Categories Opini

Menanti Boyongan Fakultas Hukum

Setelah penantian panjang, akhirnya gedung baru Fakultas Hukum mulai dibangun. Berbagai harapan pun melambung menyambut realisasi pembangunan yang dinanti-nanti tersebut.

Pagi itu, Jumat (26/01/2018), ekskavator mulai mengeruk tanah kampus di lereng Merapi. Setelah penantian panjang, Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (BW UII) resmi memulai proyek pembangunan gedung baru Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII). Secara resmi FH jadi boyong.

Sebenarnya, isu pindahnya kampus FH bukan menjadi barang baru lagi. Beberapa kali isu tersebut timbul tenggelam di tengah percakapan civitas akademika kampus di Jalan Taman Siswa ini. Menjadi hantu bahkan kabar burung di tengah-tengah mahasiswa.

Kerukan ekskavator tersebut akhirnya menjadi angin segar penantian yang panjang. Para hadirin di bawah tenda beralas tanah pun menjadi saksinya. Sambut-sambutan panjang disampaikan. Lengkaplah acara seremonial pagi itu.

Gedung Muhammad Yamin

Sebagai salah satu program studi tertua, FH telah mengalami perjalanan panjang. Beberapa kali, sejak pertama hijrah ke Yogyakarta pada 8 Juli 1945, FH UII mengalami dinamika nomaden. Pernah menempati Masjid Syuhada, hingga mengungsi ke kampus terpadu di Jalan Kaliurang ketika bencana gempa 2006. Hingga akhirnya akan resmi ‘pulang’ bersama fakultas lain di Kampus Terpadu.

Setidaknya sejak tahun 1974, FH telah menempati Jalan Taman Siswa. Beberapa kali mengalami renovasi, bangunan kampus berdiri gagah meski penuh sesak. Permasalahan lahan yang terbatas untuk kegiatan belajar hingga problematika parkir kendaraan turut mewarnai perjalanannya.

Jika dibandingkan kampus-kampus fakultas lain, FH memang bisa dibilang tertinggal infrastrukturnya. Semisal, untuk fasilitas portal parkir, absensi sidik jari, maupun koleksi perpustakaan. Alasan utamanya adalah keterbatasan lahan.

Keluh kesah mahasiswa yang mengidamkan ruangan untuk unit kegiatannya pun turut disuarakan. Ruang terbuka bagi mahasiswa untuk sekadar duduk atau berdiskusi pun senantiasa diidamkan. Tak memungkinkan untuk menambah lahan di kota, ‘pulang’ adalah solusi tunggal yang tersisa.

Terpisah Jauh

 Pada penutupan PESTA—ospek yang diadakan lingkup universitas di UII—tahun 2015, seorang perwakilan dari lembaga mahasiswa FH memberikan orasi singkat. Ketika itu ia mengatakan bahwa mereka jauh-jauh dari kota untuk ‘naik’ menyambut para mahasiswa baru FH. Kata ‘naik’ digunakan pada kalimat-kalimatnya. Seakan menggambarkan situasi bahwa butuh perjuangan dari FH untuk sampai ke komplek Kampus Terpadu di Jalan Kaliurang. Sebagai catatan, saat itu malam hari.

Komunikasi mahasiswa FH dengan fakultas lain juga terhambat. Dapat dilihat bahwa minim sekali interaksi antar mahasiswa tersebut jika tidak dalam forum kepanitiaan atau lembaga. Hambatan relasi ini pada akhirnya menjurus pada permasalahan yang lebih serius. Semisal bagaimana sulitnya mencari relasi lintas disiplin ilmu ketika menyusun karya ilmiah Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM). Akhirnya, masalah tersebut akan berdampak pada banyaknya proposal yang dikirim. Padahal proposal PKM adalah salah satu indikator akreditasi perguruan tinggi.

Kampus Taman Siswa

Pada kelas-kelas kuliah, dosen menjelaskan tentang suatu paradigma baru dalam ilmu hukum. Paradigma tersebut bernama mahzab hukum profetik. Mengadopsi dari asal kata prophet, paradigma ini diklaim orisinal dari pemikiran civitas FH UII. Rasa bangga muncul dan sepatutnya seperti itu. Hingga rasa bangga itu diwujudkan dalam nama alias paradigma hukum tersebut: mahzab Taman Siswa.

Tidak jelas siapa yang memulai penamaan mahzab Taman Siswa. Busjro Muqoddas, dalam setiap kelasnya, selalu ‘menuduh’ nama tersebut dicetuskan Jawahir Thontowi, salah satu guru besar FH UII. Nampaknya, Jawahir, atau siapa pun dia yang mencetuskan nama tersebut, menaruh kebanggaan dan rasa hormat untuk FH UII. Sedangkan rasa hormat tersebut diwujudkan dengan meminjam lokasi geografis kampus ibunya hukum profetik.

Identitas FH telah melekat pada lokasi Jalan Taman Siswa. Bukan hanya di kalangan para dosen, namun juga mahasiswa hingga warga sekitar. Kita akan menjumpai mahasiswa FH menjunjung kebanggan akan lokasinya di Jalan Taman Siswa. Misalnya Unit Kegiatan Mahasiswa Musik yang memilih TM 158 untuk nama band mereka. TM sendiri konon inisial untuk Taman Siswa. Selain itu juga dapat dicermati kaos-kaos besutan mahasiswa diwarnai kata “Taman Siswa”, “TM”, atau “Tamsis”, yang merepresentasikan lokasi kampus di Jalan Taman Siswa.

Warga sekitar memiliki wujud kebanggaan tersendiri. Kebanggaan itu diwujudkan dengan membuka usaha rumah kos, warung makan, tempat cuci pakaian, hingga sekadar angkringan di malam hari untuk menjamu mahasiswa doyan melek. Dengan kata lain, perekonomian di Jalan Taman Siswa salah satunya dihidupkan oleh keberadaan kampus FH di sana.

Rasa kebanggaan itu telah mendarah daging. Seakan lokasi di Jalan Taman Siswa menjadi identitas tersediri FH UII. Identitas adalah hal krusial bagi sebuah institusi pendidikan. Maka, mari berharap identitas-identitas itu tidak hilang sejalan dengan hijrahnya FH ke Jalan Kaliurang.

Pilar-Pilar Megah

Gedung yang akan dibangun tersebut digadang memiliki empat lantai, dengan lima pilar raksasa pada tampak mukanya. Gagah dan lebih modern dari kampus FH yang sekarang. Bahkan beberapa pihak sering membandingkan pilar-pilar tersebut dengan milik Mahkamah Konstitusi.

Dikutip dari uii.ac.id Revianto Budi Santosa, selaku perencana pembangunan gedung FH, menjelaskan bahwa filosofi bangunan juga memandang bahwa kampus hanya sekumpulan ruang kuliah, tetapi di sana juga akan membentuk kepribadian bersama-sama.

Ketua Umum Pengurus BW UII, Luthfi Hasan, pada acara groundbreaking pembangunan gedung FH menerangkan bahwa ke depannya seluruh gedung perkuliahan akan dipusatkan di Kampus Terpadu. Menurutnya kedekatan secara fisik akan menghemat segalanya. Ia juga menjelaskan bahwa pembangunan gedung FH memiliki perjalanan panjang. Mulai dari urusan tanah, desain gedung, perencanaan, sampai tahap pelaksanaan.

Memang akan menyenangkan jika memiliki tempat belajar yang mentereng. Pasti rasa bangga akan menyelimuti civitas FH ketika menempati kampus seperti itu. Terlebih di era promoting dan branding seperti saat ini sebuah wajah iconic sangat diperlukan.

Namun, perlu diingat bagaimana tradisi yang berkembang pada civitas FH. Jargon “with long tradition of freedom” telah membawa FH, khususnya lembaga mahasiswa, untuk berpenampilan sederhana. Kesederhanaan tersebut menggambarkan kebebasan. Tapi mungkin juga, kesederhanaan tersebut karena ‘dipaksa’ kondisi kampus yang serba terbatas.

Berbagai permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan pindah. Bangunan baru kampus FH diharapkan dapat menyelesaikan segala keluh kesah tanpa menghilangkan esensi budaya yang telah ada. Kedepannya, setiap pihak harus mendukung rencana ‘pulang’ FH. Menantikan ‘FH yang baru’, diharapkan para pengambil kebijakan mempertimbangkan segala aspek dalam rencana ‘pulang’ tersebut. Hal itu demi terpenuhinya segala harapan yang menyertai kerukan tanah ekskavator sejak Jum’at pagi yang lalu.

1 comment

Pembaca says:

Temanya aktual sayang perpektif yg digunakan kurang mendalam scr data. Jika narasi yg digelar lebih luas tentunya akan menjadi wacana menarik nan segar. Misal: bagaimana pembacaan dari perspektif hukum / ekonomi? Berapa biaya yg digunakan? Siapa penggarap proyek? Bagaimana mekanisme lelangnya? Bagaimana prosedur pembangunannya? Perspektif Analisis resiko?

Mungkin bisa (atau sudah) direncanakan tulisan2 susulan yg mengkupasnya lebih dalam dan tentunya menguak fakta2 yg ada. Pers diberikan ruang utk mendapatkan kebenaran. Kalau pers ma emoh mengambil peran itu, siapkah kalian bertanggungjawab di akhirat akan tanggungan perihnya kebodohan dan dibodohi org banyak?

Agak melebar, Sebagai mahasiswa, fakta biaya catur darma yg kulihat semakin naik dari tahun pertahun ini harus betul2 diawasi. Jika dibiarkan tanpa pertanggungjawaban sudah siapkah jika anak2 kita tak bisa kuliah karena biaya pendidikan yg semakin mahal?

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *