Categories Opini

Calon Penegak Hukum, Tapi Tak Bisa Baca Ember

“Sebelum bicara soal keadilan, lihat dulu ember Pop Mie di sudut kampusmu. Dari situ kau tahu seberapa jauh akal dan adab berjalan bersama.”

Universitas Islam Indonesia (UII) berdiri dengan tujuan besar yakni melahirkan Insan Ulil Albab, manusia yang berakal, berilmu, dan beradab, dengan nilai-nilai Islam sebagai dasar hidupnya. Cita-cita luhur ini tidak hanya tertulis di dinding kampus atau tertuang dalam visi-misi universitas, tetapi juga menjadi semangat yang seharusnya mengalir dalam perilaku seluruh sivitas akademika.

Fakultas Hukum UII, sebagai bagian dari universitas yang menjunjung tinggi nilai keislaman, memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi teladan. Mahasiswa hukum idealnya bukan sekadar pandai mengutip pasal atau menghafal teori, tetapi juga mampu menegakkan nilai adab dan integritas dalam keseharian. Sebab pada hakikatnya, hukum tidak akan hidup tanpa kesadaran moral.

Namun, ada jarak antara ideal dan realitas. Kadang, nilai yang diagungkan justru luntur di hadapan kebiasaan kecil yang kita anggap remeh. Di titik inilah ujian sejati seorang mahasiswa hukum bermula, bukan di ruang sidang atau meja ujian, melainkan di ruang-ruang kecil kehidupan kampus. Menjadi Insan Ulil Albab bukan hanya soal berpikir kritis, tetapi juga soal berperilaku konsisten dengan akal sehat dan etika.

Fenomena Kuah Pop Mie: Saat Akal Ditinggalkan

Di salah satu sudut Fakultas Hukum UII, terdapat sebuah ember sederhana dengan tulisan, “Air Kuah Pop Mie Dibuang di Ember Ini.” Instruksi yang singkat dan jelas, namun sayangnya sering diabaikan. Ember itu yang seharusnya menampung sisa kuah justru dipenuhi sampah plastik, kotak nasi, sendok sekali pakai, bahkan botol minuman. Pemandangan itu mungkin tampak sepele, tapi sesungguhnya menyimpan ironi yang dalam.

Mahasiswa hukum terbiasa menafsirkan teks undang-undang yang rumit, membaca doktrin hukum yang tebal, dan berdiskusi tentang keadilan sosial. Namun di hadapan satu kalimat sederhana di atas ember, kemampuan memahami dan menaati teks seolah lenyap. Fenomena ini bukan sekadar soal kebersihan, tetapi tentang hilangnya kesadaran moral yang menjadi inti dari akal sehat.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin seseorang yang kelak akan berbicara tentang supremasi hukum, tidak mampu mematuhi aturan kecil di lingkungan sendiri? Bagaimana mungkin calon penegak hukum gagal menerjemahkan makna sederhana dari instruksi tertulis? Di sini, ember Pop Mie menjadi simbol yang menohok: simbol kecil dari kegagalan kita menjaga keselarasan antara pengetahuan dan tindakan.

Masalahnya bukan pada ember, tapi pada cara kita memandang hal kecil. Kebiasaan menyepelekan pelanggaran kecil adalah akar dari ketidakdisiplinan besar. Ketika akal tidak lagi dipakai untuk mematuhi aturan sederhana, maka nilai adab ikut hilang. Dari situ, muncul pertanyaan lebih besar: bagaimana nasib hukum jika penegaknya tidak mampu menegakkan kedisiplinan dalam dirinya sendiri?

Menghidupkan Kembali Akal dan Adab

Kampus hukum sejatinya bukan hanya ruang akademik yang melahirkan sarjana hukum, tetapi juga tempat pembentukan karakter. Di sinilah mahasiswa belajar bukan hanya teori keadilan, tetapi juga praktik moralitas dalam bentuk nyata. Menjadi mahasiswa hukum bukan hanya soal cerdas berargumentasi atau lihai dalam retorika, melainkan juga soal memiliki keteguhan dalam disiplin dan etika.

Ketaatan terhadap disiplin dasar, seperti membuang sampah pada tempatnya, bukan hal sepele. Hal itu merupakan bentuk penerapan nilai hukum dalam diri seseorang. Sebab hakikat hukum adalah keteraturan yang dimulai dari kesadaran individu. Jika seseorang gagal menghormati aturan kecil, bagaimana mungkin ia menghormati hukum besar?

UII menekankan konsep Insan Ulil Albab bukan tanpa alasan. Dalam Al-Qur’an, Ulil Albab digambarkan sebagai orang yang menggunakan akalnya untuk berpikir dan hatinya untuk merenung. Artinya, akal dan hati harus berjalan beriringan. Tidak cukup hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga harus matang secara moral. Dalam konteks ini, ember Pop Mie menjadi cermin kecil yang menguji apakah mahasiswa benar-benar memahami hubungan antara akal dan adab.

Ketaatan terhadap aturan kecil di kampus adalah latihan bagi jiwa hukum yang kelak akan menghadapi tantangan nyata di masyarakat. Dunia hukum dipenuhi persoalan yang kompleks dan sering kali menggoda moral. Jika di kampus saja seseorang abai terhadap hal sederhana, bagaimana nanti saat dihadapkan pada keputusan yang menuntut integritas besar?

Refleksi dari Ember Pop Mie

Ember Pop Mie hanyalah benda sederhana, tapi ia berbicara banyak tentang siapa kita. Ia menguji kejujuran tanpa pengawasan, mengukur kedisiplinan tanpa sanksi, dan menilai kepekaan tanpa kata. Dalam diamnya, ember itu menyampaikan kritik paling jujur bahwa pendidikan tinggi tanpa adab hanyalah tumpukan pengetahuan yang kehilangan arah.

Menjadi Insan Ulil Albab bukan tentang seberapa banyak teori hukum yang dihafal, tetapi seberapa tulus seseorang menerapkan nilai Islam dalam tindakan kecil. Itulah esensi pendidikan UII, membentuk manusia yang berpikir dengan akal dan bertindak dengan adab. Ketika kesadaran itu hidup, setiap ruang kampus akan menjadi tempat pembelajaran moral, bukan sekadar akademik.

Dari ember kecil itu kita belajar bahwa perubahan tidak selalu datang dari kebijakan besar atau pidato idealis. Ia justru bermula dari tindakan sederhana, membuang sampah dengan benar, menghormati aturan kecil, menjaga kebersihan bersama. Nilai-nilai ini adalah dasar dari peradaban hukum yang sejati. Karena hukum yang kuat lahir dari masyarakat yang beradab, bukan sekadar dari teks perundang-undangan.

Penutup: Akal, Adab, dan Cermin Diri Mahasiswa Hukum

UII tidak kekurangan visi. Yang sering kurang adalah kemauan kita untuk menanamkan visi itu dalam tindakan nyata. Menjadi mahasiswa hukum berarti memikul tanggung jawab ganda, tanggung jawab kepada ilmu dan kepada moral. Ilmu hukum tanpa kesadaran moral akan melahirkan kecerdasan tanpa nurani. Sebaliknya, moral tanpa ilmu akan kehilangan arah.

Menjadi Insan Ulil Albab berarti menjadikan akal sebagai cahaya dan adab sebagai arah. Ketika keduanya berjalan beriringan, hukum tidak lagi sekadar teks kaku, melainkan napas kehidupan yang menuntun manusia menuju keadilan sejati. Maka sebelum berbicara tentang reformasi hukum, mari mulai dari diri sendiri. Dari hal kecil. Dari ember Pop Mie yang mungkin sepele, tapi menyimpan pelajaran besar tentang siapa kita sesungguhnya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *