“Sementara masih menjabat sebagai mahasiswa, Anda tidak boleh hanya berpikir sebagai mahasiswa jika Anda berniat segera menjadi manusia dewasa.” – Danang Girindrawardana (Maximum of U)
Oleh : Qurratu Uyun Ramadani*
Pendidikan menjadi aspek penting bagi suatu negara dalam menggerakkan peradabannya. Maka tidak heran jika Indonesia mengalokasikan dana pendidikan mencapai 419,2 triliun rupiah atau 20% dari total belanja negara 2095,7 triliun rupiah. Tentu tidak bisa dikatakan mahal jika hasilnya sesuai harapan, yaitu angka pengangguran terdidik Indonesia semakin jauh berkurang.
Para fresh graduate maupun yang masih berstatus mahasiswa diharapkan mampu membuka lapangan kerja, bukan hanya menambah antrian panjang pencari kerja. Namun faktanya, saat ini masih sangat sedikit mahasiswa yang memiliki ambisi untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan. Mayoritasnya malah alergi dengan kata ambisi yang dipersepsikan sebagai obsesi berlebihan. Padahal ambisi berbeda dengan obsesi, karena definisi ambisi menurut The Webster’s Dictionary adalah keinginan kuat untuk memperoleh kesuksesan dan mencapai hal-hal besar dalam hidup. Sedangkan obsesi adalah pikiran, ide, bayangan, atau emosi tidak terkendali, sering datang tanpa dikehendaki atau mendesak masuk dalam pikiran seseorang yang mengakibatkan rasa tertekan dan cemas. Maka tidak heran, di dunia kampus akan terlihat mahasiswa yang belajar dengan keras, terlena, bahkan terkesan tidak peduli. Hasilnya, tingkat pengangguran terbuka (angkatan kerja yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan) lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik pada Februari 2016 meningkat dari 5,34% menjadi 6,22%. Pertanyaanya, bagaimana bisa?
Kehadiran kampus yang semula berfungsi sebagai laboratorium mahasiswa untuk mempraktikan berbagai macam ilmu, telah bergeser fungsi menjadi tempat formal belajar dan saling berkompetisi nilai. Kampus juga layaknya perusahaan swasta yang berjuang demi memenangkan persaingan, bukan untuk menghasilkan lulusan dengan kemampuan untuk berkontribusi dalam kehidupan masyarakat luas. Meskipun begitu, tidak berarti mahasiswa harus mengikuti arus dan terus menyalahkan keadaan. Karena bukan sepenuhnya tanggung jawab kampus untuk membentuk mahasiswa menjadi manusia dewasa. Tanggung jawab sejatinya ada dalam diri setiap mahasiswa, apakah mau tetap merangkak, berdiri, atau mulai berlari mengejar ketertinggalan. Bukankah memalukan, saat melempar toga nanti yang tersirat dipikiran hanya pertanyaan, “setelah ini apa?”.
Untuk itu, sangatlah penting bagi mahasiswa mulai menggali hasrat belajar dengan tidak hanya terfokus pada ruang belajar, melainkan juga melihat berbagai peluang dan kesempatan. Mahasiswa juga harus belajar mengamalkan ilmu yang didapat hingga ilmu itu mampu mengubah karakternya. Namun, kebanyakan mahasiswa lebih sering bermain-main, hingga daya berpikir kreatif untuk melihat peluang seringkali buram. Akibatnya fresh graduate terpental dari persaingan.
Adanya persaingan dalam pasar bebas yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan membuat kompetisi dalam lapangan kerja semakin meningkat, jika fresh graduate hanya mengandalkan nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) saja tanpa skill leadership yang mumpuni. Persaingan tersebut hanya akan menimbulkan pertambahan jumlah pengangguran di Indonesia karena kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Maka, sudah saatnya mahasiswa mengambil langkah nyata berjuang keras dalam studinya dan berpikir untuk membuka lapangan kerja. Lantas, bagaimana caranya?
Meski tugas utama mahasiswa adalah belajar dengan semangat idealismenya, tetapi realita di luar kampus sangatlah berbeda. Mahasiswa harus berusaha mengasah kecerdasan berkomunikasi, kejelian melihat kesempatan, dan mencoba berpikir menjadi seorang wirausaha, disamping fokus pada studinya. Kenapa wirausaha? Karena untuk menggapai kesuksesan, ijazah bukanlah jaminan, hanya salah satu kunci membuka gerbangnya saja. Masalahnya ratusan ribu orang membawa kunci serupa, dan untuk mengantisipasi kericuhan di antara orang-orang tersebut, sebagian besarnya harus dipukul mundur. Berita baiknya, orang-orang yang dipukul mundur itu berencana untuk tidak bekerja di bawah perintah orang lain. Inilah pengusaha.
Beratkah ketika masih kuliah juga menjadi wirausaha? Tentu tidak. Betapa banyak mahasiswa sukses studinya tetap mampu menghasilkan pundi-pundi uang. Beberapa kampus juga telah memfasilitasi mahasiswa untuk berkreasi dan berinovasi dalam dunia kewirausahaan, seperti disediakannya Koperasi Mahasiswa. Meski masih ada fakultas yang tidak memfasilitasi mahasiswanya, namun hal itu bukanlah halangan besar. Karena memang kampus bukanlah tempat berwirausaha melainkan tempat menuntut ilmu, walaupun seharusnya setiap kampus memfasilitasi agar ide kreatif mahasiswa terwadahi.
Mungkin banyak yang bertanya, bagaimana cara membagi waktu dan pikiran untuk wirausaha sedangkan nilai IPK saja kembang-kempis? Jawabannya sederhana, sebagai seorang mahasiswa dewasa yaitu mahasiswa dengan kesadaran penuh untuk bertanggung jawab akan kehidupannya, mulailah berusaha mencari alasan pemaksa terkuat untuk bertindak. Sebuah alasan yang bahkan hanya diri sendiri mengetahuinya. Alasan ketika tidak melakukannya tidak ada konsekuensi apapun, bila melakukannya tidak juga ada apresiasi. Bukan berarti karena alasan wirausaha bisa menoleransi prestasi akademik yang tidak maksimal. Mengejar prestasi akademik adalah tujuan penting kuliah.
Menjadi mahasiswa berprestasi sekaligus wirausaha tidak tergantung pada bakat. Bakat itu bisa dibuat dengan mencoba dan terus berlatih lebih keras. Modal itu ada pada setiap diri manusia. Lihat saja, setiap orang tidak akan bersedia memotong kakinya demi imbalan satu milyar sekalipun. Itulah invenstasi pada diri sendiri yang merupakan modal terbesar manusia.
Kampus telah memberikan awal pengetahuan untuk sukses, setapak lebih maju dengan bekal pengetahuan yang lebih luas. Kita tidak harus mengetahui bahwa kita harus belajar keras, tapi cobalah belajar menyenangi pelajaran. Sekarang keputusan ada di tangan masing-masing dan jangan terlalu lama memikirkannya. Karena menunggu keputusan akan suatu keyakinan bisa membuat kita tidak melakukan apapun, akhirnya hanya akan menghasilkan kesadaran bahwa diri kita sudah terlambat.
Sebagai mahasiswa dewasa, jangan lagi menjadi komentator tetapi jadilah pemain yang membanggakan. Semoga sebagian besar kita tidak mengantri dalam barisan panjang lowongan pekerjaan tapi sebagai pemilik dari berbagai lapangan usaha. Salam wirausaha!
*Kader magang LPM Keadilan 2015-2016