Memang benar, perut bumi Indonesia mengandung begitu banyak bahan mentah industri ekstraktif, tetapi eksploitasinya dapat dibatasi dengan dijalankannya hukum yang progresif. Hal yang justru berkebalikan terjadi di Indonesia saat ini.
Lubang tambang kembali memakan korban. Tewasnya Alif Anwaruki siswa kelas 1 SMK Geologi Pertambangan, Tenggarong semakin memperbanyak rentetan korban lubang bekas tambang yang tidak terurus di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Tak hanya itu, di Samarinda sedikitnya tambang batu bara yang aktif beroperasi telah menewaskan 14 anak-anak. Berita terbaru, seiring dengan ditulisnya opini ini, korban bertambah menjadi 32.
Bekas lubang tambang ini tidak hanya berimbas pada hilangnya nyawa manusia secara langsung. Jika dilihat lebih mendalam, akan berdampak terhadap kehidupan manusia di area tambang, entah itu sedang beroperasi ataupun pasca. Dampak lainnya, juga akan terasa pada keberlangsungan produksi bahan pangan secara mandiri. Hal ini dikarenakan tak ada upaya peremajaan tanah kembali dan lubang bekas tambang tersebar tetapi tidak untuk kegiatan pertanian.
Tidak hanya di Kaltim, tetapi praktik seperti ini bahkan terjadi dalam lingkup nasional. Praktik tambang di Indonesia, secara objektif bisa dibilang mengenaskan. Jika melihat data yang dihimpun oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, per Maret 2017, Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan pemerintah di masing-masing daerah mencapai angka 8710. Tidak hanya tambang batu bara, tetapi juga berbagai jenis mineral. Rentang penguasaannya pun tidak dalam jangka waktu yang pendek, tetapi bisa belasan hingga puluhan tahun.
Jika ditarik dari IUP per 2016, 83 persen dari 10.388 perusahan yang memperoleh izin, tidak menempatkan dana jaminan reklamasi (Jamrek) dan pasca tambang. Dengan jumlah sebanyak itu, ada sekitar 18 ribu lubang tambang yang akan ditinggalkan.
Memang benar, perut bumi Indonesia mengandung begitu banyak bahan mentah industri ekstraktif, tetapi eksploitasinya dapat dibatasi dengan dijalankannya hukum yang progresif. Hal yang justru berkebalikan terjadi di Indonesia saat ini. Jatam menyebutkan, tahun ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM RI) menghapuskan 4.8 triliun rupiah tanggungan jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang yang belum terbayarkan oleh perusahaan-perusahaan di sektor tersebut.
Ijon Politik dalam Praktik Industri Ekstraktif
Permasalahan yang terjadi di sektor industri ekstraktif tidak dapat dilepaskan begitu saja dari praktik politik di Indonesia saat ini. Praktik ijon yang begitu menjamur, merupakan awal dari malapetaka kehidupan masyarakat Indonesia terutama di titik-titik berdekatan dengan area tambang. Ijon politik adalah kesepakatan antara pengusaha atau korporasi sebagai penyandang dana politik dengan para politisi yang berkepentingan menghimpun dana politik secara cepat dan mudah (Melky Nahar, 2017). D.N. Aidit menyebut para pelaku ijon adalah orang-orang yang jahat, mereka melakukan praktek penghisapan, berdampak langsung merusak daya produksi kaum tani dan mempercepat proses pembangkrutan mereka.
Di Indonesia sendiri, praktik seperti ini menjamur. Terutama di sektor tambang, para kapitalis melakukan politik ijon dengan para politisi. Akses tersebut didapatkan dari kuatnya material mereka, yaitu uang. Bahkan tak jarang kita temui para pejabat publik yang memilih usaha di sektor tambang. Kita menemui Bakrie Group melalui perusahaan Bumi Resourcenya, Kalimantan Timur ada dinasti Awang yang dimotori anggota DPR-RI 2014-2019 serta mantan calon gubernur Awang Ferdian Hidayat, beralih ke daerah tetangga, Kalimantan Barat dikuasai dinasti Cornelis dengan tambang emas dan batubaranya.
Sedangkan Gubernur Kaltim saat ini Isran Noor, yang merupakan mantan Bupati Kutai Timur, mempunyai sejumlah kasus kontroversial. Pada 2014 ia diduga terlibat pada praktik ijon perusahaan tambang PT. Arina Kota Jaya senilai lima miliyar rupiah yang diduga merupakan aliran pencucian uang mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazarudin. Namanya disebut bersama dengan Awang Faroek Ishak, Mahyudin, dan sejumlah nama lainnya terkait kasus divestasi saham PT. Kaltim Prima Coal.
Kembali tentang munculnya korban akibat galian lubang tambang, belakangan kita sering melihat tanggapan aneh dari pemerintah Kaltim. Misalnya ketika Isran ditanyai oleh wartawan terkait permasalahan jatuhnya korban ke 30, ia mengatakan meninggalnya Alif Anwaruki dan 29 orang lainnya merupakan nasib yang tidak dapat dihindarkan.
Sebaliknya reaksi pemerintah Kaltim terhadap maraknya bencana ini cukup kontroversial. Melalui Wakil Gubernurnya, Pemerintah Provinsi Kaltim akan mengeluarkan Peraturan Daerah terkait lesbian, gay, biseksual, dan transgender (Perda LGBT), dengan alasan tidak ingin ada bencana di daerahnya.
Mereka bisa sangat tegas menaruh kesalahan pada LGBT hingga membuat Perda, namun di satu sisi lembek terhadap perusak lingkungan yang membakar hutan dan perebut lahan tani, bahkan dengan tak melakukan reklamasi tambang. Terbukti, 86 lubang bekas tambang di Kutai Timur dibiarkan begitu saja. Mereka tidak pernah mempunyai agenda tegas untuk memperbaiki lingkungan, bahkan dalam kampanyenya. Tidak pernah ada gerak ke arah pembuatan peraturan yang dapat menghukum para perusak lingkungan.
Menyalahkan LGBT adalah siasat untuk melindungi dirinya sebagai perusak lingkungan sebenarnya. Penyalahan terhadap kaum LGBT seolah merupakan golongan amoral bukan hanya tidak ilmiah dan anti logika sehat. Melainkan juga bentuk kebigotan yang berfungsi mengalihkan isu dari amoralitas dan kebejatan kaum oligark—penganut oligarki— penindas yang saat ini berkuasa.
Tak dapat dipungkiri lagi, pentas politik dengan ekspansi tambang di negara ini selalu berhubungan. Singkatnya, “Di mana ada industri tambang, di situ pula ada dinasti politik”. Kongkalikong antara dua entitias ini tak dapat terhindarkan, bahkan para politisi tidak menghindari praktik tersebut, yang secara material menguntungkan bagi mereka dalam persaingan politik borjuis saat ini.
Bangun Gerakan Rakyat, Hancurkan Oligarki
Kapitalisme dengan demokrasi liberalnya mengatakan bahwa kebebasan adalah hak setiap individu manusia. Namun, corak produksi yang menuntut untuk menumpuk kekayaan seperti itu akhirnya menciptakan ketimpangan yang mendalam dalam segi material. Lalu politisi, jelas terbawa arus dalam praktiknya, konstelasi politik borjuis mengharuskan para pelaku mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk bersaing. Ijon antar dua entitas ini, yang sering disebut dengan oligarki. Jeffrey A. Winters mengatakan dalam bukunya yang berjudul Oligarki, “Kenyataannya, kekayaan sangat besar di tangan minoritas kecil menciptakan kelebihan kekuasaan yang signifkan di ranah politik, termasuk dalam demokrasi.”
Secara eksplisit, kapitalisme menjunjung hak milik pribadi, sangat mendukung praktik oligarki di negeri ini. Jelas sekali, simbiosis mutualisme terjadi antara politisi borjuis dengan para pemilik modal. Politisi memperkaya diri untuk agenda politiknya, para pemilik modal memperkaya diri untuk melakukan ekspansi, dalam hal ini di sektor industri ekstrakif. Lebih-lebih mereka yang punya usaha industri ekstraktif, masih terjun ke politik praktis, “Serakahnya ga ketulungan”. Hal tersebut menunjukkan bahwa praktik oligarki tidak hanya bisa bekerja pada masa otoritarianisme seperti pada era orde baru, malah sangat cair setelah revolusi demokratik ’98 lalu. Bahkan para oligark semakin membabi buta karena adanya persaingan usaha antar mereka sendiri.
Gagalnya konsolidasi antar para oligark mantan pengikut orde baru pasca ’98 seharusnya dimanfaatkan oleh gerakan rakyat. Seperti yang sudah-sudah, kontradiksi dari sebuah corak produksi yang berkuasa saat ini, pada titik tertentu akan mengalami krisis mendalam. Krisis tersebut terjadi karena persaingan untuk terus menerus menumpuk kekayaan di segelintir golongan, produksi terus menerus tanpa memperhitungkan kebutuhan umat manusia. Semua itu tidak terlepas dari keserakahan para elit oligark di sektor industri ekstraktif.
Seolah tak dapat ditoleransi lagi, memilih jalan moderat melalui konsep good will agar terjadi keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan biaya lingkungan hanyalah omong kosong. Bahkan di era pemerintahan Jokowi yang digadang-gadang tidak memiliki latar belakang praktik oligarki namun di masanya nyatanya banyak memberikan jabatan kepada para oligark.
Kerusakan lingkungan hingga jatuhnya korban jiwa akibat tambang merupakan konsekuensi mutlak atas sistem modal yang tak memikirkan kemanusiaan dan kelestarian alam. Sebab sistem penindas tersebut menempatkan baik manusia ataupun alam hanya sebagai objek eksploitasi sekaligus komoditas untuk menghasilkan kekayaan bagi kelas yang berkuasa. Oleh karenanya, kelas pekerja dan golongan rakyat progresif lainnya berkepentingan menyelamatkan bumi dan mengakhiri penindasan yang terjadi saat ini.
Kelas pekerja paling berkepentingan menyelamatkan bumi dan mengakhiri penindasan kapitalisme yang dijalankan para oligark saat ini. Namun itu hanya dapat terwujud jika seluruh kelas bersatu, bersolidaritas, dan melawan tanpa ragu. Juga menggandeng seluruh kaum tertindas terutama petani, masyarakat adat, dan juga pihak yang terdampak langsung dengan kerusakan lingkungan juga untuk berada di barisan terdepan melawan para perusak alam sekitarnya.