Categories Berita

Kekerasan Seksual Oleh Alumnus UII

“…Ya dilecehkan juga seperti dikirimkan foto yang tidak senonoh dan diminta foto yang tidak senonoh,” ujar Rumi.

Yogyakarta-Keadilan. Kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) berinisial IM ramai diperbincangkan pada Rabu (29/04/2020). Kasus ini terdengar ke seluruh warga UII saat pertama kali tersebar himbauan dari Lembaga Dakwah Kampus UII (LDK UII) untuk tidak mengundang IM sebagai pemateri, penceramah,dan tokoh kampus.

Rumi Azhari selaku Ketua LDK UII Al-Fath membuat himbauan tersebut setelah mendapat laporan bahwa IM diduga telah melakukan kekerasan seksual. “Ada salah satu alumni meminta kepada temen-temen lembaga dakwah untuk tidak menjadikan orang yang beratas namakan IM itu sebagai pemateri lagi,” kata Rumi. Awalnya ia menerima laporan terkait kasus ini dari dua orang penyintas yang memberanikan diri untuk menceritakan pengalamannya. “…Ya dilecehkan juga seperti dikirimkan foto yang tidak senonoh dan diminta foto yang tidak senonoh,” ujar Rumi.

Setelah mendapat laporan, Rumi tidak langsung melaporkan kasus ini ke pihak kampus melainkan hanya memberi himbauan internal terlebih dahulu. Alasan Rumi untuk tidak tergesa-gesa melapor yakni dikarenakan saat itu belum ada kejelasan kasus. “Kalo sesama lembaga kan tanpa harus telisik lebih jauh kasusnya kan bisa aja kita bikin tulisan gitu. Jadi, dari situ saya beraninya tu di situ,” jelasnya.

Himbauan internal LDK untuk menutup akses masuk IM ke kampus ternyata tersebar lebih jauh. Tidak hanya beredar diantara anggota saja, dalam waktu singkat kabar ini sudah menjangkau layar gawai civitas akademika UII. Mengetahui adanya himbauan LD dan kasus pelecehan seksual yang mencuat di UII, beberapa pihak langsung bereaksi dan mendorong agar isu tersebut segera mendapat respon dari pihak kampus. “…Ya kalau misal disebut pemantik, emang iya,” tambah Rumi.

Setelah himbauan dan berita ini meluas, beberapa mahasiswa UII yang tergabung dalam Aliansi UII Bergerak mengeluarkan penyataan sikap dan disusul dengan layanan pengaduan penyintas. Aliansi UII bergerak dalam press release yang dimuat pada laman issuu.com, mereka menyatakan isi tuntutan tersebut antara lain:

  1. Menuntut IM meminta maaf kepada penyintas dan mengakui bahwa dirinya telah melakukan kekerasan seksual. Kedua hal tersebut disampaikan secara terbuka oleh IM didepan publik;
  2. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersolidaritas terhadap penyintas dengan menyerukan dukungannya sampai semua tuntutan ini dipenuhi;
  3. Menuntut Rektor UII untuk memberikan pernyataan ke publik bahwa akan menutup semua akses IM di lingkungan kampus baik offline maupun online. Termasuk tidak memberikan kesempatan IM menjadi dosen UII di masa yang akan datang jika memang dia akan mencalonkan diri sebagai dosen;
  4. Menuntut UII untuk segera membentuk tim adhoc yang berpihak pada penyintas guna menyelidiki kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh IM. Sebagai bentuk kontrol bersama dari banyak pihak, maka tim adhoc terdiri dari: Perwakilan dari pihak rektorat, Tim psikolog yang selama ini mendampingi penyintas, Tim bantuan hukum yang terdiri dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) UII dan tim bantuan hukum lain yang dipilih oleh penyintas, dan Mahasiswa yang terdiri dari perwakilan DPM yang dipilih berdasarkan perspektif keberpihakan terhadap korban sepenuhnya, perwakilan Keluarga Mahasiswa UII yang terdiri dari LPM Universitas dan kampus, Aliansi UII Bergerak, perwakilan mahasiswa yang fokus terhadap isu Hukum dan HAM seperti KAHAM UII;
  5. Mendukung UII untuk menjamin keamanan penyintas;
  6. Menuntut UII untuk membentuk tim penyusun draft regulasi khusus penanganan kasus kekerasan seksual yang berpihak pada penyintas di lingkungan kampus UII dan untuk segera disahkan.

Merespon kasus ini, UII bertindak cepat dengan membentuk tim khusus yang dipaparkan dalam press release DPM UII pada Jumat (29/04/2020). Menurut Syarif Nurhidayat, selaku Kepala Bidang Etika dan Hukum UII pada Kamis (30/4/2020), saat kasus ini mencuat kampus menanggapi dengan membentuk Tim Pendampingan Psikologi dan Hukum.  Seperti yang dijelaskan Syarif, tujuan dibentuknya tim ini guna mengadvokasi para penyintas agar tidak trauma dan mau melaporkan kejadian yang mereka dapat. “Karena tidak semua penyintas mau dan berani mengungkapkan dan ini posisinya IM sudah alumni. Sehingga jika ingin diungkap, jalurnya adalah hukum, maka pendampingan hukum kami berikan melalui LKBH, agar membantu konstruksi hukum pelaporannya,” jelasnya.

Ketika ditanya apakah pihak kampus akan membawa ke ranah hukum mengingat status IM sudah sebagai alumni, Syarif mengatakan, “Yang memutuskan terbukti bersalah kan pengadilan. Kita hanya membantu, men-support dan mendorong para penyintas agar tidak lagi trauma dan berani mengungkapkan fakta.”

Berkaitan dengan jumlah penyintas atas kasus ini, kampus belum dapat menentukan jumlah pastinya. “Jumlahnya belum fix, karena masih bersifat penjaringan,” ujar Syarif. Namun, kampus tetap berupaya agar informasi selalu bersifat terbuka, sehingga bisa dijangkau oleh masyarakat luas, “Kampus berupaya memberikan informasi secara terbuka, dengan tetap menjaga identitas dan detail masalah, karena bisa jadi melemahkan ketika maju ke meja hijau.”

Ketika ditelisik lebih lanjut terkait peraturan, Syarif mengiyakan bahwa UII sudah memiliki ketentuan terkait pencegahan kekerasan seksual. “Sudah ada, dalam Peraturan Disiplin Mahasiswa maupun Disiplin Pegawai. Tentu karena sifatnya peraturan internal, hanya mengatur civitas dan karyawan saja, tidak pada alumni dan orang di luar institusi UII.” tutupnya.

 

Reportase bersama: Vania Lutfi, Ahmad Wildan.

1 comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *