Mengungkap Tak Efektifnya Taklim Lewat #TaklimButuhKritik

http://lpmkeadilan.org/wp-content/uploads/2018/12/Ilustrasi-Taklim.jpg
Proses Taklim di FH UII.

Banyak curhatan mengenai adanya mahasiswa yang tidak pernah hadir dalam kegiatan Taklim dan hanya mengikuti ujian di akhir namun tetap lulus saat pengumuman nilai. Mahasiswa tersebut memang memperoleh nilai, begitu pula dengan mualim yang mendapatkan gaji, namun soal ilmu jelas jauh dari kata ‘dapat’.

Melalui laman web dppai.uii.ac.id dijelaskan bahwa terdapat program bernama Taklim yang menjadi sarana aktivitas pengembangan diri Qurani dan dilaksanakan secara stimulan selama enam semester. Tujuan taklim di antaranya, mahasiswa mampu membaca Al-quran dengan benar, menghafal surat-surat pendek di juz amma, menulis kalimat-kalimat thoyyibah, mengetahui bahasa Arab dasar, dan hafal ayat serta hadis tematik.
Taklim terdiri dari empat level, pra dasar, dasar, menengah, dan lanjutan yang dibagi ke dalam puluhan halaqah (kelompok taklim), yang masing-masing dipandu oleh seorang mualim. Seperti yang disampaikan oleh Muntoha, selaku Mantan Ketua Dewan Pengurus Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (DPPAI FH UII), Taklim memiliki beberapa jenjang. Periode pertama untuk melancarkan bacaan, tahap kedua ialah menghafal sampai tafsin, kemudian semester keempat sampai fasih. Program Taklim sendiri telah berjalan sejak 2014 dan kini telah memasuki periode kedua kepengurusan anggota DPPAI FH UII.
Akan tetapi pada prosesnya, Taklim saat ini tidaklah berjalan mulus. Melalui media-media sosial mahasiswa UII berpengikut banyak seperti Mahasiswa UII dan @uiistory mulai marak tagar bertajuk #taklimbutuhkritik. Melalui tagar itu, disebutkan mahasiswa merasa bahwa Taklim yang selama ini dilaksanakan tidak efektif dan memberikan dampak kepada partisipan. Melalui pendapat-pendapat yang bertebaran di kolom komentar terdapat perbedaan pandangan di kalangan mahasiswa. Banyak mahasiswa yang menilai bahwa Taklim belum berjalan secara efektif, sedangkan beberapa lainnya mengatakan bahwa ketidak efektifan tersebut terjadi akibat salah mahasiswa yang tidak mengikuti prosedur dengan semestinya.

Tidak cuma itu muncul juga survei terkait kinerja dari berjalannya Taklim ini yang diisi oleh berbagai mahasiswa dari berbagai fakultas. Admin @uiistory pun menjabarkan bahwa kendala terbesar Taklim sebagaimana yang ditulis oleh mahasiswa pada survei tersebut adalah waktu, mualim, materi, dan penilaian yang dirasa tidak transparan.
Dijabarkan pula dari hasil survei bahwa selama ini Taklim tidak dapat berjalan dengan semestinya karena perbedaan jadwal kegiatan antara partisipan dan mualim, sehingga mereka kesulitan untuk membuat agenda pelaksanaannya. Bahkan, terdapat simpatisan taklim mengatakan bahwa mualim mereka egois. “Mualim sukanya nentuin waktu taklim semuanya dia sendiri. Selama Taklim selalu setor surat-surat, tidak pernah dikasih materi. Giliran waktu ujian taklim, kami dikasih ujian terkait materi,” tulis seorang mahasiswa FH UII yang enggan menyebutkan identitasnya. Bukan hanya itu, terdapat juga beberapa halaqah yang tidak pernah melaksanakan Taklim dalam jangka waktu yang lumayan lama. Namun saat melaksanakan Taklim, mualim tersebut memberikan lebih dari satu sesi dengan dalih agar absen bisa terpenuhi.
Pada panduan taklim UII dijabarkan bahwa target yang harus dicapai setiap levelnya berbeda dan meningkat. Akan tetapi pada praktiknya banyak target dalam berjalannya Taklim yang diturunkan levelnya. Seperti yang disampaikan Muntoha, bahwa sekarang Taklim hanya dilaksanakan selama empat semester (sebelumnya enam) serta hafalan bukanlah murni juz 30 keseluruhan melainkan diturunkan menjadi 23 surat pendek.
Seperti yang terjadi dalam game, Taklim juga seharusnya memiliki kenaikan level. Karena pada praktiknya, Taklim FH UII hanya tertahan di satu level. Sebagai contoh, awalnya seorang mahasiswa mendapatkan level taklim pradasar, idealnya pada semester berikutnya kemampuannya dapat meningkat setara dengan level menengah. Namun, pada kenyataannya mahasiswa yang awalnya mendapatkan level taklim pradasar akan tetap di tahapan tersebut hingga akhir. Padahal, jika ditinjau kembali sebenarnya materi taklim antara pradasar, dasar, menengah, hingga lanjutan adalah rata-rata air atau tidak ada bedanya.
Beberapa mahasiswa juga mempertanyakan bagaimana seharusnya penilaian dan kiat-kiat lulus Taklim. Melalui beragam opini mahasiswa, banyak curhatan mengenai adanya mahasiswa yang tidak pernah hadir dalam kegiatan taklim dan hanya mengikuti ujian di akhir namun tetap lulus saat pengumuman nilai. Mahasiswa tersebut memang memperoleh nilai, begitu pula dengan mualim yang mendapatkan gaji, namun soal ilmu jelas jauh dari kata “dapat”. Pada akhirnya mahasiswa mempertanyakan transparansi nilai taklim itu sendiri. Apakah kehadiran tidak memiliki sumbangan terhadap hasil akhir penilaian? Seberapa pentingkah Taklim memandang proses pembelajaran?
Berbagai selebaran tentang akselerasi ataupun program percepatan pembinaan keagamaan khusus Taklim dan Baca Tulis Al-Qur’an (BTAQ) berhasil memantik beberapa mahasiswa memberikan opininya. Akselerasi taklim dinilai tidak adil, dikarenakan dinilai terlalu menguntungkan bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan tersebut. Mereka yang mengikuti program akselerasi jelas diuntungkan dengan berbagai hal, khusunya terkait waktu. Partisipan program ini hanya memerlukan waktu dua minggu untuk lulus BTAQ, berbanding terbalik dengan mahasiswa lainnya yang harus mengikuti taklim empat semester. Kalau memang taklim dipersiapkan agar ke depannya mahasiswa lancar ujian BTAQ, lalu buat apa program tersebut masih dilaksanakan?
Berkaitan dengan banyaknya opini mahasiswa terkait pelaksanaan Taklim yang dinilai tidak efektif ini, diharapkan DPPAI dapat melakukan pembenahan. DPPAI perlu sering meninjau kembali apakah kegiatan di lapangan dengan apa yang telah dikodifikasikan dalam panduan Taklim sinkron dan berjalan dengan semestinya. Sudah selayaknya timbul pertanyaan tentang perlukah Taklim bagi mahasiswa? Jika iya, cara seperti apa yang baik untuk melaksanakan taklim tersebut?

Natalia Rahmadani

Penulis merupakan Pemimpin Umum LPM Keadilan periode 2019-2020. Sebelumnya penulis juga pernah menjadi Staf Bidang Pengkaderan Periode 2018-2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *