Melihat Demonstrasi dari Luar Tali Komando

Apa yang terjadi di balik tali komando? Bagaimana masyarakat menikmati aksi demonstrasi?

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar dan perjuangan. Warganya tak asing lagi dengan aksi-aksi yang dipelopori mahasiswa maupun lembaga swadaya masyarakat. Lantas bagaimanakah masyarakat awam melihat hiruk-pikuk gerombolan manusia yang menyuarakan demokrasi ini?

Ternyata ada pelbagai tanggapan yang muncul dari balik garis komando massa aksi. Tak diragukan lagi, gerombolan manusia bebas yang berteriak-teriak mengorasikan perjuangan akan sangat menarik perhatian masyarakat. Memang itu tujuannya. Tapi, sama halnya dengan kebebasan yang diteriakkan lantang oleh massa aksi, masyarakat pun bebas menanggapi mereka.

Seorang pria bernama Jon tengah duduk di bangku Malioboro siang itu, tatkala rombongan massa yang tergabung dalam International Women’s Day menggelar aksi tahunannya, Jumat (08/03). Ia mengamati massa aksi dengan tatapan awas. Tak lama berselang, seorang wanita dari barisan massa aksi menghampirinya. Mengulungkan selebaran tuntutan dan berniat ‘mengedukasinya’.

Selepas wanita itu pergi, Jon mulai menceracau. Keadilan pun mencoba menghampirinya. Ketika diwawancarai, lelaki yang berasal dari Ambon ini langsung mengritik massa aksi. Ia menilai mahasiswa seharusnya punya cara lain yang lebih baik untuk berekspresi. “Tidak efektif, hanya ribut-ribut aja di jalan.”

Ia menilai seharusnya mahasiswa punya cara lain yang lebih baik. “Isunya oke bagus, tapi caranya kita tidak selalu menggunakan cara-cara yang tidak terhormatlah,” ucapnya. Menurutnya, mahasiswa sebaiknya menggunakan metode yang lebih ilmiah dan terhormat. Ia lebih menyarankan untuk membuat diskusi-diskusi ketimbang berorasi di jalanan. “Berbobotlah bukan teriak-teriak di jalan….”

Berbeda dengan Jon, Supartono, penjual minuman keliling di Malioboro mengapresiasi massa aksi. Ia tengah menjajakan dagangannya di sekitar barisan massa aksi. “Lha, demo ya namanya berjuang,” ujarnya.

Menurut Supartono, dirinya sudah tiga tahun berjualan di Malioboro dan terbiasa dengan aksi. Ia tidak merasa terganggu, apalagi keberatan. Menurutnya, demonstrasi adalah tindakan wajar ketika rakyat kurang puas. Namun ketika ditanya apa yang dituntut oleh massa aksi di belakangnya, ia mengaku tidak tahu, “Ya namanya orang lewat ya cuma sekilas, ada yang jelas ada yang enggak.”

Sebagai salah satu destinasi wisata, Titik Nol Kilometer kerap dijadikan panggung orasi. Tempat ini dianggap efektif oleh massa aksi untuk memropaganda masyarakat. Namun, masyarakat memang beragam. Alih-alih semua memerhatikan, ada juga yang sekadar sambil lalu. Para pedagang kaki lima bagai mendapat durian runtuh, ikut menjaja dagangan di balik tali komando. Petugas Dinas Perhubungan bersama kepolisian berpeluh mencoba mengurai lalu lintas bagi massa aksi. Sedangkan masyarakat yang lain? Tetap menikmati Yogyakarta, dengan bonus suara demokrasi dari tiap aksi yang terselenggara di kotanya.

Reportase bersama: Aprilia Wahyuningsih

Rahadian Suwartono

Penulis merupakan Pemimpin Umum LPM Keadilan periode 2018-2019. Sebelumnya penulis juga pernah menjadi Staf Bidang Redaksi, tepatnya sebagai Koordinator Redaktur Keadilan Post Periode 2017-2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *