Gunakan Dialektika Bukan Dogma

http://lpmkeadilan.org/wp-content/uploads/2018/03/ilustrasi-e1520068604347.jpg

Guru dan murid adalah manusia biasa, wajar berlaku perumpamaan tidak ada gading yang tak retak. Sehingga, guna menutupi keretakan itu, setiap manusia pasti membutuhkan sesamanya.

Pengetahuan dan ilmu merupakan hal yang penting bagi manusia. Dua hal tersebut merupakan unsur pokok yang harus ada agar manusia dapat melakukan aktivitas berpikir. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Partap Sing Mehra yang mendefinisikan berpikir (pemikiran) sebagai, “mencari sesuatu yang belum diketahui berdasarkan sesuatu yang sudah diketahui”. Definisi tersebut tentu menyiratkan jika proses berpikir barulah terjadi apabila manusia telah memiliki pengetahuan. Kemudian manusia mempergunakannya untuk menemukan hal baru atau suatu kesimpulan lainnya.

Berpikir juga merupakan syarat agar manusia dapat dikatakan telah memperoleh eksistensi sebagai manusia seutuhnya. Anggapan ini sesuai dengan ajaran  Rene Descartes seorang ahli matematika asal Perancis “Cogito ergo sum,” yang berartiaku berpikir maka aku ada”. Ajaran Rene Descartes tentu mengindikasikan jika kesadaran predikat sebagai manusia akan ada padanya apabila ia telah menggunakan akal pikirannya.

Hal tersebut juga diperkuat dengan definisi Ibnu Khaldun, seorang sejarawan muslim dari Tunisia. Menurutnya manusia adalah hewan dengan kesanggupan berpikir. Kesanggupan ini merupakan sumber kesempurnaan dan puncak segala kemuliaan serta ketinggian di atas makhluk-makhluk lain. Pendapat Descartes dan Ibnu Khaldun jelas menggambarkan betapa pentingnya berpikir sebagai keharusan bagi manusia.

Ilmu dan pengetahuan merupakan hasil yang didapat dari proses pendidikan. Indonesia kini memiliki pendidikan dengan jenis yang beragam. Mulai dari pendidikan formal, informal, pendidikan anak usia dini, dan lainnya, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Ada pula bentuk pendidikan inklusif bagi difabel sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2009. Beragamnya jenis pendidikan yang ada turut melahirkan banyak definisi mengenai endidikan saat ini.

Definisi pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sedangkan menurut UU Sisdiknas secara umum pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik aktif mengembangkan potensi diri.

Apabila mengacu pada kedua definisi di atas, penulis beranggapan jika terdapat dua unsur pokok yang terkandung dalam setiap pengertian pendidikan. Pertama pendidikan ialah proses tiada akhir, kedua sebagai upaya mendapat pengetahuan. Sebagai suatu proses, pendidikan adalah runtutan kegiatan yang teratur dan terus-menerus dengan tujuan untuk mendapat pengetahuan. Sampai saat ini pun belum diketahui kapan proses tersebut bisa dikatakan selesai, sehingga wajar jika pendidikan disebut sebagai proses tiada akhir.

Hal tersebut terjadi karena belum adanya penjelasan ilmiah yang mampu menaksir berapa jumlah atau kuantitas dari seluruh pengetahuan di alam semesta ini. Bagi umat islam, hadis Nabi Muhammad Saw. mengajarkan jika pendidikan dimulai sejak manusia berada di kandungan dan akan berakhir ketika dikubur dalam liang lahat. Melihat hadis ini nampak jika berakhirnya proses pendidikan yang dijalani manusia bukan karena segala pengetahuan di alam semesta telah berhasil dia raih. Melainkan karena hilangnya fungsi jasad manusia sehingga dia tidak lagi mampu menjalani proses pendidikan. Penjelasan di atas kembali menguatkan jika belum diketahui berakhirnya pendidikan sebagai suatu proses.

Selain itu penulis beranggapan jika masyarakat umum saat ini masih berpandangan bahwa proses pendidikan akan berakhir setelah manusia mendapat ijazah sebagai tanda lulus. Pandangan ini bisa muncul karena masih kuatnya anggapan masyarakat jika manusia berpendidikan adalah yang menuntut ilmu di lembaga formal atau sekolahan saja. Hal ini seperti yang di gambarkan oleh Roem Topatimasang dalam bukunya Sekolah Itu Candu.

Padahal jika melihat kondisi zaman, pengetahuan sebagai hal yang ingin didapatkan dari proses pendidikan tidak hanya bisa diperoleh di sekolah. Perkembangan teknologi turut mengubah cara memperoleh pengetahuan. Realita ini sekaligus menyiratkan jika sebutan berpendidikan pada manusia juga dapat disandang oleh setiap orang meski tidak menuntut ilmu di lembaga formal atau sekolahan.

Penjelasan di atas menggambarkan predikat guru dan murid adalah status yang dapat disandang siapa saja di mana pun berada. Sehingga predikat tersebut dalam proses pendidikan bukanlah suatu kemutlakan. Pendidikan sebagai proses memperoleh pengetahuan yang dijalani manusia tidak dilakukan secara searah melainkan timbal balik. Seperti pendapat Ki Hajar Dewantara, jika pendidikan yang cocok dengan karakter dan budaya orang Indonesia tidak memakai syarat tekanan seperti perintah, hukuman dan ketertiban yang bersifat paksaan.

Artinya jika ada seorang dengan predikat guru dan lainya sebagai murid, dalam konsep pendidikan sebagai proses timbal balik, berlaku sifat tidak adanya kemutlakan dalam kedudukan keduanya. Sehingga masing-masing dapat menjadi guru sekaligus murid bagi lainnya Hal tersebut terjadi karena pendidikan adalah runtutan kegiatan yang di dalamnya terdapat proses saling memperoleh dan memberi pengetahuan. Maka tidak tepat jika predikat guru selalu diartikan sebagai orang paling benar dan serba tahu akan segala hal, serta murid dianggap gelas kosong yang tidak mengerti apa-apa.

Sehingga sudah sepantasnya mengedepankan dogma dalam proses pendidikan tidaklah dilakukan. Dialektika merupakan prinsip yang lebih manusiawi untuk diterapkan. Sesuai dengan ungkapan Ki Hajar Dewantara jika tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Jadi karena guru dan murid adalah manusia biasa, wajar berlaku perumpamaan tidak ada gading yang tak  retak. Sehingga guna menutupi keretakan itu, setiap manusia pasti membutuhkan sesamanya.

Hal ini menyiratkan jika guru dan murid tidak selalu berada pada tempat yang disebut sekolah. Tergambarlah sudah jika proses pendidikan tidak berakhir dan terhenti ketika tak lagi menjadi murid yang dididik guru di sekolah juga sebaliknya. Wajar jika muncul adagium setiap orang ialah guru dan semua hal itu ilmu semesta raya adalah sekolahku.

Wahyu Prasetyo

Penulis merupakan staf bidang Pengkaderan LPM Keadilan periode 2017-2018.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *