Categories Opini

Lempar KUHAP Ke MK: Jalan Pintas DPR Menghindari Tanggung Jawab?

“KUHAP baru disahkan, tapi jika isinya dianggap keliru, DPR justru menyarankan judicial review. Ironis, norma belum matang sudah lahir, koreksinya malah dititipkan ke Mahkamah Konstitusi.”

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru telah resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia melalui rapat paripurna, menandai selesainya proses pembentukan undang-undang secara formal sekaligus membuka fase implementasi dari sistem hukum pidana yang akan digunakan untuk beberapa tahun ke depan. Pengesahan ini menjadi tonggak penting dalam reformasi hukum pidana Indonesia, mengingat KUHAP merupakan instrumen fundamental yang mengatur mekanisme pelaksanaan proses peradilan pidana. Namun, menarik untuk dicermati bahwa sebelum pengesahan dilakukan, muncul pernyataan dari Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, yang dikutip dalam pemberitaan Tempo.co berjudul “Wakil Ketua DPR: Jika Tak Setuju Isi KUHAP Bisa Ajukan Judicial Review”. Pernyataan tersebut disampaikan pada tahap pembahasan tingkat 1, yaitu fase saat substansi belum final dan secara teori masih memungkinkan untuk dilakukan koreksi internal.

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa DPR menganggap proses legislasi secara substansial sudah selesai meskipun secara formal belum disahkan. Hal ini menunjukkan bahwa ruang evaluasi materiil melalui mekanisme internal, yang seharusnya masih terbuka sampai tahap pembahasan tingkat II, dianggap tertutup. Dengan demikian, koreksi terhadap potensi kelemahan norma diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme judicial review (JR) di Mahkamah Konstitusi (MK). Secara tidak langsung, sikap ini menunjukkan bahwa penyelesaian kritik publik dialihkan kepada peradilan konstitusi, bukan dilibatkan dalam proses legislasi yang bersifat preventif dan korektif sejak awal.

DPR dan Tanggung Jawab Legislasi

Sebagai lembaga pembentuk undang-undang, DPR memegang tanggung jawab konstitusional yang besar. Setiap pasal dalam undang-undang harus dirumuskan dengan teliti, didasari analisis filosofis, sosiologis, dan yuridis yang matang, serta disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan hukum masyarakat masa kini maupun masa depan. Undang-undang bukan produk administratif biasa yang sekadar memenuhi mandat politik atau target legislasi, melainkan pedoman normatif yang akan mengikat seluruh warga negara.

Oleh karena itu, pembentukan undang-undang idealnya dilandasi kajian akademik yang komprehensif, konsultasi terbuka dengan ahli, serta partisipasi publik yang efektif. Ketika DPR, dalam proses legislasi, justru menyampaikan narasi seperti, “Kalau tidak setuju, ajukan saja judicial review ke MK,” maka seolah tanggung jawab menyempurnakan undang-undang dialihkan kepada masyarakat dan MK. Padahal, MK merupakan mekanisme terakhir (ultimum remedium) untuk menguji konstitusionalitas produk hukum, bukan saluran utama untuk memperbaiki cacat legislasi yang terjadi sejak proses penyusunan.

Kualitas Legislasi Dipertanyakan

Fenomena undang-undang yang direvisi atau digugat tidak lama setelah diundangkan mencerminkan lemahnya kualitas proses legislasi. Contohnya, Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi karena cacat prosedural dalam pembentukannya, sehingga DPR dan pemerintah diwajibkan melakukan perbaikan. Hal yang sama terjadi pada Undang-Undang Minerba dan sejumlah regulasi lainnya yang mendapat kritik hingga dilakukan revisi ataupun uji materi. Realitas ini menandakan legislasi cenderung terburu-buru, minim evaluasi substantif, dan tidak ditopang oleh naskah akademik yang memadai.

Kondisi legislasi yang labil berdampak langsung terhadap kepastian hukum. Masyarakat kesulitan memahami norma mana yang berlaku karena aturan sering berubah. Ketidakpastian ini dapat menimbulkan kegelisahan sosial, mengganggu investasi, dan merusak citra lembaga legislatif sebagai representasi rakyat. Legitimasi DPR sebagai pembentuk undang-undang dapat tergerus apabila produk hukum yang dihasilkan lebih sering menjadi objek koreksi daripada menjadi solusi bagi penyelesaian persoalan hukum.

Belajar dari UUPA Tahun 1960

Untuk mencapai kualitas legislasi yang baik, DPR dapat belajar dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 yang hingga kini telah berlaku lebih dari enam dekade tanpa perubahan fundamental. UUPA menunjukkan bahwa undang-undang yang disusun dengan visi jangka panjang, berdasarkan kajian mendalam terhadap realitas sosial dan proyeksi kebutuhan masa depan dapat bertahan dan tetap relevan lintas generasi. Penyusunan UUPA dilakukan bukan sekadar untuk merespons persoalan sesaat, melainkan untuk membangun kerangka hukum agraria nasional yang utuh dan berkelanjutan. Model legislasi yang visioner seperti ini seharusnya menjadi rujukan dalam pembahasan KUHAP baru.

Legislasi Bukan Target Politik

Proses legislasi tidak semestinya dilakukan untuk mengejar target politik, menyelesaikan program tahunan DPR, atau sekadar memenuhi komitmen kelembagaan. Undang-undang adalah produk yang mengatur kepentingan umum dan berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pembentukannya wajib dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, kecermatan, dan integritas.

Pernyataan publik dari pejabat DPR yang menyerahkan jalur koreksi kepada judicial review menunjukkan sikap reaktif dan kurangnya keseriusan dalam menjamin kualitas norma sejak awal. Hal ini dapat dipahami sebagai indikasi bahwa mekanisme pengawasan internal DPR tidak berjalan secara optimal. Alih-alih memperbaiki substansi saat masih memungkinkan, DPR memilih menyerahkannya kepada mekanisme peradilan setelah undang-undang berlaku, yang tentu memerlukan waktu dan biaya, serta dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Urgensi Legislator yang Kompeten dan Berintegritas

Ke depan, pembahasan KUHAP dan undang-undang lainnya harus dilakukan oleh legislator yang memahami substansi hukum, memiliki kompetensi akademik, serta berintegritas dalam menjalankan amanat konstitusi. Proses legislasi harus dilaksanakan melalui diskusi terbuka, memperhatikan masukan akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil. Penyusunan undang-undang bukan sekadar proses voting, melainkan upaya menemukan solusi hukum yang adil, proporsional, dan berkelanjutan.

Apabila DPR ingin dipandang sebagai lembaga representatif yang dipercaya publik, maka peningkatan kualitas legislasi harus menjadi prioritas utama. Undang-undang yang disusun secara serius, berbasis moral politik dan keilmuan yang kuat, akan menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang. Sebaliknya, legislasi yang tergesa-gesa dan berpola reaktif hanya akan memperbanyak permasalahan serta memperdalam krisis kepercayaan terhadap lembaga legislatif.Sudah saatnya DPR kembali pada jati dirinya sebagai pengemban kedaulatan rakyat dan pembentuk hukum yang bertanggung jawab. Menyerahkan koreksi undang-undang kepada masyarakat melalui judicial review seharusnya bukan menjadi opsi utama, melainkan jalan terakhir ketika semua mekanisme koreksi substantif pada proses legislasi telah dilaksanakan secara optimal.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *