Kebebasan Akademik dan Degradasi Intelektual

Perguruan tinggi dibangun sebagai landasan moral dalam memelihara idealitas yang selalu mendampingi realitas. Atmosfer intelektualitas senantiasa dilanggengkan dikehidupan perguruan tinggi dalam berbagai macam bentuk. Hal ini didukung dengan adanya kebebasan akademik guna menjamin penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Apa itu kebebasan akademik? Ialah sesuatu yang diberikan kepada akademisi terkait kegiatan pengajaran dan penelitian. Hal ini juga tidak terlepas dari hak sipil berupa mengemukakan pendapat yang mana telah dijamin oleh konstitusi. Hak tersebut jelas tertera dalam konstitusi pasal 28E ayat (3) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Berfokus pada kebebasan akademik, hal ini telah dijamin oleh negara pada Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, yang menyebutkan, “dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan”.  Selain itu, juga dalam pasal 19 ayat (1) dan (2) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi UU No. 12 Tahun 2005, pasal 28 F UUD 1945, maupun pasal 14 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, “Setiap orang berhak mempunyai pendapat tanpa gangguan”. Meskipun hak berpendapat tetap dibatasi dengan memperhatikan norma dan kaidah keilmuan, namun hal ini jelas bahwa kebebasan akademik adalah pasti dan tak ada satu orang pun yang dapat menghalang-halangi.

Kebebasan akademik juga merupakan bentuk cita-cita bangsa dalam mewujudkan negara demokrasi. Demokrasi secara garis besar dimaknai dengan pemerintahan dari dan untuk rakyat, artinya sudah seharusnya ia berada di seluruh lapisan masyarakat. Eksistensi negara demokrasi ditandai dengan adanya keterbukaan kritik oleh siapapun. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan David Held bahwa demokrasi tidak dapat berjalan in vacuum, yakni ia tidak dapat terjadi hanya pada kehidupan politik saja, sementara sektor-sektor lainnya tidak demokratis. Sehingga sudah seharusnya demokrasi juga masuk ke seluruh komponen-komponen negara dengan tujuan kesejahteraan rakyat.

Selain hal diatas juga masih banyak represi secara langsung contohnya yang datang dari pihak luar lingkungan akademik.  Pada Mei 2017 diskusi dan pameran  bertema Tribute to Wiji Thukul yang diadakan oleh Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Universitas Islam Indonesia (UII) dibubarkan dengan paksa. Tidak hanya mengalami pembubaran, disana bahkan terjadi kekerasan oleh salah satu organisasi masyarakat. Kejadian ini jelas merupakan kejahatan dan pelanggaran atas jaminan hak asasi manusia.

Pemeliharaan ilmu pengetahuan juga terancam dengan adanya penyitaan beberapa buku yang terjadi pada akhir tahun 2018 hingga awal 2019. Hal ini diawali dengan penyitaan buku di Kediri kemudian disusul Padang dan Probolinggo. Alasannya adalah aparat negara merasa keberadaan buku-buku tersebut menyebabkan keresahan masyarakat karena mengandung paham komunis.

Rentetan kejadian diatas adalah sedikit contoh dari bentuk pembatasan dalam ilmu pengetahuan dan kebebasan demokrasi diruang akademik. Diskusi, kajian, dan segala kegiatan yang dimaksudkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan seharusnya tidak dilakukan pembatasan selama masih berada dalam koridornya. Kebebasan adalah hal yang sangat dibutuhkan, karena ilmu pengetahuan menginduk pada ekspresi berpikir oleh manusia itu sendiri. Apabila masih terjadi pembatasan ilmu pengetahuan, bukankah ini berarti suatu jalan menuju degradasi intelektual?. Hal ini jelas merupakan pergeseran fungsi universitas yang memiliki tujuan awal untuk menumbuhkan generasi intelektual menjadi sekedar  pencetak ijazah untuk selanjutnya disiapkan menjadi pekerja dikemudian hari. Jika cita-cita negara adalah mencerdaskan kehidupan berbangsa, maka sudah sewajarnya demokrasi dibuka seluas-luasnya dan dibiarkan ada ditengah-tengah kegiatan akademik guna menyokong kemajuan ilmu pengetahuan.

Negara dalam hal ini dituntut hadir dengan seutuhnya, tak ada lagi alasan untuk absen atau izin. Pembungkaman kebebasan akademik adalah suatu ancaman bagi intelektualitas yang akan berpengaruh ke seluruh tatanan negara, baik sosial, ekonomi maupun budaya. Selain itu, pihak kampus maupun jajaran lembaga yang ada dibawahnya juga harus memberikan ruang serta jaminan keamanan untuk segala bentuk kegiatan guna pemeliharaan ilmu pengetahuan dan kepentingan pembahasan gerakan rakyat di lingkungan kampus. Sehingga apabila kebebasan akademik sudah terwujud, tidak akan ada lagi bentuk pengekangan keilmuan yang terjadi kedepannya.

Aprillia Wahyuningsih

Penulis merupakan Bendahara Umum LPM Keadilan Periode 2019-2020. Sebelumnya penulis juga pernah menjadi Staf Bidang Penelitian dan Pengembangan LPM Keadilan periode 2018-2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *