Bayangkan dunia di mana nilai manusia diukur bukan dari siapa dirinya, tetapi dari seberapa besar berguna bagi sistem. Kita hidup di zaman di mana performa, status, dan pengakuan seringkali menutupi kemanusiaan itu sendiri. Tulisan ini menelisik bagaimana logika itu muncul, dampaknya pada individu dan masyarakat, serta upaya menata ulang agar manusia kembali dihargai sebagai manusia.
Dalam wacana pembangunan, kita sering mendengar istilah bahwa sumber daya manusia adalah aset paling berharga. Kalimat ini terdengar indah, penuh optimisme, dan seolah menempatkan manusia sebagai inti dari segala kemajuan. Namun, istilah sumber daya manusia menyimpan paradoks. Kata sumber daya sendiri mengandaikan sesuatu yang bisa dipakai, dikelola, bahkan dieksploitasi demi kepentingan tertentu seperti halnya sumber daya alam yang berisi nikel, timah, dan emas. Maka ketika manusia dimasukkan ke dalam kategori yang sama, secara tak sadar ia ditempatkan dalam logika ekonomi yang menjadikannya objek produktivitas, bukan subjek dengan martabat.
Fenomena ini selaras dengan pemikiran Karl Marx tentang commodity fetishism atau fetisisme komoditas sebagaimana dijelaskan dalam marxists.org. Marx menjelaskan bahwa dalam sistem kapitalisme, segala sesuatu termasuk tenaga, waktu, bahkan perasaan manusia diubah menjadi komoditas yang memiliki nilai tukar. Nilai seseorang kemudian tidak lagi diukur dari kemanusiaannya, tetapi dari seberapa besar berguna bagi sistem produksi. Dalam konteks ini, manusia kehilangan kesadarannya sebagai makhluk bermartabat, dan mulai melihat dirinya serta orang lain sebagai barang yang bisa dinilai, diukur, dan diperjualbelikan.
Keberhasilan seorang guru dianggap berhasil bukan karena mampu membentuk karakter dan empati siswanya, melainkan karena nilai rata-rata ujian siswanya tinggi. Logika seperti ini adalah cerminan dari fetisisme komoditas yang diuraikan Marx di mana nilai simbolik (angka, sertifikat, penghargaan) lebih dihargai daripada proses kemanusiaan yang sebenarnya. Dengan kata lain, ketika manusia disebut sebagai sumber daya, itu bukanlah pujian justru pemberian label tersebut menjadikannya komoditas dalam sistem yang menilai manusia dari performa, bukan dari jiwanya.
Kata komodifikasi bisa dipahami sebagai proses ketika sesuatu yang memiliki nilai dijadikan barang yang bisa diukur, dieksploitasi, atau diperdagangkan. Dalam konteks manusia, artinya orang dinilai dari kegunaan atau hasil yang diberikan, bukan karena martabatnya sebagai manusia. Fenomena komodifikasi manusia tidak hanya terjadi di dunia industri atau ekonomi. Fenomena ini juga merembes ke ruang-ruang sosial, budaya, dan pendidikan. Alih-alih menjadi tempat tumbuhnya karakter banyak sistem justru membentuk pola pikir utilitarian, yakni menilai manusia berdasarkan seberapa besar manfaatnya bagi sistem. Misalnya, mahasiswa dihargai karena ikut banyak lomba, bukan karena belajar atau berkembang, dan karyawan dipuji karena target tercapai, bukan karena kreativitas dan kontribusi jangka panjang.
Lebih jauh lagi, banyak orang rela bekerja mati-matian bukan demi dirinya sendiri, melainkan demi sesuatu yang dianggap bergengsi, pencapaian, status, atau pengakuan publik.
Manusia dalam Logika Sistem
Sebelum membahas lebih jauh, perlu dipahami bagaimana sistem bekerja. Setiap sistem baik sosial, pendidikan, maupun organisasi dibangun untuk menjaga stabilitas dan kesinambungan. Untuk itu dibutuhkan tenaga yang menopang struktur, misalnya pegawai yang menyesuaikan diri dengan jam kerja ketat agar organisasi tetap berjalan, atau mahasiswa yang mengikuti semua kegiatan formal demi memenuhi satuan kredit partisipasi kampus. Di sinilah manusia diposisikan sebagai roda penggerak. Mereka yang patuh, produktif, dan memenuhi target dianggap berharga, sementara yang gagal menyesuaikan diri perlahan tersisih.
Kondisi ini menggambarkan apa yang disebut Max Weber sebagai bentuk rasionalisasi modern, di mana setiap aspek kehidupan manusia diatur dengan logika efisiensi, kalkulasi, dan hasil yang bisa diukur. Dalam pandangan Weber, manusia modern hidup di dalam apa yang disebut sebagai iron cage (sang kandang besi) dari rasionalitas sistem. Di dalam kandang itu, kebebasan individu dikorbankan demi keteraturan dan performa. Manusia dipaksa menyesuaikan diri dengan struktur yang rasional, meskipun seringkali mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Yang lebih berbahaya adalah ketika logika sistem itu menanamkan ambisi internal dalam diri manusia. Manusia tidak lagi bekerja karena kebutuhan makna, tetapi karena tuntutan struktur yang telah ia terima sebagai kebenaran. Mahasiswa yang mengikuti banyak kegiatan bukan karena ingin belajar, melainkan karena ingin dianggap aktif. Pekerja yang memaksakan diri lembur bukan karena mencintai pekerjaannya, tapi karena takut kehilangan posisi atau kesempatan promosi. Pola ini sejalan dengan apa yang disebut Weber sebagai jebakan rasionalitas modern manusia menjadi alat bagi sistem yang dia ciptakan sendiri.
Rasionalitas yang semula dimaksudkan untuk menata kehidupan justru membuat manusia kehilangan arah moral dan spiritual. Sistem menuntut efisiensi, tetapi melupakan empati menyanjung performa, tapi mengabaikan keseimbangan. Akibatnya, manusia terperangkap dalam rutinitas tanpa makna, terus berlari tanpa tahu ke mana tujuan akhirnya. Mereka menjadi seperti roda gigi yang berputar dalam mesin besar, menjalankan tugasnya tanpa kesempatan untuk bertanya untuk apa aku melakukan semua ini.
Pujian dan Promosi sebagai Komoditas Sistem
Di tengah sistem yang mengkomodifikasi manusia, imbalan simbolik menjadi mata uang yang lebih berharga dari istirahat, promosi, bahkan kesehatan. Akibatnya, orang bekerja bukan karena niat dari dalam hati, melainkan demi imbalan simbolik alias penghargaan yang bersifat formal atau publik, misalnya sertifikat, medali, jabatan, atau embel-embel teladan hal ini selaras dengan teori modal budaya oleh Pierre Bourdieu dimana salah satu bentuk modal budaya adalah terlembagakan atau sebuah kualifikasi. Mereka berusaha keras untuk terlihat sempurna, menekan rasa lelah, dan menutupi kesalahan, karena tahu bahwa sistem hanya memberi penghargaan kepada mereka yang terlihat unggul. Satu hal yang terlupa bahwa pujian dan promosi bersifat fana. Hari ini seseorang dielu-elukan, besok bisa diabaikan. Sistem berhasil menanamkan ilusi bahwa tanpa pengakuan, keberadaan seseorang tak berarti.
Luka dan Risiko yang Tertinggal
Kerja mati-matian demi pengakuan meninggalkan luka sosial dan risiko jangka panjang. Individu berisiko kehilangan arah. Dimana manusia tidak lagi bekerja untuk bertumbuh, tetapi untuk memenuhi ekspektasi sistem. Seperti pekerja yang lembur terus-menerus sehingga hubungan dengan teman dan keluarga terabaikan. Identitas manusia berubah menjadi label prestasi, seperti mahasiswa berprestasi atau staff of the month, alih-alih siapa dirinya sebenarnya. Solidaritas pun terkikis karena interaksi sosial hanya bertahan sejauh ada manfaat. Teman bisa menjadi pesaing, sahabat menjadi lawan.
Sistem yang seharusnya menjadi ruang belajar dan kebersamaan berubah menjadi arena kompetisi simbolik, di mana orang sibuk memoles citra agar tampak layak dipuji. Nilai kemanusiaan, kejujuran, empati, dan kepedulian terpinggirkan. Jika pola ini terus berlanjut, manusia bisa menjadi kurang percaya diri, stres, tidak memiliki motivasi, bahkan cemas yang berlebihan. Misalnya, seseorang yang terus melakukan suatu pekerjaan hanya karena menginginkan sebuah embel-embel yang akan disematkan padanya
Jalan Keluar, Menata Ulang Paradigma
Kritik terhadap komodifikasi manusia bukan berarti menolak produktivitas. Yang perlu dikoreksi adalah cara pandang yang mengukur nilai manusia hanya dari capaian simbolik. Kita membutuhkan sistem yang menghargai kerja manusia tanpa selalu mengaitkannya dengan hasil yang tampak hebat. Sistem pendidikan yang baik bukan hanya menilai prestasi akademik, tapi juga menumbuhkan empati, kepedulian, dan keseimbangan hidup mahasiswa. Begitu juga di tempat kerja, pemimpin seharusnya mendorong budaya istirahat, refleksi, dan kolaborasi bukan sekadar kompetisi angka.
Setiap kontribusi, sekecil apapun, seharusnya dipandang sebagai bagian dari proses kolektif yang bernilai. Sebab kerja mati-matian tanpa jeda bukanlah tanda dedikasi, melainkan bukti bahwa manusia telah terjebak dalam logika komodikatif. Pemimpin sejati bukan yang membagi imbalan simbolik, tetapi yang menumbuhkan motivasi intrinsik pada orang-orang di sekitarnya.
Menolak Ilusi Komoditas Sistem
Manusia adalah pribadi dengan martabat, keunikan, dan esensi. Kemampuan berpikir, merasakan empati, dan membangun relasi yang bermakna adalah esensi dari seorang insan ulil albab. Jika manusia terus dipaksa bekerja dalam logika komodifikasi, kita berisiko kehilangan kualitas itu kejujuran, kepedulian, keseimbangan hidup, dan kemampuan menilai diri dari nurani.
Tak ada sistem sebesar apapun yang bertahan jika hanya berdiri di atas pengakuan dan pencitraan. Sebaliknya, sistem menemukan makna sejati jika berani memanusiakan manusia menghargai kerja tanpa embel-embel status, dan mengakui martabat manusia karena kemanusiaannya.