Jangan Biarkan Buku Anak-Anak Punah

http://lpmkeadilan.org/wp-content/uploads/2018/04/Ilustrasi-Hari-Buku-Anak-Sedunia.jpg
Hari Buku Anak Internasional yang diperingati setiap tanggal 2 April

Pembaca sekalian yang tumbuh kecil pada masa jaya buku anak-anak pasti tidak akan merasa asing dengan kisah berikut ini. Pada suatu hari, seorang pilot pesawat yang terdampar di tengah keringnya Gurun Sahara bertemu anak kecil nan lugu dan penuh rasa penasaran. Juga kisah berikut ini, seorang anak yatim piatu hidup bersama bibi dan pamannya yang kejam hingga suatu hari pria misterius datang dan membawanya ke dunia sihir.

Ya, kisah pertama merupakan premis dari buku Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupery yang telah terjual hingga ratusan juta kopi. Sedangkan kisah kedua sudah pasti tak asing lagi bagi pembaca sekalian, buku Harry Potter and the Philosopher’s Stone karangan J.K. Rowling. Karya ini bukan hanya banyak digemari tetapi juga menjadi pengantar bagi enam buku lainnya yang sukses menjadi serial fantasi paling terkenal sepanjang masa.

Banyak kemiripan dalam kedua karya di atas, yakni sama-sama laris, melegenda, dan bisa dinikmati seluruh kalangan terlepas oleh statusnya sebagai buku anak-anak—walaupun banyak juga yang menolak jika Harry Potter and the Philosopher’s Stone dikatakan sebagai buku anak-anak. Tetapi selain itu, terdapat satu lagi persamaan yang dimiliki, yaitu kenyataan bahwa keduanya telah berusia puluhan tahun. Buku Le Petit Prince diciptakan selama era perang dunia kedua, sedangkan Harry Potter and the Philosopher’s Stone yang berusia jauh lebih muda pun dirilis 20 tahun lalu. Tuanya usia karya-karya tersebut sebenarnya menjadi pertanda tersendiri bahwa regenerasi buku anak-anak semakin tergerus saat ini.

Sulit diterima memang, tetapi harus diakui bahwa belakangan ini sudah semakin jarang buku anak-anak baru yang sukses menjadi hit. Bandingkan dengan abad ke-20, di mana setiap era memiliki buku anak-anak legendanya masing-masing. Karya-karya Roald Dahl pada tahun 1960 sampai 1980-an, hingga seri buku Lima Sekawan yang terbit di masa 1940-an. Karya-karya tua tersebut entah bagaimana masih tetap berhasil mendominasi rak-rak sastra anak di toko buku saat ini.

Sebenarnya ada sedikit harapan akan bangkitnya buku anak-anak masa kini pasca larisnya Wonder karangan R.J. Palacio yang diterbitkan pada tahun 2012. Tapi seakan berhenti di situ, Wonder laris besar bahkan hingga difilmkan, sedangkan buku anak-anak lainnya tetap bergerak dalam diam.

Apakah para penulis sudah tidak lagi tertarik membuat buku anak-anak? Atau mungkin para orang tua masa kini yang tidak senang lagi membelikan anaknya buku bacaan? Kealpaan buku anak-anak yang diciptakan pada beberapa tahun belakangan ini memang menimbulkan banyak pertanyaan. Mengingat fenomena seperti ini tidak terjadi pada karya-karya sastra untuk kategori umur lainnya. Bisa kita lihat dominasi Dan Brown pada tahun 2000-an mulai tergantikan dengan seri buku A Song of Ice and Fire (dikenal juga sebagai Game of Thrones) karya George R.R. Martin.

Dominasi Walt Disney Studio dan Video Game

Setelah ditelisik lagi, dapat dilihat bahwa tergerusnya regenerasi buku anak-anak ini berbanding terbalik dengan bidang-bidang lain seperti film animasi dan video game. Dalam bidang-bidang yang juga banyak dikonsumsi anak-anak tersebut, pembaruan dan regenerasi dapat terjadi dengan sangat cepat. Belum lama rasanya kita hanyut dalam euforia Despicable Me 3 yang mampu menggelitik penonton, hadirlah Coco dengan kisah mengharukannya segera mengambil alih panggung utama.

Hal serupa juga terjadi dalam dunia video game, lihat saja Clash of Clans yang kini terasa sudah sangat purba semenjak Mobile Legends mendominasi. Peralihan dari animasi ke animasi lainnya, maupun video game ke video game lainnya itu membuktikan regenerasi karya di bidang tersebut berjalan dengan sangat lancar. Sehingga tak heran lagi jika terus bermunculan animator maupun pembuat video game baru.

Sepertinya, banyaknya jumlah penonton sangat memengaruhi cepatnya regenerasi dalam film animasi. Pada tahun 2016, terdapat tiga film animasi yang berhasil masuk ke 10 besar penghasilan tertinggi dunia. Bahkan film animasi Frozen berhasil memuncaki posisi ini pada tahun 2013 dengan penghasilan kotor yang berkisar 1,2 miliar Dollar Amerika Serikat. Dengan pasar sebanyak itu, maka para studio animasi semakin berlomba untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas film.

Walt Disney Studio adalah salah satu pihak yang paling sukses meraup keuntungan dalam bidang ini. Mengingat dalam lima tahun terakhir sudah empat kali film Walt Disney Studio sukses meraih posisi paling laris. Sukses menjadi studio pertama yang meraup 5 miliar Dollar Amerika Serikat dalam tiga tahun berturut-turut seakan menegaskan dominasi mereka. Walaupun memang tidak semua film dari Walt Disney Studio merupakan animasi, mengingat pangsa superhero serta waralaba Star Wars juga menjadi salah satu tambang emas terbaik mereka.

Sedangkan dunia video game juga tidak kalah menggiurkan. Kepraktisan serta unsur adiktifnya berhasil membuat jumlah pemain video game terus bertambah, bahkan tak sedikit juga yang berani merogoh kocek dalam-dalam. Hal itu bisa terlihat dari betapa World of Warcraft yang dirilis pada tahun 2004 telah sukses menuai penghasilan sebesar 8,5 miliar Dollar Amerika Serikat. Tak tertutup kemungkinan video game seperti Mobile Legends dan PUBG yang belum terlalu lama dibuat pun sudah berhasil meraup penghasilan besar.

Kesuksesan dua bidang tersebut tentu saja berjalan searah dengan banyaknya anak-anak yang menikmatinya. Suatu hal yang tak dimiliki oleh buku anak-anak beberapa tahun belakangan ini.

Toh, nonton film dan main game memang jauh lebih praktis serta gampang diakses jika dibandingkan membaca buku. Terlebih di era digital seperti sekarang, saat di mana anak-anak yang belum bisa membaca dengan lancar sekalipun sudah bisa memiliki gawai pribadi. Untuk apa melihat huruf-huruf kecil dalam kertas buram jika bisa meningkatkan rank di Mobile Legends? 

Tapi tetap saja tidak rela rasanya, melihat tahun demi tahun buku anak-anak harus kalah telak di tengah persaingan dunia hiburan. Penulis baru pencetak hit tak kunjung tumbuh, sedangkan karya-karya lama perlahan tenggelam seiring hilangnya minat baca anak usia dini. Berharap saja, supaya dari segelintir anak kutu buku yang tersisa saat ini akan timbul bakat-bakat penulis baru. Mengingat generasi yang tidak suka membaca ini kelak akan menentukan arah kesusastraan dunia.

Semoga buku anak-anak tidak akan menyusul badak putih yang harus punah karena tak bisa lagi bereproduksi. Selamat Hari Buku Anak Internasional!

Aldhyansah Dodhy Putra

Penulis merupakan Staf Bidang Redaksi, tepatnya sebagai Redaktur LPM Keadilan periode 2019-2020. Sebelumnya penulis juga pernah menjadi Koordinator Redaktur K-Online Periode 2017-2018 dan Pimpinan Redaksi Periode 2018-2019.

2 thoughts on “Jangan Biarkan Buku Anak-Anak Punah

  1. Pernah baca le petit prince, suka ceritanya 😍

Tinggalkan Balasan ke K-Online Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *