Judul : Asimetris
Genre : Dokumenter
Durasi : 68 menit
Tahun rilis : 2018
Dalam gemerlap industri kelapa sawit ada harga yang harus kita bayar, dan harga itu sama sekali tidak murah.
Asimetris merupakan film kesembilan dari Ekspedisi Indonesia Biru yang diproduksi oleh Watchdoc. Film dokumenter ini menceritakan bagaimana dampak kerusakan lahan yang dialami karena adanya perkebunan kelapa sawit. Indonesia sendiri merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia yang luas perkebunannya mencapai 11 juta hektar, hampir setara dengan ukuran Pulau Jawa. Bahkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada tahun 2016 mencatat, ekspor kelapa sawit Indonesia mencapai 25,7 juta ton dan membuatnya menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia.
Zaman modern ini kelapa sawit tidak hanya diperuntukkan membuat minyak goreng saja, tapi masih banyak produk lain yang juga bisa dihasilkan. Bahkan bahan bakar kendaraan sekarang mulai dicampur 20% minyak kelapa sawit seperti biosolar dan biopremium. Hal itu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar berbahan fosil. Namun di balik banyaknya manfaat, film ini juga menggambarkan ada dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat akibat kelapa sawit.
Meningkatnya kebutuhan dan permintaan akan kelapa sawit mengakibatkan banyaknya lahan hutan yang harus dibuka untuk membuat perkebunan. Salah satu pembukaan lahan yang tidak sesuai dan memberi dampak buruk bagi masyarakat adalah pembakaran hutan. Pembakaran hutan membuat kabut asap terjadi di berbagai kota bahkan dirasakan juga oleh negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura. Menurut Badan Nasional Penanggulan Bencana antara bulan Juni dan Oktober 2015 jumlah titik api di seluruh Indonesia mencapai 3200 lokasi dengan luas 2,6 juta lahan. Jumlah titik api ini hampir setara dengan empat kali luas Pulau Bali.
Luasnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lantas menjadi sumber kesejahteraan masyarakat. Kenyataannya, seluas 5 juta hektar perkebunan kelapa sawit di Indonesia hanya dikuasai oleh 25 perusahaan saja. Luas itu hampir sama dengan setengah jumlah lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Film ini juga memperlihatkan dampak sosial yang dialami warga dari perkebunan kelapa sawit. Semisal ekspansi perusahaan-perusahaan kelapa sawit kepada perkebunan warga yang menimbulkan terjadinya konflik. Konflik ini disebabkan oleh sengketa kepemilikan lahan maupun masalah limbah yang diterima warga di sekitar perkebunan kelapa sawit.
Akibat berbagai konflik itu membuat salah satu warga bernama Wardian di Kalimantan Tengah, pernah mendekam selama enam bulan di penjara. Pasalnya, Wardian atas inisiatifnya sendiri memotong buah kelapa sawit yang ditanam secara sepihak oleh perusahaan kelapa sawit. Malangnya hal itu malah menjadi bumerang baginya, ia dilaporkan oleh perusahaan kelapa sawit atas tuduhan melakukan pencurian.
Tingginya permintaan dunia terhadap kelapa sawit, tidak otomatis membuat semua masyarakat berminat untuk ikut menanam. Seperti halnya warga Desa Pasar Terusan, Jambi yang memiliki peraturan melarang mengganti fungsi lahan menjadi kebun sawit ataupun tanaman keras lainnya. Mereka sendiri miliki tiga filosofi pilar ekonomi yaitu padi, ternak, dan parah (karet). Maksud dari tiga filosofi tersebut adalah “Ada padi serba menjadi, ada ternak serba enak, dan ada parah serba murah”. Juga masyarakat Dayak Tomun di Desa Kubung, Kalimantan Tengah yang secara tegas menolak pembukaan lahan kelapa sawit. Menurut masyarakat Dayak Tomun keberadaan kelapa sawit dapat mengancam keberadaan hutan yang dianggap sebagai sumber kehidupan sehari-hari mereka.
Masyarakat berpendapat bahwa kelapa sawit bisa membuat sumber-sumber mata air mengering dan pada saat musim hujan bisa menyebabkan banjir. Pendapat tersebut juga dibenarkan oleh Adnan Kasry, ahli lingkungan hidup Universitas Riau sebagaimana dikutip dari kompasiana.com. Kelapa sawit merupakan tumbuhan monokotil (berakar serabut) sehingga air hujan yang melimpah tidak terserap ke dalam tanah dan hanya mengalir di daratan menuju aliran sungai. Air yang mengalir tersebut akan membawa zat hara dan mengendap di dasar sungai yang berakibat tanah menjadi gersang dan sungai akan semakin dangkal. Bila musim kemarau tiba, kelapa sawit akan menyerap cadangan air bawah tanah dengan jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan agar bisa bertahan hidup dan berbuah.
Penyampaian yang tidak hanya terfokus di wilayah Kalimantan, namun juga sampai Indonesia Timur menunjukkan betapa seriusnya penggarapan film ini. Mereka pun berhasil menggambarkan situasi ekonomi masyarakat di sana sehingga dapat menggambarkan dampak negatif dari industri kelapa sawit. Film ini juga menyediakan subtitle berbahasa Inggris sehingga masyarakat global juga diharapkan bisa memahami dan menikmati dari film asimetris ini.
Sayangnya, alur campuran dalam film ini terkadang dapat membuat penonton cukup kebingungan. Hal itu disebabkan karena transisi antara peristiwa satu dengan yang lain tidak tergambarkan dengan baik sehingga diperlukan konsentrasi lebih. Juga dalam film ini tidak disampaikan penjelasan dari pemerintah atas kejadian yang dialami masyarakat. Sehingga seolah-olah film ini hanya menggambarkan ketidakpedulian pemerintah pada masyarakat yang ada di lingkungan industri kelapa sawit.
Walaupun demikian film ini sangat dianjurkan untuk masyarakat, para pengusaha, maupun bagi mereka yang ingin terjun ke dunia industri kelapa sawit. Bahwasanya pengusaha jangan hanya memikirkan keuntungan saja tetapi juga perlu memperhatikan keadaan masyarakat yang terkena dampak.