selain artikulasi tidak jelas, para pemeran juga kurang dalam menunjukkan aksen bicara ala Sumba yang dapat menjadi unsur penguat karakter lokal. Tak hanya itu, pada segi cerita dapat dilihat bahwa konflik yang di bawa terbilang sedikit datar. Pergolakan justru terlihat pada tokoh Novi si wanita hamil, kehadirannya mampu menjadi penawar dari karakter Marlina yang pendiam dan tertutup.

Pada awal film, tak ada penjelasan tentang pengenalan dari masing-masing tokoh. Hal tersebut berdampak pada kebingungan penonton yang cenderung menerka-nerka sendiri. Penjelasan tokoh baru tersaji pada pertengahan film. Penyensoran scene yang tak halus menambah kekurangan dalam film ini. Bagian tersebut terdapat awal film, ketika adegan Markus mulai menyetubuhi paksa Marlina yang sangat nampak dipotong—hal tersebut membuat konsentrasi penonton terganggu.

Walau berlatar geografis Sumba yang memukau, film ini kurang mengeksplor corak kebudayaan lokal, padahal sisi tersebut dapat menjadi warna tersendiri. Simbol-simbol lokal digambarkan hanya pada keindahan geografis, akses jalan, transformasi yang minim, dan sedikitnya penduduk. Jika dapat menggali lebih dalam akan menambah kepadatan film pada kultur khas Sumba Timur.

Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, secara garis besar menyajikan hal baru dalam perfilman Indonesia, dengan membagi garis besar cerita ke empat sub-judul. Film ini juga menyisipkan gimik-gimik khas Sumba yang mampu mengundang tawa dan perhatian penonton. Walau begitu, Marlina tak dapat dinikmati oleh seluruh kalangan usia. Sebagian film mengarah pada adegan dewasa dan kekerasan—apalagi secara jelas Marlina menenteng kepala manusia, maka tak dianjurkan bagi penonton usia di bawah 17 tahun.

Muhammad Ariel Fahmi

Penulis pernah menjabat sebagai Pimpinan Bidang Penelitian dan Pengembangan Periode 2016-2017 serta Staf bidang Penelitian dan Pengambangan LPM Keadilan Periode 2017-2018. Saat ini penulis telah menyelesaikan masa bakti dari LPM Keadilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *